Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 05 November 2020 | 14:30 WIB
Satu dasawarsa erupsi merapi 2010, gunung merapi meletus menewaskan ratusan orang (Youtube BPPTKG)

SuaraJogja.id - Aktivitas erupsi gunung Merapi, Sleman memasuki puncaknya pada 5 November 2010 dini hari. Sejumlah pertanda nampak ditunjukkan oleh semesta kala itu.

Misalnya saja diungkapkan warga Pakembinangun, Pakem Fadholi Kushendarto. Pada 4 November 2010 sore, ia masih bekerja di wilayah Godean. Hingga kemudian tepat saat adzan maghrib berkumandang, ia sampai di rumah dan langsung menyalakan komputer, radio serta HT, usai menyelesaikan salat.

Sampai kemudian ia menyadari, sejumlah kaca jendela bergetar dan kaki yang menapak pada lantai seakan merasakan sesuatu yang tak normal.

"Saya mendengar suara seperti wrrrrr.... rhhrhrhrh..., sangat jelas. Sampai malam hari, suara itu masih ada," ungkapnya, Kamis (5/11/2020).

Baca Juga: Bus TransJogja Kecelakaan di Sleman, Mobil Partai yang Jadi Lawan Disoroti

Lalu sekitar pukul 21.00 WIB, ibu, kakak, keponakan dan sejumlah kerabat lain yang tinggal berdekatan dengan rumahnya, beranjak mengungsi menuju ke arah selatan.

"Saat itu yang dipikirkan hanya turun, menjauh dari Pakem. Dokumen berharga, pakaian dan keperluan lain yang sekira dibutuhkan sudah dibawa. Saya juga berpesan kepada mereka, untuk menjauhi jalan yang berada dekat dengan aliran sungai," kata dia.

Dholi mempertimbangkan pesan itu, mengingat ada begitu banyak jalan alternatif menuju ke Jogja area selatan, namun berada di atas bahkan tepian aliran sungai. Sedangkan sungai-sungai tersebut mengalirkan air dari gunung Merapi, maka bukan tidak mungkin sungai itu juga membawa material erupsi Merapi.

"Kalau lahar dingin mengalir lewat sungai-sungai tadi, apalagi sampai meluap, sedangkan keluarga saya berada di sana maka mereka terancam bahaya," terangnya.

Hingga kemudian, ia menyadari kampungnya sudah kosong tak lagi berpenghuni. Hanya tinggal ia bersama 3 saudara lelaki dan satu perempuan. Saat tim SAR, aparat kepolisian dan tentara menyambangi halaman rumahnya, tim tersebut memintanya segera turun.

Baca Juga: Soal Kompetisi, PSS Sleman Desak PSSI dan PT LIB Segera Gelar Pertemuan

"Kediaman kami berjarak sekitar 13 Km dari Merapi, sampai sekitar lampu merah Pamungkas Jl.Kaliurang Km.14 itu harus dikosongkan. Jadi saya dan dua orang saudara lelaki saya turun, saat itu sekitar pukul 23.00 WIB kalau tidak salah," kenangnya kembali.

Namun kerabatnya yang lain, sepasang suami istri enggan sama sekali beranjak dan memilih tetap berdiam di rumah keluarga Dholi. Bahkan hingga merapi erupsi hebat pada dini harinya, mereka tetap berada di sana.

Mereka berkukuh karena pada 1994 lalu, suami istri yang merupakan warga Kaliurang Barat itu, pernah merasakan efek bencana Merapi yang lebih dari ini dan selamat.

"Mereka saat itu tetap berada di rumah dalam kondisi pintu tertutup, uap awan panas memang sampai ke rumah mereka. Mereka terhindar dari marabahaya karena menutup rapat pintu dan jendela," urainya. Selanjutnya, Fadholi dan dua saudara lelakinya mengendarai motor untuk mencari tempat berlindung.

Namun baru sekitar 10 meter dari rumah, ia sudah merasakan hujan air bercampur pasir. Dholi terpaksa kembali ke rumah untuk mengambil jas hujan sebelum melanjutkan perjalanan.

"Di depan RS Panti Nugroho situasi lalu lintas sudah sangat macet. Sampai di Candibinangun, kami mengambil arah menuju ke arah Pasar Rejodani," tuturnya.

Load More