SuaraJogja.id - Pakar Hukum Internasional UGM Sigit Riyanto memiliki beberapa catatan atas UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mengusung nilai-nilai UGM yang menyampaikan kejujuran, Sigit menjamin penggunaan informasi yang bertanggung jawab dalam data yang digunakan untuk bahan kajian UU Cipta Kerja tersebut.
Menurut Sigit, Omnibus Law UU Cipta Kerja sebagai hukum membuat pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi menepikan faktor lainnya. Pada dasarnya, Sigit mengapresiasi langkah pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, UU membuka investasi sekaligus mengorbankan banyak hal fundamental seperti lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA).
"Riset dan Inovasi dalam UU ini justru dipinggirkan karena tergerus kebijakan impor yang longgar," terang Sigit.
Ia mengatakan, prinsip umum di seluruh dunia adalah transfer teknologi dalam pemanfaatan paten, tetapi tidak digunakan dalam regulasi ini. UU Cipta Kerja juga menyediakan landasan hukum bagi investasi global. Sayang, lanjutnya, ada beberapa kekurangan di UU ini, mulai dari prosesnya, substansi, dan bahkan redaksionalnya yang pincang. Ancamannya bukan mendapat investor yang baik, tetapi justru investor yang destruktif.
Baca Juga: Mahasiswa UGM Ciptakan Konsep Rancangan Teknologi Redestilasi pada PIMNAS33
Sigit menyebutkan, pada dasarnya hukum itu bersikap menjaga peradaban yang bisa dimanfaatkan secara positif maupun negatif. Namun dengan karakteristik UU Cipta Kerja dengan kecacatan mulai dari level redaksional, menurut Sigit, masyarakat bisa menebak produk hukum seperti apa yang dihasilkan.
"Kami ingin bicara jujur, kami ingin bicara objektif. Berdasarkan dengan informasi yang didapatkan," tutup Sigit.
Dari sisi hukum internasional, ia mengungkapkan, ada beberapa catatan kritis yang disampaikan, dilihat dari beberapa sumber terpercaya. Karakteristik UU Cipta Kerja, menurutnya, masih bersifat menjadikan Indonesia sebagai negara pasar dan bukan negara yang melakukan riset dan inovasi.
Sementara, ekonom Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM Yudhistira menyoroti kompleksitas perizinan berbasis risiko dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, mulai dari Bab 3 UU No 11 Tahun 2020 terjadi miskonsepsi terkait perizinan berbasis risiko yang dipaparkan.
Dalam naskah akademik yang dijelaskan Menteri Luhut pada acara yang berbeda, solusi yang dipaparkan adalah dengan melonggarkan berbagai peraturan yang ada, terutama dalam hal perizinan. Sayangnya, Yudhistira menilai, pihaknya belum melihat adanya upaya untuk memberbaiki aspek kelembagaan.
Baca Juga: Anies Baca Buku, Peneliti UGM Singgung Pemimpin yang Pro Kelompok Ekstremis
"Di mana aspek pembangunan ini dalam teori pembangunan yang ada saat ini adalah suatu usaha yang penting," terangnya.
Baca Juga
Komentar
Berita Terkait
-
Alat Deteksi Covid-19 GeNose Mulai Digunakan 5 Februari untuk Pengguna KA
-
Studi: Kekurangan Magnesium Terkait dengan Risiko Depresi
-
Ketahui, Faktor Risiko dan Penyebab Penyakit Osteoporosis
-
Catat! Ragam Penyebab dan Faktor Risiko Penyakit Osteoporosis
-
Ekstrak Ganja Diklaim Dapat Kurangi Risiko Kematian Covid-19
Terpopuler
-
Viral Bule Penjual Mi Ayam di Jogja, Jatuh Bangun dengan Suami Saat Pandemi
-
Diminta Pakai Masker, Ustaz Yahya Waloni: Gamau Kita Nanti di Surga Berbeda
-
Dipecat dari Keraton Yogya, Gusti Prabu Ingatkan Sultan Kembali ke Paugeran
-
Ari Wibowo Ungkap Momen Saat Bertemu Tuhan Hingga Akhirnya Pindah Kristen
-
Bingung jika Ditanya Soal Agama, Sujiwo Tejo: Ngaku Islam kok Geer Banget
-
Calon Kapolri Non-Islam, Gus Miftah Ingatkan Polri Bukan Lembaga Dakwah
-
Serasa Naik Pesawat, Bus Jurusan Jakarta -Yogyakarta Ini Mewah Banget
-
Jualan Mi Ayam Murah di Jogja, Bule Ini Lebih Suka Dipanggil "Mbak"
-
Roy Suryo Soroti Risma Lari, Denny Siregar Sindir Soal Kasus di Kemenpora
-
Siswa Izin Absen PJJ Mau Kemoterapi, Guru Melarang dan Beri Jawaban Kejam