SuaraJogja.id - Tindak kekerasan seksual untuk kesekian kali terjadi di Bantul. Peristiwa miris ini menimpa dua korban yang merupakan anak di bawah umur.
Peristiwa bejat itu terjadi sekitar medio awal November 2020 lalu. Seorang kakek bernisial TK (58) metepergok melakukan aksi cabul terhadap dua bocah. Ironisnya salah satu korban tak hanya sekali mendapat perlakuan tak seronoh dari pelaku.
"Dia (tersangka) sudah beberapa kali melakukan pencabulan terhadap anak-anak. Sebelum korban terakhir itu ada korban lainnya. Terhadap korban terakhir ia melakukan aksi bejatnya itu sebanyak dua kali," keterangan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Bantul, Aipda Musthafa Kamal beberapa waktu lalu.
Terkuaknya aksi bejat TK membuka kembali fakta memilukan mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi di Bantul. Dari data yang dihimpun dari Polres Bantul, setidaknya mereka telah menangani sebanyak 20 kasus kekerasan seksual terhadap anak hanya dalam tempo Januari hingga November tahun ini.
Baca Juga: Klaim Menang Pilkada Bantul, AHM-JP Apresiasi Suharsono di Pidatonya
Berbekal data tersebut SuaraJogja.id berusaha menelisik lebih dalam mengenai kondisi para korban pascaperlakuan tak seronoh yang mereka alami.
Fakta mengejutkan diperoleh dari informasi yang diungkap oleh Ketua Satgas PPA Bantul, Muhammad Zainul Zain. Kepada tim SuaraJogja.id, ia menyebut tak sedikit dari para korban yang mengalami kondisi perubahan perilaku usai mendapat kekerasan seksual.
"Para korban mengalami kondisi yang berbeda-beda ada yang trauma hingga ada yang takut dengan pelaku," katanya Kamis (3/12/2020) lalu.
Tetapi, lanjut Zainul ada pula kasuistik dimana korban mengalami perubahan perilaku yang tak lazim malah ketagihan. Kasus ini ditemukan kala ia menangani salah satu korban kekerasan seksual pada Juni 2019 silam.
Peristiwa kekerasan seksual itu menimpa seorang siswi kelas 5 SD yang dilakukan oleh gurunya. Kejadiannya di Kecamatan Pandak.
Baca Juga: Lengkap, Hasil Sementara Hitung Suara Pilkada Sleman, Bantul, Gunungkidul
"Saya tidak bisa menyebutkan identitasnya karena harus saya jaga. Namun memang itu terjadi, anak 5 SD yang akan naik ke kelas 6 SD tak mendapat pendampingan sejak dini. Akhirnya anak ini merasa nyaman dengan gurunya dan merasa mereka sudah pacaran. Bahkan si anak berbicara kepada teman-temannya jika mereka pacaran," ujar dia.
Zainul mengatakan bahwa kondisi trauma anak yang mengalami kekerasan seksual bisa berlangsung cepat. Artinya, kehadiran pelaku sendiri bisa jadi membuat korban merasa nyaman bahkan ketagihan.
"Itu bisa terjadi pada korban yang menerima kekerasan seksual sudah berlangsung lama tanpa diketahui oleh orang tua atau temannya. Mungkin karena dia diancam, dia (korban) tak berani memberitahu. Akhirnya rasa ketakutannya, traumanya itu hilang. Korban dan pelaku malah merasa memiliki ikatan. Ini yang berbahaya," terang dia.
Hal itu jelas berpengaruh terhadap pikiran anak yang menganggap adanya 'hubungan spesial'. Padahal hal tersebut jelas salah dan berpengaruh terhadap mental anak.
Zainul menjelaskan jika kasus tersebut masih ditangani sampai saat ini. Anak tersebut masih dalam proses pendampingan psikis.
Ia menyebut bahwa anak ini mengalami addict (ketagihan) dalam berhubungan. Kendati demikian pihaknya tak bisa memberikan detail kondisi anak yang telah mengalami kekerasan seksual yang sudah berlangsung lama tersebut.
Sementara pelaku, lanjut Zainul sudah divonis 8 tahun penjara atas tindakan melakukan kekerasan anak di bawah umur.
Tak hanya soal kasus anak kelas 5 SD saja. Di Pajangan, lanjut Zainul kasus kekerasan seksual juga terjadi antara ayah dan anak kandung. Peristiwa tersebut terjadi pada 2017.
Mirisnya, karena kasus tersebut tidak dilaporkan sesegera mungkin, korban yang diketahui berusia 14 tahun sampai memiliki anak hasil hubungan dengan si ayah.
"Itu sampai melahirkan, kami akhirnya mendorong kepada warga agar mau melaporkan. Jadi kami lakukan pendekatan bagaimana pengaruh lingkungan ke depan. Bagaimana jika terjadi di warga lain jika tidak ada proses hukum atau pendampingan kepada korbannya. Pada akhirnya, ibu korban yang melaporkan kasus ini," ungkap Zainul.
Ia menjelaskan, ayah kandung atau pelaku dikenai hukuman penjara 9 tahun. Sementara korban, hingga kini masih dalam proses pemulihan psikis.
Ia tak menampik jika kondisi anak lebih tertutup. Rasa trauma yang dialami gadis yang saat ini sudah berusia 17 tahun sudah perlahan hilang. Namun, rasa malu si korban masih korban rasakan.
"Jadi trauma sendiri perlahan sudah hilang. Berbicara soal masa depan si anak tentu ada dampak negatifnya. Ia jadi merasa malu atau minder," ungkap dia.
Pelaku mayoritas lansia
Terpisah dari penanganan sejumlah kasus kekerasan seksual yang ada di Bantul, Polres Bantul menemukan fakta bahwa sebagian besar pelaku merupakan orang terdekat yang berusia lansia.
Banit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim Polres Bantul, Aipda Musthafa Kamal menyebut dari kuantitas dan kualitas tersebut, pelaku mayoritas adalah lansia.
"Dari kasus yang kami tangani, pelaku merupakan lansia. Memang ada yang remaja dan dibawah umur, namun lansia yang paling banyak," kata Kamal, Kamis (19/11/2020).
Ia menjelaskan, dari segi kuantitas, satu orang pelaku bisa melakukan aksi tak seronohnya kepada dua atau lebih dari satu korban.
"Jadi satu perkara itu artinya satu pelaku (melakukan tindakan) ada 6 korban, bahkan paling banyak itu 8 korban. Jadi kuantitasnya banyak dari situ, ini yang kami tangani bersama UPDT PPA Kabupaten Bantul," ujar Kamal.
Ia menjelaskan dari laporan kasus yang ditangani Polres Bantul, sejak Januari-November terdapat 20 kasus. Angka itu belum tercatat dengan kasus yang ada di Polsek dan data yang dimiliki UPDT PPA Kabupaten Bantul.
Kamal menuturkan, kualitas perkara tersebut bermacam-macam. Ironisnya kekerasan seksual terhadap korban (anak) dilakukan oleh orang terdekat.
"Memang orang terdekat, ada kakek dengan keluarganya sendiri. Selain itu ada bapak kandung dengan anaknya. Jadi sangat miris ketika membahas persoalan ini," ujar dia.
Kamal tak menampik kasus lainnya yang lebih memprihatinkan pernah terjadi di Kecamatan Pajangan. Unit PPA Sat Reskrim Polres Bantul dan lembaga lain yang sudah melakukan penyuluhan berupa psikososial, malah mendapati kasus yang lebih miris.
"Jadi sebelumnya wilayah tersebut pernah terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Akhirnya kami beri penyuluhan kepada warga. Namun peristiwa itu muncul lagi, bahkan cukup memprihatinkan karena dilakukan antarsatu keluarga," keluh Kamal.
Disinggung soal mayoritas pelaku yang merupakan lansia, Kamal mengaku bahwa beberapa pelaku sudah tak memiliki istri. Disamping itu pelaku juga tak mendapatkan kepuasan oleh pasangannya.
"Sejauh yang kami selidiki ada yang tak memiliki istri. Tetapi ada juga yang memiliki istri hanya saja tak pernah memberi kepuasan suaminya. Akhirnya melampiaskan kepada orang lain (anak kecil)," kata dia.
Kamal mengaku bahwa kasus ini jelas dan nyata sesuai fakta yang ada. Kendati begitu, kasus tersebut belum menjadi perhatian serius pemerintah.
"Setiap bertemu dengan pemerintah, kasus ini selalu kami bahas. Kami ingin menunjukkan bahwa persoalan ini sangat serius, bahkan bisa dikatakan darurat. Kami berusaha menekan jumlah kekerasan yang terjadi, dan harapannya ini menjadi perhatian ke depan oleh semua pihak di Kabupaten Bantul," ujar dia
Bantul darurat kekerasan seksual
Pada kesempatan lain, Ketua Satgas PPA Bantul, Muhammad Zainul Zain membuka data laporan terkait kekerasan seksual di Bantul. Yang cukup mencengangkan dalam kurun Januari hingga November 2020 tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur mencapai 230-an kasus.
Banyaknya kasus tersebut membuat Bantul saat ini menduduki posisi paling buncit terkait penanganan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Kondisi itu pun menjadi pekerjaan rumah yang amat besar bagi Bantul yang diproyeksikan menjadi Kabupaten Layak Anak (KLA).
Ia tak menampik bahwa untuk mencapai status Bantul KLA sangat dibutuhkan sinergi semua pihak guna mendorong penegakan peraturan yang lebih ketat.
Seperti diketahui saat ini Bantul telah memiliki Perda nomor 3 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Kendati demikian adanya perda tersebut belum memberikan rasa aman atau perlindungan terhadap anak korban kekerasan.
Sulit raih KLA
Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Dinas Sosial Kabupaten Bantul, Subiyati mengatakan bahwa persoalan terkait kekerasan seksual di Bantul sangat kompleks. Selain itu pihaknya tak menampik jika masih kesulitan terhadap kasus ini yang angkanya semakin meningkat.
"Tahun ini angkanya semakin meningkat. Jadi persoalan kekerasan anak terjadi cukup kompleks," ujar Subiyati dihubungi, Kamis (3/12/2020).
Dinsos dalam hal ini yang terjun langsung ke persoalan kekerasan anak telah membuat forum anak Bantul (Fonaba). Hal itu dibentuk di tingkat kabupaten dan dilanjutkan ke kecamatan-kecamatan yang ada.
Subiyati menjelaskan sudah ada 7-8 kecamatan yang terdapat Fonaba kecamatan, fungsinya mengumpulkan sejumlah anak untuk diberi penyuluhan dan pengetahuan bagaimana anak berinteraksi dan bermain dengan teman sebayanya. Selain itu pengetahuan anak bagaimana berinteraksi dengan orang dewasa.
"Jadi langkah kami dengan meningkatkan sosialisasi dan penyuluhan kepada anak. Tak hanya itu orang tua juga kami sasar untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak mereka. Ini harus bertahap, kami rasa untuk langsung dilakukan perubahan akan sangat sulit mengingat kasusnya yang banyak," jelas dia.
Mencapai KLA di tengah situasi saat ini, diakui Subiyati sangat sulit. Seluruh stakeholder dan OPD lain harus bekerjasama untuk mencapai status tersebut. Terlebih Provinsi DIY mencanangkan diri sebagai Provinsi Layak Anak pada 2025 nanti.
"Kami akui butuh waktu yang panjang, namun jika semua sudah sepakat untuk mencapai status ini kami rasa bisa. Sebelumnya kami sudah rapat dengan Komisi D DPRD Bantul untuk membahas permasalah ini. Mereka merespon baik untuk bisa mencapai KLA," ujar dia.
Korban berpotensi jadi pelaku berikutnya
Korban kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak cukup berdampak negatif ke depannya. Bahkan korban bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.
Hal itu diungkapkan Konselor Hukum Lembaga Rifka Annisa Yogyakarta, Nurul Kurniati dihubungi wartawan, Jumat (20/11/2020).
"Ada beberapa faktor yang bisa mengarah ke situ. Bisa jadi dulu tidak dapat pengasuhan dari orang tua dengan baik bisa juga dia menjadi korban, dari kekerasan yang dilakukan orang terdekatnya," kata Nurul melalui sambungan telepon.
Nurul melanjutkan, tak adanya pengasuhan orang tua atau perlindungan dari orang terdekat, anak akan menjadi sendiri dan tak tahu harus berkomunikasi dengan siapa. Hal itu yang ikut memicu anak tak memiliki lingkungan yang dapat membantunya ketika mendapat permasalahan.
Ia menjelaskan, pelaku kekerasan seksual tak bisa menjadi orang yang memiliki permasalahan hasrat seksual. Namun hal itu harus melihat dari faktor lain yang melatarbelakanginya.
"Kita bisa melihat dari yang melatar belakangi mengapa dia melakukan hal itu. Jadi kita tidak bisa menganggap atau alasan utama jika karena pelaku tidak ada istri sehingga melampiaskan ke anak-anak," ungkap dia.
Nurul menyebut jika pelaku bisa jadi mendapat perlakuan dan menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya.
"Atau dulu malah dia pernah menjadi korban. Nah mungkin saat menjadi korban tidak mendapatkan pemulihan atau pembinaan secara intensif dan baik. Dia (korban) rentan untuk menjadi pelaku," jelas dia.
Bukan tanpa alasan Nurul menyebut jika pelaku memiliki pengalaman sebagai korban kekerasan. Pihaknya pernah menangani persoalan serupa dimana pelaku cukup sering melakukan kekerasan seksual ke anak di bawah umur.
"Saya pernah mendapati kasus dimana pelaku ini sebelumya menjadi korban kekerasan seksual. Jadi kondisi dia (saat itu) masih anak-anak ya masih remaja, dia tidak tahu harus cerita kepada siapa, dia harus melakukan hal apa untuk bisa melawan atau memulihkan. Sehingga selama ini ketika dia posisi dewasa dia akan mencari pelampiasan ke orang dibawahnya (anak kecil)," katanya.
Hal itu terungkap ketika pihaknya dan kepolisian melakukan penyuluhan kepada pelaku. Setelah ditelusuri, memang pelaku memiliki riwayat kekerasan yang dialami saat kecil.
Nurul menjelaskan bahwa persoalan ini cukup kompleks. Sehingga korban-korban kekerasan yang sudah ditangani harus dipastikan pulih dan mendapat pendampingan secara tuntas.
"Jika tidak ditangani dengan baik, banyak orang yang berpotensi menjadi pelaku. Karena tak mendapat pendampingan dan pemulihan," tambah dia.
Liputan khas ini dikerjakan reporter Muhammad Ilham Baktora
Berita Terkait
-
Bias Antara Keadilan dan Reputasi, Mahasiswi Lapor Dosen Cabul Dituduh Halusinasi
-
Tindak Kekerasan Masih Jadi Masalah Serius, Menteri PPPA Ajak Perempuan Berani Bersuara
-
Bicara tentang Bahaya Kekerasan Seksual, dr. Fikri Jelaskan Hal Ini
-
Gibran Sambut Usulan Mendikdasmen Buat Sekolah Khusus Korban Kekerasan Seksual: Ide yang Baik
-
Deepfake Pornografi: Penyalahgunaan Teknologi sebagai Alat Kekerasan Seksual
Tag
Terpopuler
- Dicoret Shin Tae-yong 2 Kali dari Timnas Indonesia, Eliano Reijnders: Sebenarnya Saya...
- Momen Suporter Arab Saudi Heran Lihat Fans Timnas Indonesia Salat di SUGBK
- Elkan Baggott: Hanya Ada Satu Keputusan yang Akan Terjadi
- Elkan Baggott: Pesan Saya Bersabarlah Kalau Timnas Indonesia Mau....
- Kekayaan AM Hendropriyono Mertua Andika Perkasa, Hartanya Diwariskan ke Menantu
Pilihan
-
Dua Juara Liga Champions Plus 5 Klub Eropa Berlomba Rekrut Mees Hilgers
-
5 Rekomendasi HP Infinix Sejutaan dengan Baterai 5.000 mAh dan Memori 128 GB Terbaik November 2024
-
Kenapa KoinWorks Bisa Berikan Pinjaman Kepada Satu Orang dengan 279 KTP Palsu?
-
Tol Akses IKN Difungsionalkan Mei 2025, Belum Dikenakan Tarif
-
PHK Meledak, Klaim BPJS Ketenagakerjaan Tembus Rp 289 Miliar
Terkini
-
Tragis, Kakek Asal Bantul Tewas Dihantam Mobil Saat Menyeberang Ring Road Selatan
-
Takaran Tera Tak Sesuai, Empat SPBU di Jogja Ditutup
-
Logistik Pilkada Sleman sudah Siap, Distribusi Aman Antisipasi Hujan Ekstrem
-
Seharga Rp7,4 Miliar, Dua Bus Listrik Trans Jogja Siap Beroperasi, Intip Penampakannya
-
Skandal Kredit Fiktif BRI Rp3,4 Miliar Berlanjut, Mantri di Patuk Gunungkidul Mulai Diperiksa