Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 14 Desember 2020 | 21:10 WIB
Sejumlah kriya fungsional dan floating installation karya tim Studio Tactic dan peserta beragam workshop, ditampilkan oleh Ayu, Bunga dan Lili, di Studio Tactic. (kontributor/uli febriarni)

SuaraJogja.id - Studio Tactic di Padukuhan Candirejo, Kalurahan Sardonoharjo, Kapanewon Ngaglik menjadi salah satu studio seni yang memilih sampah plastik sebagai media. Mengawinkan sampah dan olah seni, Studio Tactic juga mencoba mengedukasi pilah dan kelola sampah kepada warga.

Seorang pegiat Studio Tactic Lili Elserisa menjelaskan, sementara ini teman-teman seniman di Studio Tactic memilih plastik kresek sebagai media membuat beragam karya, baik karya instalasi maupun barang fungsional.

Mereka berbaur dengan kaum ibu, komunitas bank sampah dan komunitas-komunitas lain yang lebih besar, dalam berkarya.

"Untuk menghidupkan ekosistem seni itu perlu saling bantu. Kalau tidak seperti itu, kita seniman bergerak sendiri-sendiri, persoalan lingkungan tidak selesai-selesai, jadi harus barengan," kata dia, ditemui di Studio Tactic.

Baca Juga: Sirekap Sempat Eror, KPU Sleman Tetap Rapat Pleno Rekapitulasi Hitung Suara

Bahkan menurut Lili, concern pada lingkungan hidup harus dilakukan dari segala sisi, oleh orang-orang lintas bidang, lintas masyarakat. Bahkan, pegiat studio Tactic juga dihidupkan oleh seniman beragam media.

Lili menegaskan, sebetulnya sama sekali tidak ada plastik ramah lingkungan, kecuali plastik yang terbuat dari singkong, yang sudah populer sejak beberapa waktu lalu. Itupun masih terus diteliti lebih lanjut.

"Studio Tactic lewat workshop, pameran dan kegiatan-kegiatan bersama masyarakat berusaha mencoba mentransfer rasa, mentransfer empati dan mengajak bersama-sama memikirkan hal apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan sampah ini," terangnya.

Pengetahuan tentang sampah sejauh ini terlihat masih 'dimahalkan', 'eksklusif' dan belum menjadi kesadaran banyak orang.

Menggabungkan seni dan sampah bagi Lili menjadi cara dirinya untuk melatih indra, khususnya indra peraba.

Baca Juga: Mengintip Budi Daya Maggot di Sleman, Berdayakan Warga Terdampak Tol

"Misalnya nih aktivitas melukis. Lukis itu kan ada cat ada kuas. Sedangkan kalau mengolah plastik ini kan kita megang langsung ya, menyentuh kulit. Jadi kalau saya sendiri sih merasa lebih berkomunikasi dengan media ini [plastik]," tutur lulusan Institut Seni Indonesia ini.

Menjadikan plastik sebagai pengganti kain, Studio Tactic telah banyak mengubah plastik kresek yang sebelumnya hanya teronggok dan dikumpulkan --tak punya nilai jual--, menjadi produk yang bernilai jual tinggi, bahkan menengah ke atas.

Paham sedang berbaur bersama masyarakat, Studio Tactic mengajak khalayak mengolah limbah plastik kresek dengan teknik sederhana, alat sederhana.

"Misalnya untuk buat totebag, pouch itu dipress dulu. Kami pakai setrika, jadi pakai benda yang ada di rumah. Kalau pakai alat yang susah-susah, malah menjauhkan kembali, padahal niat kami mendekatkan kebiasaan ini dengan masyarakat," tuturnya.

Bahan baku kresek yang digunakan untuk membuat produk-produk di Studio Tactic, berasal dari pilahan sampah yang dikumpulkan oleh tim Tactic, membeli dari bank sampah dan program Adopsi Plastik yang anggotanya lebih dari 100 orang.

"Seandainya bisa, kami akan terus bergerak sampai enggak ada lagi plastik di dunia," ujar Lili yang bergabung sejak 2018 itu.

Sementara itu, Ayu Arista Murti menyebutkan, dalam berkesenian dengan media sampah, teman-teman Studio Tactic berusaha transfer teknologi bersama masyarakat dalam mengolah dan mengelola sampah rumah tangga.

"Intinya bagaimana mereka bisa memanfaatkan benda sekitar yang tadinya dibakar, dibuang, supaya tetap bermanfaat. Apalagi pandemi banyak belanja online dan sampah numpuk, padahal pengambilan sampah belum tentu teratur," ungkapnya.

Ayu menambahkan, sampah utamanya sampah plastik adalah masalah global bukan lagi masalah lokal.

"Daripada cuman protes, kami lebih ke aksi, sesuatunya sederhana aja ini. Tidak ada support yang melembaga seperti pemerintah, NGO atau lembaga keuangan yang besar. Kami kolektif dan independen, semua kegiatan didanai kocek pribadi dan hasil penjualan produk-produk kami," terangnya.

Di kesempatan itu, Ayu juga menyoroti perihal kebiasaan memilah sampah yang belum didukung hulu ke hilir. Misalnya saja, dari rumah tangga setiap penghuni sudah memilah sampahnya. Namun, saat dikumpulkan oleh petugas, sampah tadi akhirnya dicampur kembali.

Dengan menjadikan sampah sebagai media seni, dijual bahkan menjadi instalasi pameran, maka kritik lingkungan yang dibangun oleh Studio Tactic bisa dilihat lebih banyak orang dari pelbagai kalangan.

"Bisa menimbulkan impact yang lebih besar. Jadi persoalan sampah ini tidak sekadar dilihat secara parsial," ucapnya.

Bagi Ayu, yang paling mengena saat bergelut dengan sampah adalah, ia menjadi lebih introspeksi pada diri sendiri. Bahwa segala sesuatu harus dimulai diri sendiri.

"Kalau kita sendiri tidak berubah, gimana kita mau merubah. Saya juga bukan manusia sempurna, saya juga masih pakai plastik, tapi setidaknya saya lambat laun malas buang sampah sembarangan, misalnya," urainya.

Sejak awal dibangun oleh Ayu dan rekannya, yaitu Mutia Bunga, Studio Tactic ingin membuat karya yang bermanfaat, bisa digunakan, banyak ditemukan dan memberi arti lebih.

"Kami memulai langkah ini dari main ke TPA Piyungan. Ngenesnya, baru turun dari kendaraan itu langsung dirubung lalat banyak banget, bahkan kami lihat sapi-sapi makan plastik," ungkap Ayu dengan ekspresi bergidik.

Sebagai seniman yang terbiasa mengolah berbagai media, mengelola media sampah tetap memberikan tantangan dan banyak cerita bagi seorang Ayu.

Dan cerita-cerita yang ia dapatkan itulah yang akan memperkaya ide-idenya dalam berkesenian.

"Dengan mengadakan workshop juga ada obrolan-obrolan yang hadir, jadi sisi humanisnya kena. Hati kita tersentuh dari hal nyata," lanjut dia.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More