Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 16 Desember 2020 | 09:07 WIB
Pemilik usaha Genteng Kripik, Rohmad, bersama ibunya membuat genting di halaman rumahnya di Pedukuhan Polosiyo RT 3, Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Kabupaten Bantul, Selasa (15/12/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

"Jadi ketika sudah dipasang diatas [atap rumah], genting akan lebih kuat karena ada panil, semacam penyangga antara genting satu dengan genting lainnya," kata dia.

Setelah pencetakan selesai, genting dijemur di terik matahari selama 3-4 jam. Genting yang sudah kering lalu dibakar di dalam tobong atau tempat pembakaran berukuran besar.

Satu tobong bisa diisi sampai dua ribu genting. Pembakaran dilakukan selama lima jam dengan bahan bakar pelepah kelapa.

Satu genting Rohmad hargai Rp900. Biasanya pembeli memesan seribu genting. Harga tersebut dianggap lebih murah dibandingkan genting lainnya yang dibuat dengan cara pres.

Baca Juga: Tingkat Partisipasi Warga Bantul pada Pilkada Serentak Tertinggi di DIY

Biasanya, genting pres bisa mencapai Rp1,2-1,5 juta per seribu buah. Jumlah itu cukup mahal untuk para pembangun rumah.

"Jadi saya memberikan harga yang murah, tetapi kualitas tetap terjaga," ujar Rohmad.

Pembeli Rohmad masih berada di wilayah DIY. Ia biasa mengantar genting-genting ini ke Kulon Progo dan juga Kota Yogyakarta.

Tak dipungkiri saat awal Pandemi Covid-19 usahanya hampir bangkrut. Namun berkat dorongan dari istri dan ibu, usaha ini tetap Rohmad jalankan.

"Ketika mulai ada kelonggaran dari pemerintah, saya kembali mempromosikan lagi. Jadi di wilayah Poncosari ini sudah jarang pengrajin genting, sehingga hal ini saya manfaatkan dan ingin mengenalkan ada kualitas genting di tengah desa yang masih bagus untuk membangun rumah," terangnya.

Baca Juga: Hadir di Detik Akhir Pleno KPU, Joko Purnomo Lakukan ini ke Saksi Suharsono

Load More