Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 16 Desember 2020 | 11:01 WIB
Salah satu patok proyek pembangunan jalan tol tertancap di salah satu lahan pertanian produktif milik warga di Pedukuhan Ketingan, Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, Rabu (16/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

"Junction di situ akan memakan lahan yang luar biasa. Ada empat dusun yang kena junction, lahan blok Ketingan, Kaweden, Gomblang, dan Rajek Lor. Itu masuknya Tirtoadi semua," paparnya.

Suseno menuturkan, lahan pertanian yang terdampak itu milik kedua orang tuanya. Total ada empat bidang yang ada di empat lokasi, yakni dua masing-masing di Kalurahan Tlogoadi dan Tirtoadi.

Menurutnya, ganti rugi yang diterima akan digunakan untuk membeli lahan pertanian lagi di wilayah lain. Maka dari itu, ia sangat berharap, harga yang nantinya ditetapkan seharusnya bisa lebih tinggi dari harga normal.

"Ini tanah milik orang tua, dan orang tua juga sudah sepuh. Mereka punya keinginan, kalau dapat uang dalam ganti rugi ini akan digunakan untuk beli tanah lagi. Tidak mungkin untuk ganti profesi yang lain juga karena usia," tuturnya.

Baca Juga: Dukung Proyek Tol Jogja-Solo, BPD DIY Layani Pembayaran Dana Ganti Untung

Suseno berharap, harga lahan yang terdampak itu bisa mencapai empat kali lipat harga normal. Sebab jika hanya dihargai dua kali lipat saja, warga belum akan untung dan dimungkinkan tidak bisa untuk membeli lahan lagi.

"Harusnya harga itu empat kali lipat. Dua kali lipat untuk menutup harganya, kelipatan ketiga untuk menutup kerugian ekonomis karena petani kalau sekarang bisa jalan, tapi besok kalau beli lahan di wilayah lain harus naik motor, pakai bensin, itu tambahan biaya lagi. Baru kelipatan keempat menjadi nilai kerugiannya. Kalau cuma dua kali ya rugi namanya, benar ganti rugi, bukan jadi ganti untung. Kita tertindas. Saya sebetulnya enggak ikhlas kalau cuma segitu," tegasnya.

Diyakini Suseno, akan terjadi transaksi yang luar biasa terkait persoalan tanah. Bukan tidak mungkin masyarakat akan saling berebut untuk mendapatkan lahan di wilayah lain dengan harga berapa pun.

"Yang paling memungkinkan memang membeli lahan di wilayah barat. Sedangkan harga di sana mulai naik juga. Penjual juga berpikir bahwa dijual dengan harga tinggi pun tetap akan laku soalnya banyak yang butuh," terangnya.

Menurut Suseno, saat ini masyarakat Ketingan resah dengan ketidakpastian tersebut. Di satu sisi, masyarakat ingin mencari lahan baru, tapi belum bisa karena belum memegang uang ganti rugi. Di sisi lain, keresahan itu bertambah dengan kabar di daerah lain. Dari sepengetahuannya, di wilayah Klaten harga rugi yang diterima tidak bisa maksimal seperti yang diharapkan warga.

Baca Juga: Ricuh, Demo Korban Penggusuran Proyek Tol Bandara di Depan Kantor Wali Kota

"Sebetulnya penetuan harga memang langsung dari pusat, tapi ya kami meminta seharusnya masyarakat terdampak ikut terlibat dalam kesepakatan itu. Artinya, masyarakat juga turut andil dalam penentuan harga ganti rugi lahannya," tandasnya.

Load More