Scroll untuk membaca artikel
Rima Sekarani Imamun Nissa | Nur Khotimah
Senin, 28 Desember 2020 | 19:41 WIB
Koleksi Integrity Toys Doll milik anggota Djogja Dolanan Doll yang dipamerkan di Hartono Mall Yogyakarta, Minggu (27/12/2020). (Suarajogja.id/Nur Khotimah)

SuaraJogja.id - Masyarakat selalu beranggapan bahwa boneka adalah mainan untuk anak perempuan yang masih kecil. Namun, stigma tersebut didobrak oleh komunitas Djogja Dolanan Doll atau DDD.

Berdiri sejak tahun 2018, anggota komunitas pencinta boneka di Jogja ini justru kebanyakan adalah orang dewasa. Mereka menempatkan boneka sebagai media berkarya, bukan lagi sekedar sarana bermain belaka.

Hal itu disampaikan oleh salah satu penggagas Djogja Dolanan Doll, Yan Mahmud Fau, saat berbincang dengan SuaraJogja.id di sela pameran yang digelar di Hartono Mall Yogyakarta pada Minggu (27/12/2020) kemarin.

Berbekal penjelasan dari seniornya, pria yang berprofesi sebagai dokter kecantikan itu mengatakan bahwa pada dasarnya cara anak-anak dan orang dewasa memperlakukan boneka itu berbeda.

Baca Juga: Komunitas Djogja Dolanan Doll: Bertemu dan Berkumpul berkat Boneka

Yan Mahmud Fau (kiri) dan Retni Mardusari (kanan), penggagas komunitas Djogja Dolanan Doll saat ditemui Suarajogja.id di Hartono Mall Yogyakarta, Minggu (27/12/2020). (Suarajogja.id/Nur Khotimah)

"Kebetulan saya seorang dokter, terus saya punya senior seorang psikiater, SpKJ, spesialis jiwa gitu, ya. Saya membahas dengan beliau, apa sih yang membedakan orang dewasa bermain dolls dengan anak kecil bermain dolls," kata Yan.

"Bedanya adalah, ketika anak kecil itu untuk sesuatu hal yang imajinatif, untuk bermain peran. Jadi kayak bermain peran, pergi ke pasar, dia berkhayal ini hidup, kemudian memainkan karakter tersendiri. Jadi untuk properti bercerita," lanjutnya menjelaskan.

Sementara di tangan orang dewasa, boneka adalah media untuk berkarya. Kalau pun boneka dijadikan sebagai properti cerita oleh mereka yang suka mendongeng, pasti nilai dan pesan yang disampaikan lebih dalam ketimbang cerita dari anak kecil.

"Orang dewasa itu menggunakan dolls ini untuk media berkarya. Contohnya kayak tadi, fotografi. Jadi kita memang di dunia fotografi banyak aliran ya, salah satunya itu toys photography, (termasuk) dolls photography," tegas Yan lagi.

Anggota Djogja Dolanan Dolls sendiri banyak memanfaatkan koleksi boneka mereka untuk fotografi hingga membuat karya fesyen dan furnitur. Hal itu karena anggota komunitas memang berasal dari berbagai macam latar belakang profesi.

Baca Juga: Berduka, Binaragawan Kazakhstan yang Nikahi Boneka Sebut Istrinya Rusak

Soal stigma bahwa boneka hanya untuk perempuan, Yan memiliki pendapatnya sendiri. Pria berusia 31 tahun ini menjabarkan bahwa stigma tersebut muncul berkaitan dengan nilai ekonomi yang dilekatkan ke suatu barang.

Sejak dibuat, identitas boneka dianggap sudah dilekatkan kepada perempuan. Pada akhirnya, muncul pola pikir para orang tua untuk langsung memilih boneka ketika sedang mencari hadiah untuk anak perempuan mereka.

"Ini (stigma boneka hanya untuk perempuan) ada kaitannya dengan masalah nilai ekonomi. Suatu barang ketika dia punya identitas, nilai jualnya akan meningkat, sehingga orang punya alasan untuk membeli," tutur Yan.

"Contoh nih ya, ada mainan, mainan ini bisa untuk anak laki-laki, bisa untuk anak perempuan. Ketika ada orang tua, anaknya mau ulang tahun minggu depan, orang tua mau beliin kado. Kalau anaknya perempuan, yang terpikirkan apa? Beli boneka, kan?" lanjut Yan.

Pendapat semacam itu dianggap tak akan muncul kalau dari awal boneka tidak diidentikan dengan perempuan. Menurut Yan, ini termasuk teknik marketing agar boneka lebih punya nilai jual di mata masyarakat.

Komunitas Djogja Dolanan Doll saat mengadakan pameran di Hartono Mall Yogyakarta, Minggu (27/12/2020). (Suarajogja.id/Nur Khotimah)

Yan kemudian menambahkan bahwa tak ada yang salah apabila anak laki-laki atau bahkan laki-laki dewasa menyukai boneka. Selama itu dimanfaatkan dengan baik dan menjadi media berkarya, tidak ada salahnya.

Yan juga menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara perkembangan mental anak laki-laki dengan kesukaannya terhadap boneka seperti yang selama ini ditakutkan oleh kebanyakan orang tua.

Sebaliknya, bagi anak laki-laki, boneka justru bisa saja dijadikan sebagai sarana menyalurkan bakat. Misalnya, dia berbakat di bidang fesyen, maka boneka bisa dimanfaatkan sebagai alat peraga.

Begitu pula dengan anak yang berbakat dalam membuat cerita. Karena tidak mungkin menyalurkan cerita lewat artis sungguhan, mereka bisa memperagakannya via boneka.

Load More