SuaraJogja.id - Pemda DIY mulai mendorong sejumlah penyintas COVID-19 di DIY untuk mendonorkan plasma convalescent (konvalesen) mereka. Hal itu menyusul tingginya kasus COVID-19 di wilayah setempat.
Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo mengungkapkan, secara policy, plasma konvalesens sangat membantu penyembuhan pasien COVID-19 dengan gejala berat.
"Tapi seberapa efektif dan detail teknisnya, menjadi ranah klinis," kata Joko, Selasa (19/1/2021).
Sementara itu, pakar Penyakit Dalam Spesialis Paru-Paru (Internis Pulmonologist) FKKMK Universitas Gadjah Mada Sumardi mengatakan, terapi plasma konvalesen telah lama digunakan sebagai metode pengobatan penyakit akibat infeksi.
Baca Juga: Manjur Obati Pasien Covid, Menko PMK Ajak Penyintas Donor Plasma Konvalesen
"Misalnya saat pandemi flu Spanyol pada tahun 1900-an. Selain itu, pengobatan difteri, flu burung, flu babi, ebola, SARS, dan MERS," urainya.
Sementara dalam pengobatan pasien COVID-19, terapi dilakukan dengan menggunakan plasma darah pasien positif COVID-19 yang sudah sembuh. Plasma darah yang terdapat antibodi tersebut ditransfusikan ke pasien COVID-19 yang masih sakit.
Namun demikian, terapi plasma konvalesen ini masih terbatas untuk uji klinik. Demikian halnya untuk COVID-19 yang digunakan di beberapa negara masih sebatas uji klinis, termasuk di Indonesia. Keberhasilan terapi ini juga masih terbatas pada jumlah pasien yang sedikit.
Dalam hal ini, ia mencontohkan di rumah sakit Shenzhen, China. Dalam terapi plasma konvalesens yang dilakukan pada 5 pasien COVID-19 dengan alat bantu pernafasan/ventilator, dilaporkan dapat mempercepatan penyembuhan 1 orang pasien.
"Sementara 3 lainnya menunjukkan proses penyembuhan yang tergolong lambat dan 1 orang meninggal dunia," ujarnya, dalam keterangan tertulis.
Baca Juga: Profesor UI Sebut Kekebalan Penyintas Covid-19 Paling Lama Bertahan 6 Bulan
Sumardi menjelaskan, selain syarat umum terdapat sejumlah syarat khusus yang harus dipenuhi untuk melakukan tranfusi konvalesen.
Syarat khusus tersebut salah satunya pendonor merupakan pasien positif COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh. Berikutnya, pendonor harus terbukti memiliki antibodi terhadap COVID-19 dalam kadar yang cukup.
“Plasma yang diambil sekitar 400 milimeter, dengan memakai metode plasmapheresis. Yakni hanya mengambil plasma dari sel darah merah saja. Pemberian plasma darah ini sebanyak 2 kali sehari pada pasien COVID-19,” papar dia.
Menurut dia, pengambilan plasma lebih baik dilakukan pada pendonor yang merupakan pasien COVID-19 yang sudah sehat dan berjenis kelamin laki-laki, karena tidak memiliki antigen HLA.
"Sebab, antigen HLA dapat menimbulkan reaksi atau masalah bagi penerima donor," ucapnya.
Ia menambahkan, terapi plasma konvalesens tidak diberikan kepada semua pasien positif COVID-19. Terapi ini hanya diberikan untuk pasien dengan gejala berat atau kondisi kritis.
“Diberikan pada pasien dengan gejala berat, untuk membantu mempercepat penyembuhan. Bukan untuk pencegahan. Terapi plasma konvalesens ini menjadi alternatif pengobatan hingga ditemukan vaksin,” tandasnya.
Disinggung soal vaksin COVID-19 yang saat ini sudah ditemukan, Sumardi menerangkan bahwa vaksinasi bisa membantu mencegah gejala berat pada pasien COVID. Namun demikian, terapi plasma konvalesens ini juga tetap bisa menjadi pilihan penyembuhan.
"Ya, untuk pasien berat," tegasnya lagi.
Sebelumnya, Direktur Utama RSUP Dr Sardjito Rukmono Siswishanto mengungkapkan, sejak Oktober 2020, RS rujukan COVID-19 tersebut sudah melakukan donor plasma. RS tersebut mempunyai delapan alat, yang bisa digunakan untuk proses donor plasma konvalesen.
"Kami juga melakukan pelayanan donor plasma, tidak hanya untuk memasok kebutuhan di Sardjito saja, tapi juga dari rumah sakit lain,” jelasnya.
Kontributor : Uli Febriarni
Berita Terkait
-
Siapa Peter Carey? Ramai Dibicarakan Usai Bukunya Diduga Diplagiat Dosen UGM
-
Semifinal Porsenigama x Pongo: Valorant Berjalan Meriah, Penonton Antusias
-
Kontroversi Anggito Abimanyu, Mundur dari UGM Karena Kasus, Kini Dapat Jabatan Wamen dari Prabowo
-
Daftar Pendaki Hilang di Gunung Slamet: Kisah Tragedi 1985 dan 2001
-
Sama-sama Lulus 1985, Nomor Seri Ijazah UGM Jokowi Dipertanyakan: Kok Beda?
Tag
Terpopuler
- Respons Sule Lihat Penampilan Baru Nathalie Tuai Pujian, Baim Wong Diminta Belajar
- Berkaca dari Shahnaz Haque, Berapa Biaya Kuliah S1 Kedokteran Universitas Indonesia?
- Pandji Pragiwaksono Ngakak Denny Sumargo Sebut 'Siri na Pace': Bayangin...
- Beda Penampilan Aurel Hermansyah dan Aaliyah Massaid di Ultah Ashanty, Mama Nur Bak Gadis Turki
- Jadi Anggota DPRD, Segini Harta Kekayaan Nisya Ahmad yang Tak Ada Seperempatnya dari Raffi Ahmad
Pilihan
-
Freeport Suplai Emas ke Antam, Erick Thohir Sebut Negara Hemat Rp200 Triliun
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB, Terbaik November 2024
-
Neta Hentikan Produksi Mobil Listrik Akibat Penjualan Anjlok
-
Saldo Pelaku UMKM dari QRIS Nggak Bisa Cair, Begini Respon Menteri UMKM
-
Tiket Kereta Api untuk Libur Nataru Mulai Bisa Dipesan Hari Ini
Terkini
-
AI Ancam Lapangan Kerja?, Layanan Customer Experience justru Buat Peluang Baru
-
Dampak Kemenangan Donald Trump bagi Indonesia: Ancaman Ekonomi dan Tantangan Diplomasi
-
Pengawasan Miras di DIY sangat Lemah, Sosiolog UGM Tawarkan Solusi Ini
-
Pakar hukum UGM Usul Bawaslu Diberi Kewenangan seperti KPK
-
Ini Perbedaan Alergi Susu dan Intoleransi Laktosa pada Anak