Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 29 Januari 2021 | 10:59 WIB
Gubernur DIY ditemui di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kamis (21/1/2021). - (SuaraJogja.id/Putu)

SuaraJogja.id - Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) melaporkan Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Laporan ini disampaikan setelah somasi yang sebelumnya diberikan untuk mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 tidak ditanggapi.

"Kami sebelumnya sudah melayangkan surat somasi kepada Gubernur DIY terkait dengan penertiban Pergub DIY nomor 1 Tahun 2021. Namun setelah batas waktu yang telah kami berikan, ternyata tidak ada itikad baik dari Gubernur untuk mencabut Pergub tersebut," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, Yogi Zul Fadhli, saat dikonfirmasi awak media, Jumat (29/1/2021).

Dengan dasar itu, ARDY akhirnya mengambil langkah untuk mengadukan Gubernur kepada Ombudsman RI. Laporan tersebut terkait dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Gubernur dalam penerbitan Pergub nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka atau Pergub Pembatasan Unjuk Rasa.

Yogi menuturkan, penerbitan Pergub ini dilakukan dengan mengabaikan asas kedaulatan rakyat dan asas keterbukaan. Di mana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Baca Juga: Kasus COVID-19 di DIY Masih Tinggi, Sri Sultan Larang Pembukaan Sekolah

"Sudah sangat jelas bahwa dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal ini adalah peraturan kepala daerah berupa peraturan Gubernur mesti melibatkan peran serta masyarakat. Masyarakat punya hak untuk terlibat dalam setiap pembuatan kebijakan publik," ucapnya.

Disampaikan Yogi, pihaknya melihat asas keterbukaan dan partisipasi itu yang diabaikan oleh Gubernur DIY. Hal itulah yang diindikasikan ARDY dalam konteks terbitnya Pergub itu ada dimensi maladministrasi.

Yogi menyebut diabaikannya asas partisipasi itu terlihat jelas jika dibandingkan dengan terbitnya Pergub yang lain. Sebagai contoh terkait dengan penertiban Standar Operasional Prosedur (SOP) New Normal yang saat itu akan dijadikan Pergub.

"Waktu itu Gubernur pernah menyampaikan kalau itu harus diuji publik terlebih dahulu. Nah sementara dalam konteks terbitnya Pergub [DIY Nomor 1 Tahun 2021] kita tidak pernah melihat adanya upaya-upaya uji publik yang kemudian dilakukan oleh Gubernur. Bahkan kami dari ARDY tidak pernah mendapatkan salinan naskah rencana Pergub ini. Kalau sesuai dengan ketentuan undang-undang itu mestinya disediakan oleh pemerintah dan sifatnya mudah diakses," tegasnya.

Yogi menilai bahwa penerbitan Pergub tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh Gubernur. Tanpa memikirkan partisipasi masyarakat sebagaimana yang sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Baca Juga: Sempat Bertemu Bupati Sleman, Sri Sultan Siap Dites Swab

"Kami berharap Ombudsman bisa menindaklanjuti aduan kami dengan melakukan investigasi dengan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Gubernur. Selain itu diharapkan Ombudsman juga bisa mengeluarkan rekomendasi terkait dengan maladministrasi yang diduga dilakukan oleh Gubernur DIY," tuturnya.

Sementara itu Kepala ORI Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Budi Masthuri, menyebut bahwa laporan yang masuk akan melalui beberapa tahap terlebih dahulu. Mulai dari verifikasi terkait dengan kelengkapan data dan persyaratan yang ada.

"Kemudian akan dilakukan validasi apakah substansinya memenuhi syarat dan sebagainya. Kalau sudah lolos nanti akan masuk ke tahap registrasi dan diagendakan proses pemeriksaannya," ujar Budi.

Terkait dengan proses pemeriksaan sendiri, kata Budi, pertama kali akan diperiksa dokumennya. Kemudian akan dilanjutkan dengan meminta klarifikasi kepada gubernur sebab dalam hal ini yang dilaporkan adalah Gubernur.

"Bisa melalui cara tertulis, kita mendatangi dan atau malah menghadirkan. Tergantung mana nanti yang paling efektif," imbuhnya.

Budi menyampaikan bahwa yang diresahkan pelapor kali ini adalah kebijakan yang dapat menghambat hak-hak masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Sebab memang menurutnya ruang publik juga harus disedikan sebagai bentuk pelayanan publik kepada masyarakat.

"Itu poin yang disampaikan oleh pelapor. Nanti kita akan lihat lagi dimana dimensi pelayanan publiknya, apakah memenuhi dimensi pelayanan publik karena ini yang dilaporkan selain sikap atau tindakan tapi produk kebijakan," ucapnya.

Dalam hal ini selain dapat menggunakan pendekatan investigatif Ombudsman juga dapat menggunakan pendekatan review terhadap kebijakan tersebut melalui kewenangan Pasal 8 ayat 2 di dalam Undang-Undang Ombudsman RI.

Budi mengatakan di dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-undang Ombudsman RI tersebut tertulis bahwa Ombudsman dapat melakukan atau memberikan saran kepada penyelenggara pelayanan publik termasuk Presiden, kepala daerah, DPR, untuk dilakukan review dari berbagai peraturan atau kebijakan yang patut diduga atau dikhawatirkan dengan sangat kuat dapat menyebabkan buruknya pelayanan publik.

"Kalau menggunakan Pasal 8 itu sangat memungkinkan kita menyarankan revisi atau amandemen bahkan mencabut sangat mungkin. Tergantung nanti analisa kita terhadap Pergub itu seperti apa dan dikaitkan dengan dampak buruknya dengan pelayanan publik," terangnya.

Perihal ketidakadaanya uji publik, Budi menyebut masih akan melihat lebih lanjut peraturan terkait yang telah disebut sebagai rujukannya. Kendati tidak dipungkiri sekarang adalah era partisipasi, namun apakah pejabat memang partisipasi itu diatur dan diwajibkan dalam setiap proses kebijakan atau tidak masih akan didalami.

Load More