Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Selasa, 23 Maret 2021 | 20:06 WIB
Ilustrasi korban ghosting (pixabay/sasint)

"Pemicu ghosting adalah adanya perasaan tidak nyaman dalam relasi atau saat ada ketidakcocokan yang tidak bisa dikomunikasikan secara terbuka," jelas Idei.

Namun, Idei menekankan, alasan seseorang melakukan ghosting tidak bisa digeneralisasikan, sehingga sebaiknya pelaku ghosting tak serta merta diberi label karena perlu diketahui riwayat kehidupan dan dinamika psikologisnya.

Ghosting, menurut Idei, pada dasarnya adalah penolakan, hanya saja tanpa finalitas. Maka dari itu, tidak benar-benar ada kata "selesai" atau "putus". Pelaku ghosting akan secara tiba-tiba berhenti membalas pesan atau panggilan telepon tanpa penjelasan.

Dampaknya, korban ghosting akan mengalami perasaan bingung, sakit hati, dan paranoid dikhianati ataupun menyalahkan diri sendiri.

Baca Juga: Hobi Ghosting Usai Hamili Anak Orang, Pria Ini Diringkus Polisi

Perasaan tidak nyaman yang dialami korban ghosting pun dapat berkelanjutan sampai mengganggu fungsi hidup keseharian, seperti malas makan dan beraktivitas, tidak mampu berkonsentrasi, hingga mengalami penurunan performa kerja.

Idei lantas menyarankan korban ghosting untuk tak merendahkan diri dan berhenti mengejar pelaku.

"Stop chasing for people, you deserve the best [berhentilah mengejar orang, kamu pantas mendapatkan yang terbaik]," tutur Idei.

Selain itu, Idei mengingatkan bahwa orang yang tepat akan bertanggung jawab akan sikapnya.

"Orang yang tepat untuk Anda akan mencari Anda dan bertanggung jawab atas tindakannya," tambahnya.

Baca Juga: Ketahui 6 Cara Efektif Atasi Sakit Hati Karena di-Ghosting Gebetan

Load More