SuaraJogja.id - Penanganan kelompok kriminal bersenjata atau KKB di Papua yang masih saja menebar teror sebaiknya tidak dilakukan dengan operasi militer. Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Bambang Purwoko, menyebut bahwa yang sebaiknya dilakukan dengan pendekatan sosial budaya.
Pendekatan ini diperlukan khususnya terhadap kelompok bersenjata yang memiliki dendam masa lalu karena keluarga mereka menjadi korban dari tindakan operasi TNI-Polri.
“Langkah ini pendekatan adat, misalnya dengan bayar denda adat atau bayar kepala dan upacara perdamaian. Tujuannya untuk memutus mata rantai dendam,” ungkap Bambang seperti dikutip dari laman resmi UGM.
Persoalan KKB menurutnya perlu ditangani secara sinergis antara TNI-Polri dengan pemerintah daerah. Bentuk-bentuk operasi militer seperti yang sekarang terjadi di Intan Jaya, ungkapnya, tidak perlu diperluas sampai ke Puncak dan kabupaten lain, dan sebaiknya pimpinan TNI-Polri dapat berkomunikasi dan bekerja sama secara sinergis dengan kepala daerah dalam menyelesaikan persoalan ini.
Baca Juga: Pakar Hukum UGM: Alih Status Pegawai Jadi ASN Bikin Tamat KPK
“Terkait dengan semakin meningkatnya gangguan keamanan di Intan Jaya dan Puncak, secara khusus saya mengusulkan agar Menkopolhukam segera memanggil para Bupati di wilayah tersebut (Puncak, Puncak Jaya, Nduga, Intan Jaya) untuk dilakukan koordinasi penanganan masalah keamanan daerah. Hal ini tentu saja perlu dilakukan bekerja sama dengan TNI-Polri dan kementerian lain termasuk Kantor Staf Presiden," imbuhnya.
Bambang menerangkan, tindak kriminal oleh kelompok bersenjata bisa memiliki berbagai motif. Selain motif balas dendam, tindakan ini juga bisa didorong oleh alasan finansial untuk mendapatkan tebusan atau upaya untuk memperkuat jaringan kelompok mereka dengan membunuh dan merampas senjata dari aparat TNI-Polri.
Dari fenomena-fenomena sebelumnya, Bambang tidak menampik kemungkinan bahwa kelompok-kelompok bersenjata tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan politik mereka, misalnya akibat kegagalan dalam kontestasi politik di tingkat lokal. Dalam kasus Kabupaten Puncak, hal seperti ini pernah terjadi pada tahun 2011 – 2012.
Meski demikian, motif dari serangan yang dilakukan salah satu atau beberapa kelompok bersenjata dalam beberapa minggu terakhir di Kabupaten Puncak menurutnya tidak terlalu jelas.
Dari sasaran pembunuhan dan pembakaran yang mencakup guru-guru, pelajar, warga pendatang, serta rumah kepala suku, terlihat bahwa tindakan yang dilakukan bukan semata-mata politis, namun mengarah kepada perilaku brutal dan kejam untuk mengacaukan kondisi keamanan. Tindakan brutal ini justru memicu kecaman terhadap KKB ataupun TPN/OPM.
Baca Juga: Pemerintah Hapus Pendidikan Pancasila, UGM: Cermin Sikap Tak Tanggung Jawab
Perilaku semacam ini, terangnya, juga menimbulkan kegeraman dari masyarakat setempat yang kemudian bertekad untuk bersatu melawan KKB ataupun TPN/OPM yang jelas-jelas sudah mengganggu masyarakat.
“Sebenarnya KKB ataupun TPN/OPM di Puncak ini pantas juga disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan. Kebrutalan mereka menghancurkan fasilitas pendidikan memperlihatkan bahwa mereka juga bermaksud menghambat kemajuan masyarakat Puncak dan sangat mungkin bahwa penggerak mereka bukanlah anak-anak asli dari Puncak,” paparnya.
Bupati Puncak sendiri menurutnya telah melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok bersenjata ini, misalnya dalam upaya evakuasi guru yang tertembak di Beoga. Beberapa waktu sebelumnya Bupati juga datang langsung ke Beoga untuk mendamaikan dua kelompok masyarakat yang berperang.
Bambang mengungkapkan, pembangunan pendidikan menjadi salah satu aspek yang sangat penting untuk disentuh dalam upaya untuk mencegah kemunculan dan perkembangan kelompok kriminal atau kelompok separatis bersenjata. Perlu dilakukan pendekatan terhadap anak-anak muda yang bersimpati dan bergabung dalam kelompok bersenjata untuk dapat kembali bersekolah.
Dalam hal ini, imbuhnya, pendidikan yang baik menjadi penting dan tidak boleh diabaikan oleh pemerintah daerah.
“Anak-anak yang sudah lulus sekolah atau yang tidak sekolah sebaiknya bisa diberi akses pekerjaan oleh Pemda, misalnya dengan menjadi Satpol PP atau posisi pekerjaan lainnya seperti aparat keamanan kampung,” terangnya.
Berita Terkait
-
Komnas HAM Tegaskan Guru Besar UGM dan Dokter Residen Pelaku Pelecehan Harus Dihukum Lebih Berat!
-
Predator Seksual Berkedok Profesor, Guru Besar UGM Ramai Disebut Walid Versi Nyata
-
Cabuli Mahasiswi, Legislator PKB Geram Aksi Predator Seks Guru Besar UGM: Jangan Dikasih Ampun!
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Eks Kapolsek Mulia Puncak Jaya Papua Tewas Ditembak TPNPB-OPM di Depan Warung Kelontong Miliknya
Terpopuler
- 10 Transformasi Lisa Mariana, Kini Jadi Korban Body Shaming Usai Muncul ke Publik
- Daftar Pemain Timnas Belanda U-17 yang Gagal Lolos ke Piala Dunia U-17, Ada Keturunan Indonesia?
- Titiek Puspa Meninggal Dunia
- Gacor di Liga Belanda, Sudah Saatnya PSSI Naturalisasi Pemain Keturunan Bandung Ini
- Eks Muncikari Robby Abbas Benarkan Hubungan Gelap Lisa Mariana dan Ridwan Kamil: Bukan Rekayasa
Pilihan
-
Hasil BRI Liga 1: Diwarnai Parade Gol Indah, Borneo FC Tahan Persib Bandung
-
Persija Terlempar dari Empat Besar, Carlos Pena Sudah Ikhlas Dipecat?
-
Momen Timnas Indonesia U-17 Gendong ASEAN Jadi Pembicaraan Media Malaysia
-
Terbang ke Solo dan 'Sungkem' Jokowi, Menkes Budi Gunadi: Dia Bos Saya
-
6 Rekomendasi HP Murah dengan Kamera Beresolusi Tinggi, Terbaik April 2025
Terkini
-
Maut di Jalan Wates: Ninja Hantam Tiang, Satu Nyawa Melayang
-
Jogja Diserbu 4,7 Juta Kendaraan Saat Lebaran, 9 Nyawa Melayang Akibat Kecelakaan
-
Malioboro Bau Pesing? Ide Pampers Kuda Mencuat, Antara Solusi atau Sekadar Wacana
-
BI Yogyakarta Catat Penurunan Drastis Peredaran Uang Tunai saat Lebaran, Tren Transaksi Berubah
-
Kantongi Lampu Hijau dari Pusat, Pemkab Sleman Tancap Gas Isi Kursi Kosong OPD