Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 27 Mei 2021 | 07:38 WIB
Ilustrasi Gempa. [Antara]

Dalam cuitan di akun Twitternya, peneliti BMKG tersebut menyebut hal yang membedakan dari kedua peristiwa serupa tersebut tak lain persoalan manajemen mitigasinya.

Berdasarkan analisisnya, banyaknya korban jiwa ketika terjadi gempa Jogja 2006 silam itu dikarenakan konstruksi bangunan yang tak siap. Ia menyebut mayoritas rumah di Jogja ketika itu tidak dirancang tahan gempa.

Rumah kita saat itu tidak tahan gempa," terangnya saat menanggapi komentar netizen terkait perbedaan gempa Jogja dengan di Jepang.

Lebih jauh ia menyebut bahwa di Jepang sudah sejak lama menerapkan mitigasi struktural terkait konstruksi bangunan. Mereka sadar betul bahwa mereka hidup di atas lempengan bumi yang rentan terhadap terjadinya gempa.

Baca Juga: Modal Rp130 Ribu, Warga Srimulyo Sukses Bangun Destinasi Wisata Alternatif di Bantul

"Struktur bangunan di Jepang sudah tahan gempa. Mereka sudah lakukan mitigasi struktural," ujarnya.

Muncul desa tangguh

Belajar dari tragedi gempa Jogja yang memakan banyak korban jiwa, mendorong Pemda DIY untuk mengembangkan kawasan Desa Tangguh Bencana.

Salah satu upaya yang ditempuh sebagai Desa tangguh bencana yakni seperti yang dipelopori di Dusun Nglepen, Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan yang perkampungannya terdiri dari bangunan unik berupa rumah dome yang diklaim sebagai rumah anti gempa pertama di Indonesia.

Di awal pembangunannya terdapat 80 bangunan yang terdiri dari 71 rumah hunian warga, serta sisanya fasilitas MCK, aula hingga klinik kesehatan.

Baca Juga: Hingga 25 Mei 2021, Vaksinasi Dosis 2 di Bantul Capai 42 Ribuan Orang

Selain di Nglepen, pemda DIY juga membangun desa tangguh lainnya. Pada 2019 tercatat ada sebanyak 34 desa tangguh bencana yang tersebar di kawasan pesisir Bantul.

Load More