Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Rabu, 14 Juli 2021 | 13:46 WIB
Ilustrasi Isolasi Mandiri (Shutterstock)

SuaraJogja.id - Rasa sedih mendera Supraptini (48) warga RT 03/01 Padukuhan Sumberejo Kalurahan Ngawu Kapanewon Playen Gunungkidul saat ingat perjuangan beratnya untuk mendapatkan oksigen bagi suaminya Paidi (46) beberapa hari yang lalu. Karena tak kunjung mendapat oksigen, nyawa suaminya akhirnya tidak bisa diselamatkan.

Supraptini mengungkapkan, suaminya adalah salah satu pasien Hemodialisa (cuci darah) di RSUD Wonosari sejak 9 tahun yang lalu. Sekitar tanggal 4 Juli 2021 yang lalu waktunya untuk cuci darah. Karena kebetulan dirinya tengah membantu hajatan di rumah tetangganya, maka dirinya tidak bisa mengantar.

"Anak saya juga tidak bisa mengantar beliau,"ujar dia dengan suara parau menahan tangis, Rabu (13/7/2021) ketika dihubungi.

Seperti biasa, sebelum melakukan cuci darah di RSUD Wonosari maka suaminya harus melakukan test swab di Puskesmas Playen. Saat itu, suaminya berangkat sendiri ke Puskesmas I Playen untuk melakukan uji swab. Hasilnya disebutkan negatif.

Baca Juga: Mantan Anggota DPRD dan Sekretaris DPD PAN Gunungkidul Meninggal Terpapar Covid-19

Namun anehnya, lanjut Supraptini, meski negatif tetapi pihak Puskesmas meminta Paidi untuk melakukan isolasi mandiri di rumah selama 10 hari. Kendati demikian, keesokan harinya Paidi tetap memutuskan untuk berangkat sendiri cuci darah ke RSUD Wonosari.

"Selama 9 tahun bapak memang berangkat sendiri kalau HD," terangnya.

Namun sore harinya ketika pulang dari cuci darah, Kepala Dukuh Sumberejo mendatangi kediaman Paidi. Dukuh tersebut mengatakan jika Paidi positif Covid-19 dan diminta untuk isolasi mandiri di rumah. Namun anehnya pernyataan jika Paidi positif tersebut hanya disampaikan secara lisan dan tidak ada bukti tertulis.

Karena harus melakukan isolasi mandiri, membuat Paidi stres karena tidak bisa bekerja lagi. Paidi khawatir pendapatannya sebagai tukang parkir akan hilang jika harus menjalani isolasi mandiri. Supraptini mengaku heran mengapa hanya suaminya yang dinyatakan positif Covid-19 sementara teman-teman suaminya tidak ada yang terpapar.

"Padahal saat itu bapakne (suami) segar bugar," paparnya.

Baca Juga: Potensi Wisata Pantai Grigak di Gunungkidul

Awal melakukan isolasi mandiri, Paidi sebenarnya segar bugar namun di hari ketiga yaitu hari Minggu, yang bersangkutan mulai merasakan sesak napas. Meskipun keluarga ini memiliki tabung oksigen kecil untuk jaga-jaga, namun saat itu kondisinya kosong.

Supraptini sudah berusaha mengambil oksigen ke Puskesmas Playen namun kosong. Wanita inipun juga membawa suaminya menggunakan sepeda motor ke RSUD Wonosari dengan harapan bisa mendapatkan asupan oksigen di IGD. Namun karena kala itu IGD sudah penuh maka harapan mendapat asupan oksigen pupus.

"Setelah itu suami ikut mbonceng motor saya berkeliling mencari oksigen. Saya keliling ke mana-mana semuanya kosong. Saya keliling sampai tengah malam,"kenangnya.

Karena sudah tengah malam, Supraptini memutuskan pulang dan meminta anaknya untuk mencari oksigen. Meski sudah keliling ke Kota Yogyakarta namun anaknya pulang dengan tangan hampa. Pagi harinya, suaminya, Paidi diketahui meninggal dunia dalam posisi terduduk.

Senin pagi, beberapa saat setelah suaminya meninggal, ada petugas Puskesmas yang datang ke rumahnya. Petugas tersebut bermaksud mengantar Paidi ke RSUD Wonosari untuk melakukan cuci darah. Saat itu petugas Puskesmas belum mengetahui kalau suaminya telah meninggal dunia.

"Kebetulan jadwal cuci darah suami saya itu Kamis dan Senin,"terangnya.

Sebenarnya, saat suaminya mulai sesak napas sebelum meninggal Supraptini sudah berusaha menghubungi pihak Puskesmas Playen. Namun pihak Puskesmas Playen menyatakan jika sesak napas yang dialami oleh Paidi hanya sesak napas biasa seperti yang banyak terjadi pada pasien hemodialisa menjelang cuci darah.

Supraptini menuturkan selama isolasi mandiri memang sudah ada perhatian dari Satgas Penanganan Covid-19 di mana mereka mendapatkan bantuan permakanan dari Kalurahan. Untuk pemakaman suaminya, ia terpaksa menghubungi PMI.

"Saya hubungi PMI, katanya untuk memandikan suami saya harus nunggu jam 10 karena harus antre. Akhirnya saya mendapat bantuan relawan dari (Kalurahan) Banaran,"tuturnya.

Terpisah, Direktur RSUD Wonosari, dr Heru Sulistyowati mengakui jika IGD di rumah sakit tersebut sering penuh menyusul melonjaknya pasien covid-19. Karena memang kapasitas tempat tidur perawatan pasien covid-19 sangat terbatas. Kendati demikian, layanan terhadap pasien umum tetap dilaksanakan.

Khusus untuk pasien Hemodialisa, pihaknya melayani pasien cuci darah yang sudah terdaftar secara rutin di RSUD Wonosari. Di samping itu juga melayani cuci darah Cito atau segera untuk pasien yang kondisinya gawat darurat.

"Kami ada 18 alat HD (cuci darah) dan bisa difungsikan semua,"ujarnya.

Kontributor : Julianto

Load More