Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 29 Juli 2021 | 15:06 WIB
Ilustrasi Isolasi Mandiri (Shutterstock)

SuaraJogja.id - Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan HB X memerintahkan warga yang terkonfirmasi Covid-19 agar tak isolasi mandiri (isoman) di rumah. Bahkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menyatakan hal yang sama saat kunjungannya ke Jogja, Senin (27/7/2021). Basuki meminta pasien Covid-19 isolasi di selter.

Kendati pemerintah meminta pasien Covid-19 isolasi di selter agar mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan (nakes), hal itu dirasakan sulit bagi sebagian pasien. Pasalnya, mengurus rujukan ke selter di tengah kondisi lemah dan birokrasi yang berbelit, pasien memilih rumah sebagai tempat isolasinya.

Una, seorang pegawai swasta yang berdomisili di Baciro, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, memutuskan untuk memulihkan kondisi fisik bersama kerabatnya di rumah wilayah Bantul. Penyintas Covid-19 26 tahun itu dinyatakan positif Covid-19 pada 3 Juli 2021.

"Mulai muncul sakit kepala dan gejala itu empat hari sebelum rapid antigen. Awalnya saya di kosan sendirian dan panik kan, tidak ada teman dan bingung mau menentukan kemana," terang Una dihubungi SuaraJogja.id, Kamis (29/7/2021).

Baca Juga: Nakes di Sergai Meninggal saat Jalani Isolasi Mandiri

Ragu akan kondisi kesehatannya yang akan memburuk, Una menghubungi puskesmas terdekat untuk meminta rujukan ke selter Covid-19. Namun begitu, pihaknya diarahkan lagi untuk menghubungi nomor nakes yang diberikan puskesmas.

"Pas positif itu sudah ingin pindah dari kosan, sudah dibantu kantor, tapi kendalanya itu (selter) kan penuh semua. Sebagai warga yang bukan asli sini (Jogja) juga bingung harus ke mana. Sudah menghubungi puskesmas, tapi diminta hubungi nomor yang mereka berikan," kata dia.

Usai menghubungi nomor yang diberikan, dirinya mendapat tanggapan. Puskesmas meminta surat keterangan dari RT setempat bahwa warganya tak bisa isolasi mandiri di indekos.

"Kondisi kan juga lelah, saya biarkan dulu dan menunggu dari kantor dan bantuan teman-teman lain yang bisa mencarikan selter," kata dia.

Kondisi tersebut masih menjadi pikirannya apakah harus segera pergi atau bertahan di kamar. Dirinya juga menghubungi kerabat di Bantul yang saat itu juga sedang isoman.

Baca Juga: DPR Jangan Manja dan Aji Mumpung, Minta Negara Biayai Isoman Padahal Mampu

Namun sebelum dirinya pindah, pengurus RT setempat mengetahui Una positif Covid-19. Sempat ramai ketika informasi itu beredar, RT setempat langsung melakukan sterilisasi dengan bantuan Satgas Covid-19.

"Anehnya Satgas Covid-19 ini tidak menanyakan keadaan saya. Hanya sterilisasi setelah itu pergi. Akhirnya saya inisiatif meminta surat keterangan ke RT yang saat itu datang, tetapi tidak langsung dibuatkan," keluhnya.

Sempat dibantu temannya yang sudah mendapat informasi ketersediaan selter, Una masih harus menunggu. Pihak puskesmas menjanjikan mendapat kamar selter sekitar 3 hari ke depan karena kondisi selter yang ada di Kota Jogja penuh.

Tekanan juga dialami Una dari pemilik kos untuk segera pindah terlebih dahulu. Meski caranya halus, tentu hal itu sedikit membuat emosi karena ia sendiri kebingungan mau ke mana.

"Sebenarnya pemilik kos mau mengurus saya ke selter, tapi saya merasa sudah diusir halus seperti itu. Mereka mungkin tidak paham alurnya, sehingga meminta segera pergi dulu," kata dia.

Merasa ada diskriminasi, dirinya memutuskan untuk meninggalkan indekos dan berpindah ke tempat kerabatnya yang sedang isoman di Bantul. Una mengendarai motor seorang diri sambil menahan gejala yang masih dialami.

Tak jauh berbeda dengan Una, penyintas Covid-19 asal Kelurahan Kadipaten, Kemantren Kraton, Nathania (25), juga memutuskan isolasi mandiri di rumah. Ia menganggap kondisi dua orang tua dan dirinya tidak sampai membutuhkan oksigen. Selain itu, kondisi selter sejak awal Juli sudah penuh, ketika mengurus tentu akan mendapat giliran yang sangat lama.

Ekspektasinya selama menjalani isoman bersama dua orang tuanya akan mendapat pengawasan dari puskesmas. Meski sudah melapor ke RT, Natha tidak mendapat jadwal pengecekan atau dihubungi oleh puskesmas. Pihak RT hanya menyampaikan ketika kondisi memburuk baru melapor ke puskesmas terdekat.

"Seperti obat, selama 14 hari kami pemulihan itu tidak ada kiriman sama sekali. Kami pikir RT sudah mengkonfirmasi ke puskesmas, ditanyakan saja tidak dari puskesmas. Sehingga memulihkan sakit ini secara mandiri," kata dia.

Pihaknya tidak tahu mengapa pihak puskesmas tidak melakukan visit atau pengecekan kesehatan pasien. Ia menduga karena penyebaran Covid-19 di Kemantren Kraton cukup tinggi saat ini, pengawasan itu terhenti.

"Awal sebelum ada ledakan covid seperti sekarang itu ada pengecekan dari puskesmas. Mungkin karena saat ini banyak pasien, puskesmas sudah tidak lagi melakukan itu. Namun bukan berarti membiarkan," katanya.

Selama masa pemulihan dirinya membeli obat secara online. Kebutuhan makan mereka beli menggunakan jasa ojek online. Natha mengaku mendapat bantuan namun waktunya terlambat.

"Setelah kami isolasi selesai, baru bantuan itu datang. Saya tidak habis pikir," ujarnya.

Usai isolasi pun, Natha dan orang tuanya sempat merasa dikucilkan. Meski sudah 14 hari ditambah 3 hari isolasi di rumah pandangan negatif dari warga tetap ada.

"Jadi merasa sudah sehat dan pulih, tapi seperti buronan. Itu yang saya alami," ujar dia.

Terpisah, penggagas Selter Isoman Rumah Juang di Padukuhan Ngentak, Caturtunggal, Depok Sleman, dr Nurkholis tak menampik jika kondisi Selter dan RS pada Juli ini sudah penuh. Ia juga tak menyangkal jika setiap warga terkonfirmasi Covid-19 dan mengurus ke selter secara mandiri kemungkinan kecil berhasil.

"Kondisi saat ini harus ada sinergi antara warga, puskesmas dan minimal tenaga kesehatan di wilayahnya. Memang kondisi sekarang selter penuh, namun cara paling minim membuat tempat isolasi dan tetap mendapat pantauan dari nakes," ujar Nurkholis dihubungi melalui sambungan telepon.

Menurutnya, setiap puskesmas terdapat sejumlah nakes yang menjadi bina wilayah, yakni orang yang ditugasi bertanggung jawab di suatu wilayah terhadap kondisi kesehatan warga.

"Jadi sebenarnya tinggal berkoordinasi saja, mereka sudah punya link ke puskesmas dan mengarahkan warga. Mereka juga lebih paham situasi, seharusnya itu berjalan saat situasi seperti ini," kata dia.

Pemerintah memang berupaya menambah selter untuk isolasi pasien Covid-19. Meski demikian, kamar isolasi cepat penuh dan sulit bagi pasien lain mendapat ruangan. Bagi Nurkholis, tidak menjadi masalah pasien Covid-19 berada di rumah, tetapi harus ada pengawasan dan juga bantuan dari warga sekitar.

"Misal di Selter Syantikara, kemarin dibuka, hari ini sudah penuh. Maka jika memang warga sulit masuk ke selter, minimal saat isolasi mandiri di rumah ada pengawasan lalu pantau minimal saturasi oksigennya. Tentu warga yang sehat ikut berperan aktif untuk warga yang positif Covid-19 itu," jelas dia.

Load More