Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 19 Agustus 2021 | 08:24 WIB
Monumen Serbuan Kotabaru di Kecamatan Gondokusuman, Kota Jogja, Rabu (18/8/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Suasana rumah bercat hijau dengan pintu khas militer berwarna hijau gelap tampak sepi dari luar. Di depan rumah tersebut, terpampang tulisan Ketua RW 3, Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Jogja.

Tak lebih dari tiga menit, seorang pemuda usia 21 tahunan muncul di balik pintu. Sambil berdiri memperkenalkan diri, pria bernama Rasid Bagawan Nurabra itu bercerita sedikit tentang perjuangan kakeknya yang ikut dalam Serbuan Kotabaru yang pecah pada 7 Oktober 1945.

Tak banyak memori yang dia ingat saat itu. Hanya saja, kakeknya yang bernama Sukirno merupakan salah satu pahlawan Daerah Istimewa Yogyakarta memegang peran penting saat pertempuran terjadi. Sukirno melakukan aksi heroik dengan memadamkan listrik markas tentara Jepang yang dahulu disebut Mase Butai.

"Kalau menurut cerita yang pernah saya dengar memang begitu. Mbah (kakek) saya memadamkan listrik sebelum pertempuran terjadi," ujar Rasid ditemui Suarajogja.id, Selasa (17/8/2021).

Baca Juga: Ibadah Paskah di Gereja Kotabaru Dijaga Ketat, Tambahan Personel Disiagakan

Sosok pahlawan Sukirno muda yang terlibat Serbuan Kotabaru pada Oktober 1945 silam. [Dok.ist Rasid]

Serbuan Kotabaru merupakan salah satu fragmen perjuangan warga Yogyakarta menghadapi pendudukan Jepang pada 6-7 Oktober 1945. Meski Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, Jepang belum sepenuhnya menyerahkan kekuasaan Indonesia. Mereka masih berjaga dengan persenjataan lengkap di Markas Mase Butai yang kini menjadi Asrama Kompi Kotabaru.

Pemuda Yogyakarta saat itu meminta agar Jepang meninggalkan tempat tersebut menyusul kemerdekaan Indonesia sudah diproklamirkan. Perundingan pun dilakukan.

Kubu Yogyakarta yang dipimpin Raden Panji Soedarsono serta rekan lainnya, seperti M Saleh, Abu Bakar Ali, termasuk Sukirno meminta Mayor Otsuka dan Kapten Ito dari Jepang menyerahkan senjata dan kekuasaannya secara sukarela. Namun Jepang tak segera melakukan dan membuat pemuda Yogyakarta berang.

Diketahui perundingan itu gagal. Sejumlah pemuda Yogyakarta sepakat menyerbu Jepang memaksa segera angkat kaki. Dikisahkan pemuda-pemuda dari seluruh kecamatan datang ke Kridosono untuk melancarkan penyerbuan.

Pada 7 Oktober 1945 tepatnya pagi buta sekitar pukul 03.00 wib, Pemuda Yogyakarta memadamkan aliran listrik markas Jepang. Setelah itu penyerbuan dilakukan hingga banyak tentara Jepang tewas dan sebanyak 21 pejuang gugur di medan perang.

Baca Juga: Pandemi Penjagaan Ketat, Gereja Santo Antonius Kotabaru Siap Ibadah Paskah

Monumen Serbuan Kotabaru di Kecamatan Gondokusuman, Kota Jogja, Rabu (18/8/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Kembali ke cerita Rasid, sosok pemadam listrik itu banyak dikisahkan adalah Sukirno. Ketika itu, kakek Rasid ini masih berusia sangat muda, yaitu berusia 17 tahun.

"Mbah saya masih muda saat itu. Jadi masuk militer saat itu kan tidak kenal usia ya. Semua bisa masuk. Nah mbah saya ini masuk diantara pemuda Jogja yang berjuang saat itu," jelas Rasid.

Sosok Sukirno adalah pejuang yang begitu sabar. Almarhum yang merupakan kelahiran 1929 itu adalah warga asli Magelang yang mendapat tugas hingga menetap di Yogyakarta.

"Mbah asal Magelang, karena mendapat tugas saat itu dia pindah dan tinggal di Kotabaru ini," kenang anak ketiga dari tiga bersaudara itu.

Sukirno merupakan pribadi yang tenang dan tegas. Tak banyak bicara namun kerap memberi contoh kepada anak dan cucunya.

"Cerita dahulu, mbah ini sangat berani. Maka dari itu ketika ada rencana penyerbuan mbah saya diceritakan sampai mengambil tugas untuk memadamkan listrik itu," ujar dia.

Selain mengabdi untuk negara, Sukirno juga merupakan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

Sosok pahlawan Sukirno (tengah) berfoto bersama keluarganya. [Dok.ist Rasid]

Sukirno yang menyukai hobi menunggang dan memelihara kuda ini wafat di usia 91, pada 2020 lalu.

Semangat perjuangan Sukirno masih melekat hingga ke cucunya. Rasid yang saat ini sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah berusaha menjaga marwah perjuangan kakeknya.

"Tak banyak pesan yang diberikan ke saya, tetapi saya melihat dari semangat berjuangnya. Ini menjadi contoh yang perlu saya lakukan sebagai cucunya," ungkap dia.

Tak hanya Rasid, cerita Sukirno sebagai salah satu pahlawan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlibat dalam serbuan Kotabaru juga cukup dikenal di kalangan Pemerintahan Kalurahan. Sebut saja Supardi, Lurah Kotabaru ini membenarkan Sukirno ikut berjasa saat serbuan itu dilakukan.

Dirinya mendapat cerita dari almarhum Bagus Subarja, yaitu ayah dari Rasid yang baru meninggal dunia Juli 2021 lalu.

"Iya jadi pak Sukirno itu ya yang memadamkan lampu milik Jepang. Karena lampu padam, kondisi medan perang tentu membuyarkan konsentrasi musuh," ujar Supardi dihubungi melalui sambungan telepon. 

Sosok pahlawan Sukirno yang terlibat Serbuan Kotabaru pada Oktober 1945 silam. [Dok.ist Rasid]

Sementara itu sebagai bentuk pengingat atas gugurnya  21 pahlawan Daerah Istimewa Yogyakarta pada serbuan Kotabaru, Pemerintah membangun Monumen Serbuan Kotabaru di kompleks Asrama Kompi itu. 

Saat ini kondisi monumen tersebut masih bersih dan rapi. Terdapat 21 nama pahlawan yang gugur saat penyerbuan tersebut.

Monumen berbentuk balok itu didirikan dan diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 7 Oktober 1988.

Load More