SuaraJogja.id - Praktik pertanian yang saat ini masih dilakukan sebagian masyarakat diketahui sudah muncul sejak 8000 Sebelum Masehi di kawasan Mesopotamia. Hal itu berdasar bukti peninggalan artefak yang kemudian disepakati oleh para ahli prasejarah.
Di Indonesia, bukti praktik bertani telah tercatat sejak masa pra kolonial. Berdasarkan catatan yang disampaikan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, di Jawa, sawah yang merupakan bidang praktik pertanian telah ada sejak lama.
Tetapi seiring bergantinya masa dan zaman, sektor pertanian mengalami krisis. Selain lahan, yang paling krusial yakni regenerasi petani yang berjalan lambat. Tak sedikit yang bahkan profesi ini kehilangan penerusnya.
Berdasar catatan Kementrian Pertanian, saat ini petani muda di Indonesia hanya berjumlah 2,7 juta orang saja. Jumlah ini apabila diprosentase hanya sekitar 8 persen dari total petani di Indonesia yakni 33,4 juta orang.
Baca Juga: Jadwal Padat Liga 1, PSS Sleman Sebut Rotasi Pemain Jadi Kunci
"Sisanya lebih dari 90 persen masuk petani kolonial atau petani yang sudah tua," terang Kepala Badan Penyuluhan Pengembangan SDM Pertanian Kementan, Dedi Nursyamsi awal 2020 lalu.
Di tengah isu besar mengenai krisis regenerasi petani, beberapa petani muda di Yogyakarta berhasil membuktikan bahwa terjun ke sawah dan bercocok tanam juga sama kerennya dengan mereka yang kerja kantoran, di kafe atau mengenakan seragam ASN.
SuaraJogja.id berkesempatan bertemu dengan mereka para petani muda di Yogyakarta yang kini menuai kesuksesan dari hasil bertani. Salah satunya yakni Maulana Pratama Dewa.
Pemuda yang masih berusia 18 tahun ini sejak kecil menjadikan lahan persawahan menjadi tempat bermain sekaligus untuk menghasilkan uang.
Awalnya pemuda asal Karang Kalasan, Tirtomartani, Kalasan, Kabupaten Sleman ini memang menganggap sawah hanya sebagai tempat bermain laiknya anak kecil lainnya. Namun semakin bertambahnya usia, tumbuh kesadaran dalam diri Dewa untuk mewarisi profesi bertani yang dilakoni orang tuanya.
Baca Juga: PSS Sleman vs Persija Jakarta: Super Elja Siap Bungkam Macan Kemayoran
"Dulu itu saya main, biasa anak kecil ke sawah. Lalu mainnya sambil megang traktor besar itu. Kelas 5 SD itu saya sudah bisa pegang traktor sendiri dan terus-menerus sampai sekarang," kata Dewa.
Dewa mengaku memang sudah sejak kecil menyukai tanaman dan sawah. Selain suasana sejuk yang dirasakan, pemandangan pun selalu menyegarkan matanya.
"Jadi memang bukan disuruh orang tua (untuk jadi petani). Kalau orang tua itu justru membebaskan saya mau menjadi apa," ucapnya.
Kecintaan Dewa pada dunia pertanian itu semakin dibuktikan dengan jenjang pendidikan yang diambil. Saat ini, di tengah kesibukannya bertani ia juga terdaftar sebagai salah satu siswa kelas 2 SMK Perkebunan MM 52 di Yogyakarta.
Target yang dimiliki pun sudah jelas. Setelah lulus dari SMK, Dewa telah memantapkan pilihan untuk melanjutkan pendidikannya di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan).
"Ya kalau di sini ngga ada sekolah pertanian tapi di Jogja cuma ada SMK Perkebunan. Jadi memang ke SMK Perkebunan dulu baru nanti mau ke Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan). Sudah ada target memang," tuturnya.
Dewa menyebut selama ini tidak ada persoalan berarti untuk menyeimbangkan antara dunia pertanian yang ia tekuni dan kegiatan belajar di sekolah. Justru ia malah tidak jarang lebih dulu tahu atau paham dengan materi yang diberikan di sekolah.
"Alhamdulillah engga mengganggu sekolah, malah materi di sekolah sudah ada saat praktik bertani. Jadi sudah lebih paham lebih dulu dari praktik langsung di lahan," ungkapnya.
Menjadi petani juga membawa berkah tersendiri bagi Dewa. Pasalnya targetnya untuk melanjutkan sekolah setelah SMK di Polbangtan hanya tinggal menunggu waktu.
Hal itu menyusul dipilihnya Dewa sebagai salah satu siswa yang berhak mendapat semacam beasiswa. Sehingga ia bisa langsung mendapatkan tempatnya untuk memperdalam ilmu pertaniannya di Polbangtan.
"Sudah dapat surat dari dinas untuk masuk Polbangtan. Iya langsung masuk kuliah jadi semacam beasiswa gitu. Sudah ngga mikir lagi saat lulus nanti soalnya sudah jelas ada suratnya tinggal tanda tangan saja," tuturnya.
Saat ini Dewa juga telah tergabung dengan program Petani Milenial (PM) dari Pemerintah Kabupaten Sleman. Selain itu, ia juga ikut dalam Kelompok Tunas Tani Rukun (TTR) yang ada di wilayahnya.
Dewa menilai antusiasme pemuda di wilayahnya saat ini tergolong baik untuk urusan terjun ke dunia pertanian. Setidaknya saat ini dalam kelompok TTR sudah ada 36 petani muda yang ikut bergabung di dalamnya.
"Mereka (pemuda) merasakan senang di pertanian karena bisa terhibur di sawah, suasananya sejuk dan bisa dapat uang dengan usaha sendiri tidak minta orang tua," ujarnya.
Bisa Beli Tanah dari Hasil Bertani
Dewa mengungkapkan bahwa dunia pertanian itu juga tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Buktinya sudah banyak manfaat dan keuntungan yang ia peroleh selama menjadi petani.
Salah satunya adalah sebuah tanah atau lahan kosong yang bisa dibeli Dewa dari jerih payahnya sendiri bekerja keras di sawah selama bertahun-tahun.
"Ya hasil dari bertani itu bisa dibuat untuk membeli tanah perkebunan sendiri ya luasnya mungkin sekitar 600 meter dengan harga sekitar Rp150 juta," ujar Dewa.
Selain digunakan sebagai investasi, lahan yang dibeli Dewa itu juga kini terus dimanfaatkan terkhusus untuk perkebunan. Ia tidak ingin lahan kosong itu hanya menjadi sia-sia saja.
Hingga kini sudah ada sejumlah buah-buahan yang mulai ditanam oleh Dewa.
"Kalau ngga dipakai nanti eman-eman, padahal bisa dipakai untuk menanam. Sekarang sudah dimanfaatkan untuk menanam buah-buahan, ada alpukat, duren, tapi masih kecil-kecil," ucapnya.
Dewa yang masih terus berkecimpung di dunia pertanian juga masih mendapatkan penghasilan tambahan dari pekerjaannya itu. Di samping sebagian dana yang telah digunakan untuk membeli tanahnya sendiri tadi.
Ia memilih untuk menabung penghasilan yang didapatkan dari bertani. Selain agar bisa dimanfaatkan bagi masa depannya sendiri, juga kadang akan digunakan untuk perawatan atau perbaikan mesin-mesin pertanian yang ia miliki.
"Alhamdulillah masih ada sisa (uang dari membeli lahan) lalu saya buat tabungan, bisa untuk modal ganti mesin juga kalau misal ada kerusakan," tuturnya.
Dikatakan Dewa, mesin pertanian yang ia gunakan selama ini ada yang merupakan bantuan dari beberapa pihak terkait. Namun ada juga yang akhirnya ia beli sendiri setelah mendapatkan hasil dari bertani tadi.
Salah satunya kultivator yang telah menemaninya sejak kecil. Dulu, kata Dewa, mesin itu hanyalah bantuan saja. Namun setelah mendapatkan hasil dari menjadi petani mesin itu akhirnya dibeli dan hingga saat ini masih digunakan.
"Mesin (kultivator) itu teman saya dari kecil dari SMP kelas 1 dulu bantuan lalu saya beli," tuturnya.
Tidak hanya berfokus kepada bidang pertanian miliknya saja. Dewa ikut berkontribusi di lingkungan masyarakat dengan membelikan dua buah sprayer yang digunakan untuk sterilisasi Covid-19 dengan penyemprotan desinfektan.
"Saya juga beli semprotan untuk desinfektan Covid-19 ada dua buah, biasa digunakan untuk masyarakat sini untuk nyemprot itu secara rutin. Pompa untuk menyemprot tanaman juga ada. Itu semua dari hasil tani," terangnya.
Mengenai komoditas yang ditanam dan paling menguntungkan sejauh ini masih bawang merah. Dengan sekali panen yang bisa mencapai puluhan ton keuntungan yang didapat pun lebih banyak ketimbang komoditas lain.
"Satu kilogram bawang merah konsumsi itu sekitar Rp20 ribu-Rp25 ribu, itu sudah bagus. Kalau buat benih sekitar Rp40-Rp50 per kilogramnya. Bawang merah memang masih lebih menguntungkan," sebutnya.
Walaupun memang dalam bertani, Dewa tidak hanya menanam bawang merah saja. Melainkan ada komoditas lain juga yang ditanam, semisal cabai, terong dan lain sebagainya.
Dewa sendiri saat ini memiliki sebanyak 15 petak sawah yang lokasinya berpencar-pencar. Jika dijumlahkan secara keseluruhan total luasan lahan yang ia punya mencapai 20 hektare.
"Menjadi petani itu menjamin juga kok. Menurut saya lebih menarik petani daripada yang lain. Soalnya petani itu tidak ada yang bisa memecat. Kalau pecat ya yang lain tidak bisa makan," tegasnya.
Menurut Dewa, menjadi petani adalah pekerjaan yang menyenangkan. Sebab menjadi petani juga bisa terus berkembang dengan menambah pengetahuan dari petani-petani lain yang sudah lebih senior.
"Jadi petani itu enak mas. Kalau di sawah kan bisa melihat pemandangan dan ada yang bapak-bapak terus kita tanya mau nanem apa dan bagaimana. Bisa menambah ilmu juga. Berbagi ilmu juga dengan para petani yang lebih sepuh atau senior," tuturnya.
Masih Perlu Edukasi dan Sosialisasi
Kendati begitu, Dewa menyampaikan bahwa masih perlunya peran pemerintah dan pihak-pihak lain untuk terus menguatkan sektor pertanian. Memang selama ini sejumlah bantuan dari pemerintah telah diberikan.
Termasuk di antaranya berupa bantuan benih-benih tanaman baik sayuran atau buah-buahan, lalu ada pupuk juga serta beberapa kali juga bantuan berupa alat-alat atau mesin pertanian.
Tetapi dari sisi edukasi, kata Dewa, justru yang masih jarang tersentuh. Khususnya bagi generasi muda yang sebenarnya sudah memiliki ketertarikan dengan dunia pertania.
"Selama ini sosialisasi dan edukasi itu masih kurang. Kemarin itu di sini baru ada sosialisasi pengolahan bawang merah. Ya itu ada satu dua yang tahu tapi yang lain belum. Jadi perlu sosialisasi dan edukasi yang lebih masif lagi," ujar Dewa.
Edukasi yang diberikan pun diharapkan tidak hanya terkhusus satu bidang atau komoditas saja. Tetapi hal-hal baru lain yang bisa turut menambah wawasan baik petani muda atau yang sudah sepuh atau senior sekalipun.
Omah Edutani Sebagai Tempat Petani Bertukar Pikiran
Kurangnya edukasi mengenai pertanian bagi para petani muda pun juga dirasakan oleh Sri Mulyadi (33). Hal itu yang kemudian membuat lulusan Sarjana Psikologi Undip ini tergerak mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Omah Edutani.
"Ada apa sih mereka (generasi muda) tidak mau ke terjun ke pertanian. Dari situ kita coba menganalisis secara sederhana kemudian menemukan bahwa edukasi tentang pertanian itu kurang, pemahamannya kurang," kata Mulyadi.
Mulyadi menceritakan tbm omah edutani sendiri terbentuk pada tahun 2016 silam. Namun saat itu baru sebatas tbm dengan nama Qurrata saja yang dihadirkan dengan sasaran anak-anak.
Kemudian seiring berjalannya waktu nama itu berubah menjadi tbm omah edutani yang khusus akan menyediakan edukasi tentang dunia pertanian. Sehingga sasarannya tidak hanya anak-anak tapi juga orang dewasa.
Disebutkan Mulyadi saat itu belum banyak taman bacaan yang khusus benar-benar fokus ke dunia pertanian. Didukung dengan masyarakat Sambirejo, Selomartani, Kalasan, Kabupaten Sleman yang juga mayoritas terjun ke dunia pertanian maka semakin mengungatkan kehadiran tbm omah edutani.
"Masyarakat di sini juga pertanian artinya masyarakat hampir 80 persen itu hidupnya ke sawah. Di sini juga ada sapi, gerobak sapi. Itu menjadi kearifan lokal, kekayaan masyarakat sekitar. Di situ lah saya mencoba untuk menginisiasi tbm ini menjadi omah edutani," tuturnya.
Mulyadi menyadari bahwa perpindahan pengetahuan masyarakat di lingkungannya memang tidak secepat yang ada di kampus atau tempat lain. Maka dari situ, omah edutani ingin menjembatani masyarakat lalu kampus dan praktisi untuk berbagi pengetahuan tentang pertanian.
"Selama ini kalau masyarakat kan jarang ya diskusi tentang pertanian. Ngga kayak orang kampus atau mahasiswa itu. Makanya kita coba menyediakan tempat. Sehingga di kampus bisa transfer ilmu ke masyarakat, masyarakat bisa diskusi di situ. Selain juga membiasakan petani sharing pengetahuan," paparnya.
Munculnya tbm omah edutani ini ternyata mendapat respon yang baik dari masyarakat sekitar. Termasuk dengan munculnya Kelompok Tani Muda Putra Mandiri Sejahtera.
Omah edutani, kata Mulyadi juga menggelar berbagai kegiatan khususnya yang berkaitan dengan dunia pertanian. Termasuk outbound sebagai gagasan bahwa bertani itu tidak hanya tentang menjual produk tetapi juga kegiatan masyarakat dalam bertani itu sendiri bisa digunakan sebagai edukasi.
"Dalam artian mungkin pengetahuan orang atau anak muda tentang petani itu ya ke sawah menanam padi lalu dijual. Tetapi padahal kalau melihat lebih jauh tentang pertanian itu kan tidak hanya sekedar itu," terangnya.
Maka dari itu, omah edutani mencoba memberikan pemahaman tentang dunia pertanian yang sebenarnya luas. Ada rantai yang panjang dan perlu diajarkan pada generasi muda.
Menurutnya, dunia pertanian itu sebenarnya juga menghasilkan jika dipahami dengan menyeluruh. Kendala selama ini adalah anak-anak muda kurang mendapat informasi yang memadai sehingga pertanian itu menjadi suatu yang justru kurang menarik.
"Itu yang harus kita hidupkan, yang menjadi unik adalah kelompok tani muda itu selalu akan diproyeksikan untuk menanam sesuatu tapi saya belum menemukan ada yang fokus berkecimpung dalam dunia pertanian lebih ke edukasinya," ungkapnya.
Mulyadi ingin lewat omah edutani ini bisa menghasilkan kelompok tani muda yang punya sesuatu yang unik terkhusus dalam sisi edukasinya bukan melulu soal produksi. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi muda dengan dunia pertanian.
"Taman bacaan di Sleman ke arah edukasi pertanian belum ada, rata-rata secara umum. Kalau lembaga untuk pertanian sudah banyak sebelumnya. Tapi yang kita ingin hadirkan di sini adalah ini milik kelompok atau masyarakat dan nanti kebutuhan itu tergantung masyarakat ingin belajar apa," ucapnya.
Mulyadi tidak memungkiri bahwa persoalan masyarakat khususnya petani tentang membaca buku tidak bisa dihindari. Kondisi itu dianggap sebagai sebuah pekerjaan rumah tersendiri.
"Tidak dipungkiri masyarakat ke sawah, kemudian lelah membaca tidak ada waktu. Maka kita hadirkan melalui kegiatannya itu misal ngopi tani (diskusi) lalu bedah buku. Bagaimana menghubungkan literasi tadi dengan dunia pertanian di masyarakat itu yang ingin kita hadirkan," ucapnya.
Dari segi praktik pun, saat ini omah edutani tengah mengarahkan kelompok tani muda untuk bisa mulai beralih ke pertanian organik. Edukasi itu terus dijalankan agar petani tidak hanya bergantung pada pupuk kimia atau pestisida saja.
"Saat ini kami juga mengarahkan bertani itu ke arah pemanfaatan mikroba tanah, bahasa mudahnya yang organik. Jarang yang tahu tentang mikroba tanah. Mikroba tanah itu kayak bakteri, jamur yang bersifat baik yang dimanfaatkan oleh pertanian," urainya.
Selain itu, petani juga diajarkan untuk membuat pupuk cair bahkan hingga cara pengaplikasiannya ke tanah sawah. Diharapkan petani bisa paham bahwa bertani itu juga harus menjaga tanah dengan menyediakan bakteri baik atau jamur baik untuk tanah sehingga hasilnya lebih maksimal.
Pemerintah sebenarnya juga sudah cukup turun tangan untuk membantu memecahkan masalah sosialisasi di lapangan. Pemerintah melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) bekerjasama dengan pihak-pihak lain juga telah melakukan sejumlah sosialisasi dan edukasi.
Namun kadang yang terlewatkan adalah praktik secara langsung di lapangan atau pengaplikasian teori itu. Di situ keberadaan omah tani menjadi penghubung keduanya.
"Namun dengan ditambah keberadaan kita mampu meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan skill terutama dalam bertani. Kemudian termasuk juga penggunaan pupuk cair itu tadi atau bakteri dan jamur untuk pertanian," jelasnya.
Poktan Muda Putra Mandiri Sejahtera saat ini telah beranggotakan 20 orang yang terdiri dari masyarakat satu dusun. Dari jumlah anggota itu luas lahan yang dikerjakan setidaknya mencapai lebih kurang 2 hektare.
Sleman cetak 1000 petani milenial hingga 2024
Terpisah, menanggapi adanya krisis regenerasi petani muda, Pemkab Sleman telah mencanangkan mencetak petani milenial. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan (DP3) Kabupaten Sleman Suparmono mengatakan target di Bumi Sembada sendiri yakni 1.000 petani milenial pada tahun 2024.
"Target sesuai surat DPKP DIY dan kami masukkan dalam indikator kinerja Bidang penyuluhan 1.000 petani milenial tercapai pada tahun 2024," ujar Suparmono.
Pria yang akrab disapa Pram tersebut mengungkapkan berdasarkan data terakhir yang dimiliki oleh DP3 Sleman, jumlah petani milenial (PM) Sleman yang masuk dalam usia kurang dari 40 tahun tercatat sudah 317 orang.
Menurutnya, petani milenial itu masih akan cenderung memilih komoditas yang pasti dari secara tingkat keuntungannya relatif tinggi. Didukung dengan perputaran uang pada komoditas itu lebih cepat.
Sehingga jika melihat lebih jauh, justru pada jajaran teratas itu adalah anak-anak muda yang tergabubg dalam sektor perikanan. Dengan berbagai komoditas dan model budidaya ikan yang juga beragam.
"Setelah itu baru hortikultura, ini juga relatif anak-anak muda yang bermain di situ. Itu kan tingkat keuntungannya relatif tinggi. Kalau kita bicara pertanian yang sawah dan itu ya memang kita butuh upaya lebih untuk menarik anak-anak muda turun ke situ. Dibandingkan dengan komoditas tadi," tuturnya.
Ditanya mengenai upaya yang dilakukan untuk terus meningkatkan minat para pemuda itu, diakui Pram sudah dengan berbagai cara. Namun memang kendalanya masih belum ada program kegiatan yang menarik untuk pengembangan PM itu sendiri.
Pram merinci sejumlah upaya yang telah dilakukan di antaranya dengan mengindentifikasi PM melalui BP4 pada tahun 2019. Namun saat ini memang sudah banyak yang usianya melampaui 40 tahun.
Lalu ada pula merekrut PM melalui kegiatan pelatihan baik dari sumber dana Pokir maupun anggaran rutin. DP3 Sleman juga sudah berencana untuk membentuk Forkom PM tingkat Kabupaten hingga membangun komunikasi dengan PM yang telah masuk dalam WA grup untuk berbagi informasi pertanian.
"Saya juga punya program kemarin. Petani Milenial di desa-desa itu sudah banyak, ingin mengukuhkan petani-petani milenial itu untuk setiap Kapanewon atau kecamatan. Petani Milenialnya ini orangnya ini langsung dikukuhkan oleh Bupati, biar semangat mereka lebih," ungkapnya.
Pram menilai sebenarnya embrio-embrio di masing-masing wilayah khususnya setiap kapanewon itu sudah ada. Namun memang pandemi Covid-19 membuat rencana pengukuhan itu harus tertunda.
"Tapi rancangan untuk itu ada. Jadi kita ingin setiap Kapanewon ada pengukuhan Petani Milenial, nanti orangnya ini, usahanya itu. Nanti pendampingan dari kita pasti ada, tergantung dari komoditasnya," imbuhnya.
Mantan Panewu Cangkringan ini tidak menampik bahwa sesungguhnya potensi munculnya anak-anak muda sebagai PM itu sudah ada. Hanya tinggal memberikan formula yang tepat agar anak-anak muda itu semakin tertarik.
"Potensi Petani Milenial itu sudah ada sebenarnya dan tinggal kita pacu kemudian menambah yang muda-muda lebih tertarik. Tapi sekali lagi yang muda itu pasti tertarik tingkat keuntungan relatif tinggi dan putaran uangnya cepet. Tanpa itu susah menarik mereka untuk ke sektor pertanian," urainya.
Tidak serta merta berfokus pada pertanian di sisi on farm saja, Pram menuturkan perlunya anak-anak muda yang berkecimpung di sisi off farm. Sebab dari segi pengolahan hasil produksi pertanian itu juga akan sangat menguntungkan jika ditekuni dengan sungguh
"Selain di on farmnya, di off farmnya juga memang terlihat sudah relatif banyak. Cukup banyak petani milenial yang ikut dalam pengolahan produk-produk tadi, ya inovasi itu diperlukan," ucapnya.
Pertanian saat ini semestinya dipahami sebagai sesuatu yang lebih luas lagi. Tidak hanya melulu menanam padi di sawah saja.
Lebih dari itu, Pram mendorong agar para petani milenial atau bahkan masyarakat secara luas lebih bisa memanfaatkan lahan di pekarangan rumah masing-masing bukan lagi hanya mengandalkan sawah.
"Kalau pertanian yang di sawah itu berkurang terus. Tapi kalau kita pertanian di lahan pekarangan itu bertahan terus karena rumah pasti ada pekarangannya," sebutnya.
Kerjasama antar semua elemen di masyarakat menjadi penting dalam pertumbuhan pertanian baik on farm atau off farm atau produk pasca panen. Termasuk dengan yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun digencarkan juga melalui ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT).
"Harapannya itu bisa menarik minat generasi muda untuk ikut memanfaatkan pekarangan untuk produksi hortikultura dan macam-macam lainnya. Jadi pertanian pangan itu ngga mikirnya ngga hanya di sawah, tapi di halaman juga bisa. Itu yang kita dorong," tandasnya.
Diharapkan petani milenial ini tidak sekedar menjadi petani biasa. Tetapi mampu menjadi Agropreuner Muda atau pengusaha muda dibidang pertanian.
Petani milenial diharuskan mampu berpikir kreatif, inovatif dan mampu untuk menunjukan keahlian serta kemampuannya sehingga memiliki daya saing. Generasi muda yang mempunyai daya saing dinilai lebih dan tidak akan mudah tergeser oleh tenaga kerja asing.
Berita Terkait
-
6 Fakta Petani Milenial Dapat Gaji Rp10 Juta
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Oral Seks Berujung Pasal Berlapis! Begini Nasib Pengendara Xpander yang Tabrak Lari Penyandang Disabilitas hingga Tewas
-
Petani Tembakau Ngadu ke #LaporMasWapres Terkait Rancangan Permenkes
-
Adu Pendidikan Melody vs Raffi Ahmad, Siapa Lebih Cocok Jadi Ikon Petani Milenial?
Tag
Terpopuler
- Agus dan Teh Novi Segera Damai, Duit Donasi Fokus Pengobatan dan Sisanya Diserahkan Sepenuhnya
- Bukti Perselingkuhan Paula Verhoeven Diduga Tidak Sah, Baim Wong Disebut Cari-Cari Kesalahan Gegara Mau Ganti Istri
- Bak Terciprat Kekayaan, Konten Adik Irish Bella Review Mobil Hummer Haldy Sabri Dicibir: Lah Ikut Flexing
- Bau Badan Rayyanza Sepulang Sekolah Jadi Perbincangan, Dicurigai Beraroma Telur
- Beda Kado Fuji dan Aaliyah Massaid buat Ultah Azura, Reaksi Atta Halilintar Tuai Sorotan
Pilihan
-
7 Rekomendasi HP 5G Rp 4 Jutaan Terbaik November 2024, Memori Lega Performa Handal
-
Disdikbud Samarinda Siap Beradaptasi dengan Kebijakan Zonasi PPDB 2025
-
Yusharto: Pemindahan IKN Jawab Ketimpangan dan Tingkatkan Keamanan Wilayah
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 3 Jutaan dengan Chipset Snapdragon, Terbaik November 2024
-
Kembali Bertugas, Basri-Najirah Diminta Profesional Jelang Pilkada Bontang
Terkini
-
Sunarso Dinobatkan Sebagai The Best CEO untuk Most Expansive Sustainable Financing Activities
-
Reza Arap Diam-Diam Tolong Korban Kecelakaan di Jogja, Tanggung Semua Biaya RS
-
Sayur dan Susu masih Jadi Tantangan, Program Makan Siang Gratis di Bantul Dievaluasi
-
Bupati Sunaryanta Meradang, ASN Selingkuh yang Ia Pecat Aktif Kerja Lagi
-
Data Pemilih Disabilitas Tak Akurat, Pilkada 2024 Terancam Tak Ramah Inklusi