Scroll untuk membaca artikel
Tim Liputan Khusus
Selasa, 21 September 2021 | 12:25 WIB
Tugu Pal Putih Kota Yogyakarta alias Tugu Jogja - (SUARA.com)

Pemerintah desa khawatir, jika sertifikat tanah desa ditarik dan diganti status kepemilikan atas nama kasultanan atau kadipaten, maka pedapatan asli desa (PADes) akan menurun. Padahal biaya pembangunan desa serta program pengembangan sumber daya manusia (SDM) dari hasil pemanfaatan tanah desa

Kasi Pemerintah Desa Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, Danang Wahyu menolak penarikan sertifikat tanah desa. Sikap itu menyusul kekhawatiran atas hilangnya hak pengelolaan tanah desa setelah menjadi milik kasultanan atau kadipaten akibat penyesuaian sertifikat.

Danang menegaskan, pemdes tak ingin kehilangan PADes. Apalagi pada 2020, PADes Maguwoharjo bisa mencapai Rp1 miliar. Apabila tanah desa menjadi milik kasultanan, pihaknya menduga akan ada intervensi dari lembaga atas setiap pemanfaatan tanah desa. Apalagi tanah desa di Maguwoharjo terletak di lokasi yang strategis untuk pengusaha berinvestasi.

“Kami tidak mau. Maguwoharjo tidak usah (sertifikat tanah desa diubah). Hal yang sudah direncanakan desa bisa kalah dengan kepentingan (kasultanan),” kata dia ditemui tim kolaborasi, di Kantor Kalurahan Maguwoharjo, Rabu (5/5/2021).

Baca Juga: LPSK Beri Jaminan, Saksi Kasus Bom Molotov di Kantor LBH Yogyakarta Jangan Takut Bicara

Dugaan semakin kuat menyusul larangan sertifikasi tanah desa yang dia ajukan lima tahun lalu. Danang mulai menyadari larangan itu muncul, karena BPN DIY sedang menyiapkan aturan baru tentang penyertifikatan tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten.

Juknis payung hukum sertifikasi

Keputusan penghentian sementara sertifikasi pada 2017, diakui Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN DIY, Anna Prihaniawati dilakukan Kanwil BPN DIY.  Hal tersebut lantaran belum ada payung hukum dari Pemda DIY ataupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) terkait penyesuaian sertifikasi tanah-tanah desa di DIY.

Anna menjelaskan, BPN tidak ingin melangkah ke arah yang salah dengan program yang mereka buat bersama Pemda DIY. Sehingga butuh dasar hukum yang lebih kuat agar sertifikasi tanah desa berjalan baik, tanpa ada kesalahan atau munculnya delik hukum.

“BPN belum ada payung hukumnya. Kami menunggu petunjuk teknis (juknis). Kalau desa mendaftarkan untuk sertifikat, sedangkan itu tanah kasultanan, nanti kami dimarahi Sultan. Sudah ada UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan, kok BPN mendaftarkan tanah desa,” kata Anna ditemui tim kolaborasi di kantornya, Kamis (17/6/2021).

Baca Juga: Top 5 SuaraJogja: Ganjar Terancam Sanksi PDIP, Khotbah Pendeta Soal Muhammadiyah

Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN DIY, Anna Prihaniawati memberi keterangan pada tim kolaborasi agraria di Kantor Wilayah BPN DIY, Kamis (17/6/2021). [tim suara.com]

Belum ada aturan detail cara penyertifikatan tersebut ditindaklanjuti BPN DIY dengan meminta arahan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Pusat. Anna tak menampik permintaan itu karena ada dorongan dari Pemda DIY untuk segera memperjelas status tanah kasultanan atau kadipaten yang diatur dalam sebuah kebijakan.

Load More