Juknis payung hukum sertifikasi
Keputusan penghentian sementara sertifikasi pada 2017, diakui Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN DIY, Anna Prihaniawati dilakukan Kanwil BPN DIY. Hal tersebut lantaran belum ada payung hukum dari Pemda DIY ataupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) terkait penyesuaian sertifikasi tanah-tanah desa di DIY.
Anna menjelaskan, BPN tidak ingin melangkah ke arah yang salah dengan program yang mereka buat bersama Pemda DIY. Sehingga butuh dasar hukum yang lebih kuat agar sertifikasi tanah desa berjalan baik, tanpa ada kesalahan atau munculnya delik hukum.
“BPN belum ada payung hukumnya. Kami menunggu petunjuk teknis (juknis). Kalau desa mendaftarkan untuk sertifikat, sedangkan itu tanah kasultanan, nanti kami dimarahi Sultan. Sudah ada UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan, kok BPN mendaftarkan tanah desa,” kata Anna ditemui tim kolaborasi di kantornya, Kamis (17/6/2021).
Belum ada aturan detail cara penyertifikatan tersebut ditindaklanjuti BPN DIY dengan meminta arahan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Pusat. Anna tak menampik permintaan itu karena ada dorongan dari Pemda DIY untuk segera memperjelas status tanah kasultanan atau kadipaten yang diatur dalam sebuah kebijakan.
“Kami bareng-bareng minta petunjuk kepada Pak Menteri khusus pengaturan tanah di DIY. Pusat yang menentukan payung hukum itu. Berupa permen (peraturan menteri), SE (surat edaran), atau juknis (petunjuk teknis),” jelas Anna.
Upaya itu berbuah hasil. Menteri ATR/Kepala BPN Pusat, Sofyan A. Djalil membuat kebijakan dalam bentuk Juknis Nomor 4/Juknis-HK.02.01/X/2019 tentang Penatausahaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di Wilayah Provinsi DIY tertanggal 29 Oktober 2019. Sementara Pemda DIY menginginkan payung hukum berupa permen.
Alasan pihak kementerian, karena kebutuhan pengaturan tanah hanya untuk desa-desa di Provinsi DIY saja. Kementerian meyakini, dasar untuk penyertifikatan tanah desa melalui juknis sudah sangat kuat. Juknis inilah yang memudahkan BPN DIY kembali melanjutkan proses sertifikasi tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten sejak 2020.
Butuh dua tahun BPN DIY mendapat juknis tersebut setelah pengesahan Perdais Pertanahan. Anna menjelaskan, karena ada banyak pembahasan yang perlu dilakukan terlebih dahulu sampai pada akhirnya BPN DIY meminta petunjuk Menteri ATR.
Baca Juga: LPSK Beri Jaminan, Saksi Kasus Bom Molotov di Kantor LBH Yogyakarta Jangan Takut Bicara
Sebenarnya, menurut Anna, ada upaya lain yang bisa membantu penyertifikatan tanah desa tanpa harus menunggu turunnya juknis. Berupa pengajuan surat permohonan pengakuan hak atas tanah desa oleh keraton dan kadipaten kepada negara.
Mekanisme tersebut sudah diatur di dalam UUPA dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Idealnya pemerintah desa melepaskan haknya dulu menjadi tanah negara. Setelah itu dimohonkan menjadi tanah kasultanan dan kadipaten.
“Tapi kasultanan dan kadipaten tidak mau memohon kepada negara, karena itu merupakan tanah mereka. Mekanisme ini memang butuh waktu agak lama,” jelas Anna.
Sementara mekanisme dalam juknis berbeda. Tanah desa yang asal-usulnya dari kasultanan dan kadipaten dengan hak anggaduh termasuk tanah bukan keprabon atau dede keprabon. Tanah desa yang belum terdaftar atau belum bersertifikat akan dilakukan pendaftaran tanah dan diterbitkan sertifikat hak milik atas nama kasultanan atau kadipaten. Syaratnya dengan melampirkan akta pemberian hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak milik atau serat kekancingan. Serat kekancingan adalah surat keputusan pemberian hak atas tanah dari kasultanan atau kadipaten kepada pihak ketiga yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.
Sedangkan tanah desa yang telah terdaftar atau sudah bersertifikat akan diterapkan ketentuan yang berbeda. Untuk memperjelas kepemilikan tanah desa adalah milik kasultanan atau kadipaten, sertifikat tanah desa lama tidak akan diganti dengan sertifikat baru. Dalam buku tanah dan sertifikat lama hanya akan diberikan catatan pada kolom “sebab perubahan” berupa, “Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Nomor xxxx Desa/Kalurahan (nama) berada di atas Tanah Milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Pakualaman”.
“Catatan tersebut dapat menggunakan stempel, cap, atau tera dan ditandangani oleh Kepala BPN,” kata Anna.
Tag
Terpopuler
- Kekayaan Hakim Dennie Arsan Fatrika yang Dilaporkan Tom Lembong: Dari Rp192 Juta Jadi Rp4,3 Miliar
- Tanggal 18 Agustus 2025 Cuti Bersama atau Libur Nasional? Simak Aturan Resminya
- Di Luar Prediksi, Gelandang Serang Keturunan Pasang Status Timnas Indonesia, Produktif Cetak Gol
- Resmi Thailand Bantu Lawan Timnas Indonesia di Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- 15 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Agustus: Klaim 3.000 Gems dan Pemain 111
Pilihan
-
Deretan Kontroversi Bella Shofie, Kini Dituduh Tak Pernah Ngantor sebagai Anggota DPRD
-
Klub Belum Ada, Bursa Transfer Mau Ditutup! Thom Haye Ditolak Mantan
-
Menko Airlangga Cari-cari Rojali dan Rohana di Tengah Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen: Hanya Isu!
-
Data Ekonomi 5,12 Persen Bikin Kaget! Tapi Raut Wajah Sri Mulyani Datar dan Penuh Misteri!
-
Harus Viral Dulu, Baru PPATK Buka 122 Juta Rekening Nasabah yang Diblokir
Terkini
-
Misteri Pantai Krakal Gunungkidul: Jasad Tanpa Kepala Ditemukan, Identifikasi DNA Jadi Andalan
-
Kebijakan Royalti Musik Timbulkan Resistensi UMKM, Pemda DIY Siapkan Skema Solusi
-
Penembakan di Lapangan Minggiran Yogyakarta: Tuduhan Curi Senar Layangan Berujung Petaka
-
Niat Tagih Utang Berubah Jadi Tangis: Kisah Pria di Depan Pusara Sahabatnya Bikin Nyesek
-
Jogja-Solo Makin Dekat: Kapan Tol Ini Rampung? Ini Progres & Exit Tol Terbarunya