Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Selasa, 02 November 2021 | 13:46 WIB
Bung Tomo (ist)

SuaraJogja.id - Setelah deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia belum lepas dari kontak senjata. Pertempuran Surabaya menjadi salah satu tragedi besar yang melibatkan pejuang Indonesia, melawan tentara gabungan Inggris dan Belanda. Dalam artikel ini kita akan membahas sejarah pertempuran Surabaya.

Ketika Jepang menyerah pada sekutu, setelah dua bom atom dari pasukan udara Amerika Serikat, jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, tentara Inggris datang ke Indonesia. Rombongan tiba di Jakarta pada 15 September 1945 dan di Surabaya pada 25 Oktober 1945.

Sekutu mendarat di Indonesia bukan sekadar misi melucuti dan memulangkan tentara Jepang atau membebaskan tawanan perang, tapi mereka ingin mengembalikan Indonesia pada Belanda. Bersama mereka terdapat pula NICA atau Netherlands Indies Civil Administration. Hal inilah yang tak dapat diterima rakyat Indonesia.

Pergolakan mulai terjadi. Terlebih ketika pesawat Dakota yang terbang dari Jakarta menyebarkan selebaran di berbagai wilayah Indonesia.

Baca Juga: Sejarah Pembentukan BPUPKI serta Keberadaan Panitia Sembilan

Selebaran itu berisi ultimatum pada pasukan Indonesia agar menyerah dalam 48 jam. Rakyat bereaksi dengan muncul sikap untuk mengusir tentara Inggris dari Indonesia. Rentetan kontak senjata pun tak terhindarkan

Awal Pertempuran Surabaya

Sejak awal kedatangan, sekutu bersama orang-orang Belanda memang tak menunjukkan sikap hormat kepada Indonesia, yang sudah mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tanpa seizin pemerintah, berkibarlah bendera belanda di Hotel Yamato, Surabaya pada 18 September 1945.

Situasi itu memantik kemarahan dari pemuda Surabaya. Pengibaran bendera Belanda sama saja merusak momen pengibaran bendera merah putih di seluruh wilayah, yang dimulai sejak 31 Agustus 1945. Para pemuda itu kemudian mendatangi hotel yang sebelumnya bernama Orange Hotel.

Sekelompok orang Belanda yang dipimpin W.V.Ch. Ploegman menolak untuk menurunkan bendera, setelah terjadi perundingan. Ploegman bahkan mengeluarkan pistol untuk. Terjadilah perkelahian di antara orang Belanda itu dengan perwakilan Indonesia.

Baca Juga: Pelaku Serangan Kereta Tokyo Ngaku Idolakan Joker dan Menyesal Gagal Bunuh Orang

Ploegman pada akhirnya tewas setelah dicekik salah satu pengawal perwakilan Indonesia bernama Sidik. Sidik pun kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berada di tempat tersebut.

Para pemuda kemudian memanjat tiang di Hotel Yamato, untuk menurunkan bendera Belanda, dan merobek warna biru. Jadilah bendera naik ke tiang lagi dengan warna merah dan putih.

Kontak tembak pertama terjadi pada 27 Oktober 1945. Kontak tembak itu melibatkan pasukan pemuda PRISAI dengan pihak sekutu melalui pasukan Gurkha. Setelah itu, sempat ditandatangani gencatan senjata pada 29 Oktober 1945. Tapi kesepakatan itu hanya bertahan beberapa jam saja.

AWS Mallaby Tewas

Kontak tembak kembali terjadi di Surabaya, tepatnya dekat dengan Jembatan Merah, Surabaya. Kontak tembak pasukan Inggris dengan para pemuda Indonesia kemudian menewaskan Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Dia tewas oleh tembakan dan kemudian tubuhnya terbakar karena mobil yang ditumpangi terbakar karena ledakan granat.

Jenderal Robert Mansergh kemudian menggantikan peran AWS Mallaby. Dia membuat ultimatum pada masyarakat Surabaya tertanggal 9 November 1945. Intinya ultimatum itu meminta seluruh senjata diserahkan ke pihak Inggris dan pemimpin Indonesia wajib membuat surat pernyataan bahwa mereka menyerah tanpa syarat pada sekutu.

Ultimatum itu jelas ditolak Indonesia. Akhirnya, pada 10 November 1945, Inggris mulai melancarkan serangan dengan 30 ribu pasukannya. serangan ini turut dibalas 20 ribu pasukan Indonesia, dibantu rakyat yang datang dari berbagai latar belakang.

Bung Tomo menjadi salah satu tokoh yang menggerakkan semangat rakyat Surabaya. Dalam pidatonya pada 9 November 1945, muncul semboyan "Merdeka atau Mati". Tokoh berpengaruh lain kemudian turut terlibat, seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah dan para kyai dari berbagai pesantren di Jawa Timur.

Pertempuran sengit ini berlangsung selama tiga pekan. Sekitar 6000-16.000 pejuang Indonesia tewas. Sementara pasukan sekutu yang tewas mencapai 600-2000 tentara. Setahun setelah peristiwa tersebut, Presiden RI, Ir.Soekarno menetapkan 10 November sebagai hari Pahlawan, melalui keputusan presiden tahun 1959.

Kontributor : Lukman Hakim

Load More