Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Rabu, 17 November 2021 | 12:55 WIB
Salah seorang karyawan kedai Jamu Ginggang menunjukkan salah satu produknya yakni jamu lelaki. [Galih Priatmojo / suarajogja.id]

Jamu Ginggang: Penghubung Keraton dan Rakyat

Salah satu bukti andil para abdi dalem keraton dalam penyebaran resep jamu ke luar istana bisa dilihat lewat keberadaan kedai Jamu Ginggang. Terletak di Jalan Masjid Pakualam, kedai Jamu Ginggang berada tepat di sebelah timur Pura Pakualaman, Yogyakarta.

Rudi Supriyadi (56) mendedahkan keberadaan kedai Jamu Ginggang yang empat tahun lagi genap berusia satu abad, tak bisa dilepaskan dari keluarga Puro Pakualaman. Pria yang terhitung sebagai generasi kelima pewaris kedai Jamu Ginggang ini menyebut bahwa awal mula resep jamu yang didapat keluarganya berasal dari kakek buyutnya yang merupakan abdi dalem bernama Joyo Tan Genggang.

Mbah Joyo, Rudi memanggilnya, menjadi abdi dalem di Kadipaten Pakualaman pada era kepemimpinan Paku Alam VII yakni antara tahun 1907-1937. Ia saat itu bertugas sebagai tabib keluarga keraton.

Baca Juga: Staycation Semakin Nyaman di Hyatt Regency Yogyakarta dengan Fasilitas Ini

Penerus kedai Jamu Ginggang Rudy Supriyadi sedang menyedu secangkir jamu. [suarajogja.id]

Tugas Mbah Joyo sehari-hari saat berada di Pura Pakualaman meracik jamu untuk dikonsumsi para keluarga keraton. Rudi mengungkapkan tradisi keluarga keraton menenggak jamu tak bisa dilepaskan dari tiga hal utama yang sehari-hari mereka lakukan.

Pertama, olah raga berupa berlatih jemparingan atau seni memanah khas Kerajaan Mataram serta menari. Kedua, olah rasa yaitu aktivitas yang dilakukan untuk mengolah jiwa. Kegiatannya berupa membatik. Kemudian ketiga, untuk menjaga kesehatan.

"Atas dasar ketiga hal itu, maka keluarga keraton membiasakan dan rutin minum jamu, untuk menjaga kondisi fisik dan jiwanya dari sakit," terangnya saat ditemui beberapa waktu lalu.

Setelah Mbah Joyo mangkat, tugas sebagai tabib keraton dilanjutkan oleh adiknya yang bernama Mbah Bilowo. Sama seperti Mbah Joyo, tugas Mbah Bilowo setiap hari juga meracik jamu untuk keperluan keluarga keraton.

Kemudian setelah Mbah Bilowo tilar dunyo, tugas meracik jamu dilanjutkan adiknya Mbah Puspo Madyo. Di masa Pusmo Madyo bertugas inilah, resep jamu yang selama ini hanya dinikmati keluarga keraton, diperbolehkan untuk diakses publik.

Baca Juga: Liputan Khusus: Menjegal Perdagangan Anjing di Yogyakarta

"Mbah Puspo Madyo sekitar tahun 1930 itu diperbolehkan untuk menyebarkan resep jamu keraton kepada umum," terangnya.

Load More