Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 19 November 2021 | 15:19 WIB
Romo Sindhunata. [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Celeng menjadi salah satu hewan yang tengah ramai diperbincangkan masyarakat. Terlebih konteksnya saat ini yang kemudian dikaitkan dengan isu-isu politik

Romo Gabriel Possenti Sindhunata atau yang lebih dikenal dengan Romo Sindhu menilai pemaknaan celeng saat ini tidak sesuai dengan apa yang pernah ditulisnya beberapa waktu lalu. Ia menandaskan bahkan sudah bergeser dari pemaknaan para seniman dan budayawan yang pernah membuat karya tentang celeng. 

"Ya tapi saya tidak mau ikut berkomentar karena itu celeng politik ya, bukan seperti yang saya maksud (celeng) ini sastrawi, filosofis dan tinjauan," kata Romo Sindhu saat ditemui di Omah Petroek, Jumat (19/11/2021).

Ia berpesan kepada semua pihak untuk tidak serta merta memperdangkal pemaknaan celeng itu sendiri. Sebab makna celeng itu sendiri lebih dalam daripada sekadar isu politik. 

Baca Juga: Babak Baru Barisan Celeng Berjuang, Cegah Ganjar Pranowo Dijegal

"Saya berpesan betul (makna celeng) jangan diperdangkal dengan isu-isu politik yang sekarang. Karena itu kasihan kami-kami yang betul-betul berkutat dengan kedalaman apa sih sebenarnya celeng itu," ungkapnya.

"Kalau didangkalkan hanya menjadi isu politik kamu celeng saya bukan, itu sungguh bukan maksudnya. Mari kita merefleksi merenung bahwa di dalam diri kita ada nafus celeng itu tadi," sambungnya.

Dalam kesempatan ini, Romo Sindhu meminjam pernyataan Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche bahwa sejauh peradaban ini masih ada, celeng itu sendiri juga akan selalu ada. Maka pendangkalan makna itu bukan sesuatu yang harusnya dilakukan.

"Kalau didangkalkan secara politik ini saya sendiri sebagai seorang wartawan tidak rela, karena apa yang kita garap dengan Pak Pekik (seniman lukis Djoko Pekik) itu sebenarnya suatu refleksi mengenai nafsu manusia, mengenai kekuasaan dan penindasan dan sebagainya, mengenai kesewenang-wenangan. Akhirnya berpulang sekali lagi bukan pada masyarakat atau sosial tapi pada diri kita sendiri-sendiri," urainya.

Kendati begitu, Romo Sindhu mengaku tidak khawatir mengenai kurangnya pemahaman tentang celeng itu sendiri. Sebab interpretasinya sudah dituangkan secara lengkap di dalam bukunya yang bertajuk Menyusu Celeng (2019).

Baca Juga: Kisruh Celeng dan Banteng, Rudy: PDIP Solo Tetap Solid untuk Memenangkan Pemilu 2024

"Memang ada baiknya (lukisan celeng) dipajang di museum agar orang-orang melihat refleksi mengenai celeng. Saya tidak khawatir karena apa yang saya buat mengenai celeng itu sudah saya tulis dalam sebuah buku secara komplit apa yang saya maksudkan tadi," tandasnya.

Sebelumnya diketahui pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah mulai menghangat. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo lagi-lagi mendapatkan mendukung untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden (Capres).  

Namun demikian sinisme politik sudah mulai terjadi. Jika pada Pilpres 2014 lalu muncul istilah cebong vs kampret, kini menjelang pilpres 2024 muncul istilah baru, yaitu celeng vs banteng.

Perbedaannya, cebong vs kampret merujuk dua kubu berbeda yang sedang bersaing. Sementara celeng vs banteng muncul di tengah polemik internal PDIP yang mendorong Ganjar Pranowo maju menjadi Presiden.

Sebutan celeng hingga bebek muncul sebagai buntut deklarasi dukungan beberapa simpatisan PDIP kepada Ganjar Pranowo untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2024.

Load More