Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 24 Januari 2022 | 06:05 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual terhadap mahasiswa (Suara.com/Ema)

Usai dua kejadian dugaan pemerkosaan itu, Andini memutuskan rehat dari aktivitasnya di organisasi kampus. Andini kira, ia tak akan mengalami peristiwa pilu itu lagi, ternyata ia salah. Kali ini Raul, seniornya yang lain, di organisasi berbeda, mengajaknya nonton.

"Pulang nonton sore dan dia bilang agar ke kosnya dulu, ada yang ketinggalan," Andini menyebut kala itu ia diajak ke sebuah kos-kosan dekat kawasan Kaliurang.

Tapi kemudian, saat ia duduk di ruang tamu kos, Raul memintanya masuk ke dalam kamar. Andini memberanikan diri masuk, tiba-tiba Raul menanyakan sesuatu yang mengejutkan Andini, dibarengi memperlihatkan alat kontrasepsi. 

Andini lagi-lagi hanya mampu terdiam di pojok kamar. Ia tak bereaksi melawan. Andini pikir, kalimat penolakan darinya sudah cukup untuk membuat seniornya menghentikan aksinya. 

Baca Juga: Anak Korban Kekerasan Seksual Ayah Kandungnya di Balikpapan Diberi Pendampingan Psikolog

Aku Tak Mampu Melawan

Andini menuturkan ada hal yang berada di luar kendalinya, yang membuat dirinya tak banyak bisa melakukan banyak perlawanan, saat dua terduga pelaku melakukan kekerasan seksual kepadanya. 

Ia punya latar belakang seorang anak yang kerap mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. 

"Dari kecil dapat kekerasan dari ayah. Nah itu terbentuk, dulu ketika dipukul atau ditabok itu kan [aku] meringkuk, kayak takut gitu," tutur Andini. 

Pengalaman-pengalaman tersebut terbawa hingga ke alam bawah sadar Andini dan membuatnya tertekan saat menghadapi kondisi serupa, di waktu berbeda. 

Baca Juga: Buka Posko Pengaduan Kekerasan Seksual, Nasdem Beri Dampingan Hukum Hingga Layanan Kesehatan

"Aku responnya gitu, diam, menangis dan tidak ada kepikiran untuk teriak," ungkapnya. 

Empat Bulan Menenggelamkan Diri

Serentetan kejadian mengerikan itu membuat Andini memutuskan berhenti dari aktivitas berorganisasi, setidaknya empat bulan. Ia memilih diam dan bahkan tak melapor apapun kepada kampus mengenai peristiwa yang menimpanya. 

"Karena malu, enggak tahu mau ngomong bagaimana," kata dia. 

Penyesalan juga tetap dipikul Andini, mengingat ada banyak tugas organisasi yang kemudian terbengkalai karena ia terpuruk oleh keadaan. Rasa bersalah juga melingkupinya. 

"Pas aku cerita sama kawanku, dia support. Dia bilang itu bukan salah kamu. Dia mau bantu, dia cari bantuan. Aku cuma bisa nangis. Akhirnya dia menghubungi Rifka Annisa," ucapnya. 

Load More