Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 28 Januari 2022 | 16:57 WIB
Tahanan KPK memakai borgol saat menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (2/1). [Suara.com/Muhaimin A Untung]

SuaraJogja.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluarkan pernyataan jika koruptor di bawah Rp50 juta maka tidak perlu dipenjara. Melainkan kasus-kasus itu hanya cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian negara saja.

Hal tersebut dinilai sebagai bentuk pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan. Pernyataan ini pun sontak menjadi perhatian publik.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menyatakan bahwa pengembalian uang negara bukan hanya sekadar sama dengan nominal yang diambil. Melainkan ada dampak korupsi yang juga harus diperhitungkan.

"Jadi pengembalian keuangan negara tidak bisa sekadar mengembalikan sesuai jumlah sesuai nominal yang dirugikan. Melainkan juga perlu dikembalikan seluruh dampak dari korupsi," ujar Zaenur saat dikonfirmasi awak media, Jumat (28/1/2022).

Baca Juga: Ketua KONI Kampar Jadi Tersangka Korupsi Rp46 Miliar Pengaturan Proyek di RSUD Bangkinang

Pasalnya, kata Zaenur, dampak dari tindak pidana korupsi itu sendiri akan selalu lebih tinggi dari nominal yang dirugikan tersebut.

"Karena memang dampak korupsi itu selalu lebih tinggi daripada jumlah keuangan negaranya itu," imbuhnya.

Dicontohkan Zaenur, terjadi tindak pidana korupsi Rp50 juta oleh seorang aparatur desa dalam pembangunan sebuah jembatan. Maka dampak yang ditimbulkan dari korupsi itu bukan tidak mungkin potensi rusak atau ambruknya proyek jembatan itu lebih cepat akibat konstruksi tidak maksimal.

Sehingga akan berdampak pula kepada aktivitas masyarakat di desa tersebut. Serta ditambah lagi dengan perekonomian yang juga terganggu.

"Perlu pendekatan denda yang dendanya itu dapat menutup kerugian keuangan negara ditambah dampak-dampak lain yang bisa disebut sebagai potensial lost. Serta juga denda itu dapat menjadi disinsentif sebagai bentuk salah satu pidana agar tetap ada efek jera," tegasnya.

Baca Juga: Kejagung Sebut Pelaku Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Tak Perlu Dipenjara, Ini Alasannya

Zaenur menjelaskan jika memang Jaksa Agung menginginkan korupsi dalam jumlah kecil tidak perlu ditangani secara pidana maka diperlukan perubahan pada Undang-undang Tipikor. Sebab hingga sekarang tidak ada peraturan yang bisa mendasari kejaksaan tidak melakukan proses terhadap tindak pidana korupsi di bawah Rp50 juta.

Lebih lanjut, disampaikan Zaenur, ketika memang perubahan Undang-undang Tipikor itu dilakukan maka kejaksaan dapat memberikan aspirasinya. Khususnya untuk tindak pidana korupsi kecil yang tidak selalu harus dilakukan pidana badan.

Kendati demikian, sudah sepantasnya tetap harus ada hukuman yang kemudian dapat memberikan efek jera kepada para koruptor itu. Misal saja seperti denda tinggi yang harus dibayarkan.

Zaenur menambahkan bahwa ada hal penting kemudian perlu dipahami oleh Jaksa Agung dalam pernyataannya itu. Terkait dengan nominal Rp50 juta yang bukan uang kecil untuk skala walaupun mungkin berbeda jika lihat dari tingkat pusat.

"Menurut saya yang dimaksud kecil itu berapa oleh kejaksaan, dan kalau membuat usulan harus dengan kajian dahulu begitu," pungkasnya.

Load More