Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW | Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 16 Februari 2022 | 07:35 WIB
Suasana Klinik Asih Sasama, dari lembaga non profit Humanity First, sayap organisasi Ahmadiyah yang bergerak di bidang kemanusiaan internasional, di Kelurahan Ngloro, Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, (26/1/2022). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

SuaraJogja.id - Notifikasi pesan aplikasi marketplace-nya berdering nyaring di ruang tamu salah satu klinik kesehatan yang berada di Kalurahan Ngloro, Kapanewon Saptopsari, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Buru-buru digenggamnya iPhone 6 plus yang diletakkan di sebuah meja resepsionis tempatnya bekerja.

Tidak ada pesan penting yang perlu dia balas segera. Wanita 54 tahun ini melanjutkan dengan melihat sejumlah barang promo yang ditawarkan di aplikasi toko online gawainya.

Pagi itu memang suasana klinik bernama Asih Sasama belum banyak didatangi. Klinik itu merupakan sebuah fasilitas kesehatan yang dibangun lembaga non-profit Humanity First, sayap organisasi Ahmadiyah. Di ruang bidan tempat wanita ini bekerja pun, belum tampak satu pasien yang datang.

Yuyun Yunarsih, bidan asal Kuningan, Jawa Barat yang sejak 2020 lalu berlabuh ke Gunungkidul dari Jakarta ini, merasakan perbedaan yang besar ketika menetap di Bumi Handayani. Menjadi supervisor di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta, waktu bekerjanya tak selonggar di Gunungkidul. Bahkan untuk mengecek barang promo di toko online seperti saat ini sangat sulit.

Baca Juga: Masjid Jemaah Ahmadiyah Dibongkar dan Kalimat Syahadatnya Dicopot, Guntur Romli Murka

Memang sebelumnya ibu dua anak ini ingin menghabiskan masa tuanya di tempat yang lebih tenang, tetapi masih bisa memberi manfaat banyak ke masyarakat. Itulah yang kemudian membawanya pada keputusan untuk berkhidmat di Humanity First demi kemanusiaan dan kesehatan.

"Ya dulu itu sempat berbincang-bincang dengan kawan di Jakarta kalau suatu saat nanti ingin pindah di tempat yang lebih tenang, tidak ditekan dengan pekerjaan seperti di rumah sakit sebelumnya itu. Akhirnya saya dipertemukan Klinik Asih Sasama ini dan bertemu salah seorang mubalig di Jogja. Beliau meminta bantuan agar ada bidan di sini untuk memberi pelayanan kepada warga," ujar Yuyun, ditemui SuaraJogja.id, Selasa (18/2/2022).

Bidan di Klinik Asih Sasama, Yuyun Yunarsih, menceritakan terhadap keberadaannya sebagai Jemaat Ahmadiyah di Klinik yang berada di Kelurahan Ngloro, Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, Selasa (18/2/2022). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

Dukungan keluarga Yuyun juga positif jika dirinya memutuskan berkhidmat untuk Ahmadiyah. Suami Yuyun hanya berpesan, ketika tekadnya sudah bulat, jangan menunggu pensiun untuk agamanya. Yuyun pun memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai supervisor, ketika kebutuhan finansial saat itu sudah sangat tercukupi, bahkan lebih.

Hidup di lingkungan yang baru, Yuyun mengaku tak pernah mendapat diskriminasi sebagai bagian dari Jemaat Ahmadiyah, baik selama tinggal di Kapanewon Paliyan maupun bekerja di Klinik Asih Sasama. Dua tahun Yuyun bersosialisasi dengan warga di lingkungan sekitar pun, tetangganya tak pernah mempermasalahkan keyakinan dia.

"Ya sejak awal tinggal di Paliyan, saya memang mengenalkan diri ke RT dan RW di sana. Termasuk saat saya di klinik ya, karena saya datang dengan niat untuk membantu masyarakat, jadi tidak ada rasa takut juga," ujar dia.

Baca Juga: Kemenag Minta Masjid Ahmadiyah Difungsikan sebagai Tempat Ibadah Seluruh Umat Islam

Yuyun berkisah, sempat beberapa tetangganya mengajak beribadah ke masjid di wilayah Paliyan, kebetulan saat itu bulan Ramadan. Mengingat Yuyun baru selesai bekerja pukul 21.00 WIB, dirinya menjelaskan, untuk ibadah, itu dilakukan sendiri bersama keluarganya di rumah kontrakan.

Dari awal, ia belum mengenalkan diri sebagai bagian dari Jemaat Ahmadiyah. Namun seiring berjalannya waktu dan makin dekatnya suami Yuyun dengan tetangga serta pemilik rumah kontrakannya, warga mulai paham.

Suami Yuyun, yang dianggap memiliki pemahaman cukup baik di bidang agama Islam, bahkan diajak untuk mengisi ceramah dan menjadi imam di masjid yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

"Sebenarnya kan kami tinggal di kontrakan milik tokoh Muhammadiyah di sana, ya kita beri tahu keyakinan kita, tapi baik dari RT dan pemilik rumah itu tidak pernah mempersoalkan keyakinan warganya yang dianut. Malah suami saya diajak untuk jadi imam di sana, sekali-kali imam di sana, karena dianggap agamanya bagus. Cuma Bapak [suami] bilang belum siap, ya masih banyak takut salah," kisah Yuyun, mengingat momen awal-awal berada di Jogja.

Menjalankan perbedaan budaya dan kehidupan baru di Jogja, ia juga perlu beradaptasi. Tidak banyak kendala yang dia temukan. Selama berada di Jogja, dia tidak pernah merasa ada yang terusik dengan keyakinan yang berbeda dari mayoritas di lingkungannya, tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakannya ketika di Jakarta.

Yuyun sejak lahir sudah menjadi penganut Ahmadiyah. Ia mengatakan, beribadah, salat, hingga membaca Al-Qur'an dia lakukan sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.

Tidak ada garis tebal pembatas keyakinan antara dirinya dengan rekan kerjanya di rumah sakit swasta tempatnya bekerja dulu. Di tempat tinggalnya di ibu kota, lingkungannya tak pernah sama sekali membahas soal apa yang dia yakini selama ini.

Berkhidmat untuk masyarakat hampir dua tahun lamanya di Klinik Asih Sasama, Yuyun pun mulai lancar beradaptasi. Bahkan untuk mendalami agama lebih mudah baginya, tanpa ada tuntutan pekerjaan sepadat di ibu kota.

Namun, bidan 54 tahun ini juga tak menutup mata dari konflik di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, di mana pada Jumat (3/9/2021), sebuah masjid bernama Miftahul Huda, tempat beribadah Jemaat Ahmadiyah, dibakar warga.

"Mereka juga memiliki ulama, di mana pandangannya berbeda-beda. Memang ada beberapa "Islam" yang cukup keras, dan kalau berbeda, bukan golongan mereka. Parahnya itu, [mereka] harus diperangi, halal darahnya untuk dibunuh, padahal itu tidak ada di dalam Al-Qur'an. Saya meyakini Islam itu cinta damai," ujar dia.

Yuyun yakin, ada saatnya umat beragama terketuk hatinya untuk memahami adanya perbedaan. Bagi Yuyun, perbedaan bukan halangan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia. Namun, dia hanya bisa menyerahkan semua pada Allah, yang memiliki kehendak di atas segalanya.

Cerita Pegawai Muhammadiyah di Klinik Asih Sasama

Suasana Klinik Asih Sasama, dari lembaga non profit Humanity First, sayap organisasi Ahmadiyah yang bergerak di bidang kemanusiaan internasional, di Kelurahan Ngloro, Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, (26/1/2022). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

Klinik Asih Sasama di Kalurahan Ngloro diisi oleh tenaga medis dari berbagai latar belakang. Ada satu pegawai pria asal Bantul yang merupakan seorang perawat di klinik itu. Ia tak pernah gelisah meski berada di lingkungan yang berbeda.

Edy Muryanto, pria 28 tahun tersebut, awalnya tak mengetahui jika fasyankes tersebut merupakan sayap kanan Ahmadiyah. Satu tahun bekerja di klinik itu, tidak ada diskriminasi yang dia alami.

"Januari 2021 saya sudah bergabung di sini. Jadi ada pemberitahuan dari bapak kalau di klinik ini sedang membutuhkan tenaga medis dan saya mengirim lamaran. Awalnya bekerja di sini saya tidak tahu [klinik dari Ahmadiyah], tapi lama-lama akhirnya tahu, jadi saya tidak melihat latar belakang tempat saya bekerja, tapi saya ke sini sebagai tenaga profesional saja," kata Edy, ditemui di klinik setempat, Rabu (26/1/2022).

Ayah satu anak yang sebelumnya bekerja di Wisma ODGJ, Panti Hafara, Bantul tersebut mengaku tahu bagaimana keyakinan Ahmadiyah, yang mempercayai masih ada nabi selanjutnya setelah Muhammad SAW. Baginya, sebelum dan sesudah dirinya bergabung di klinik setempat, tidak ada masalah yang timbul dari perbedaan keyakinan.

"Apa yang diberitakan di luar sana tidak seperti yang dibayangkan ya. Saya nyaman di sini, bekerja pun juga tidak ada sekat-sekat. Semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada perbedaan Anda Ahmadiyah atau Muhammadiyah," kata Edy, yang sejak lahir tumbuh di lingkungan Muhammadiyah.

Tidak ada kegundahan yang mengganggu keyakinan Edy selama satu tahun bertugas di Klinik Asih Sasama. Ajakan untuk memahami ajaran Ahmadiyah juga tak sekali pun ia dapatkan. Semua civitas klinik bekerja untuk satu tujuan—memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat Ngloro dan sekitarnya.

Bahkan, lanjut Edy, klinik ini sudah menjadi keluarga baru dalam bagian hidupnya. Meski dengan latar belakang yang berbeda terkait keyakinan, Edy menaruh hormat terhadap rekan lain yang saling menjaga perbedaan.

Klinik Asih Sasama Dibangun untuk Masyarakat

Klinik Asih Sasama dibangun oleh panggilan hati seorang dokter asal Jakarta bernama Gianne Panji Putri. Ibu dua anak ini sudah bercita-cita mendedikasikan diri untuk masyarakat di bidang kesehatan.

Cita-cita itu dia sampaikan ke pimpinan Ahmadiyah dunia, atau khalifah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad. Gianne diarahkan untuk membangun klinik, dibantu dengan Humanity First, lembaga kemanusiaan sayap organisasi Ahmadiyah.

Memutuskan untuk ke Ngloro membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Awalnya Gianne berpikir untuk membangun klinik di wilayah timur. Namun, karena dirinya masih bergerak sendiri, ia memilih di wilayah Jawa dan menemukan Wonosobo, Jawa Tengah.

Namun, kondisi jalan yang dekat dengan jurang cukup membahayakan dirinya ketika bertugas. Mengingat belum ada jaminan keselamatan, Gianne bersama Humanity First mencari tempat lain dan akhirnya menemukan lokasi di Kalurahan Ngloro, Saptosari, Gunungkidul, DI Yogyakarta.

"Pada 2013 saya ke Jogja dan saya cukup kaget dengan kondisi Gunungkidul saat itu. Banyak batu besar, listrik itu sering matinya daripada menyala. Begitu pun air, sampai-sampai saya menampung air hujan untuk kebutuhan ini," kisah Gianne kepada SuaraJogja.id, ditemui di sebuah coffee shop di area Condongcatur, Depok, Sleman pada Kamis (27/1/2022).

Tidak hanya kebutuhan air dan listrik, sang dokter juga kerap meminta bantuan warga untuk diantar ke rumah pasien saat melakukan home visit. Namun, seiring waktu berjalan, bantuan seperti ambulans dan penambahan fasilitas di klinik setempat mulai tercukupi.

Beroperasi sejak 2013, Klinik Asih Sasama ditempatkan di sebuah rumah joglo. Setiap tahun, selalu ada yang diperbarui dan dibenahi untuk menambah kenyamanan pasien yang datang berobat.

Gianne sendiri tak pernah memandang latar belakang pasien yang akan dia obati. Pemilihan Ngloro untuk menjadi lokasi didirikan klinik tak didasari ada atau tidaknya mayoritas Ahmadiyah. Membangun klinik semata-mata untuk memberikan pelayanan kesehatan yang masih rendah di wilayah tersebut.

Tidak ada juga tuntutan untuk membagikan syiar di Klinik Asih Sasama. Gianne menegaskan bahwa kegiatannya selama di Ngloro tak lain adalah untuk mengisi ceruk pelayanan kesehatan yang masih belum terfasilitasi. Tak jarang, banyak pasien dari desa lain yang datang untuk berobat di Klinik Asih Sasama.

Memberi pelayanan kesehatan sudah menjadi target klinik. Gianne, satu dari dua dokter di klinik itu, kerap memberi diskon kepada pasien. Menurutnya, dengan adanya potongan harga, pasien yang sakit bisa memenuhi kebutuhan asupan gizi untuk memulihkan metabolismenya.

"Lebih baik saya memberikan diskon untuk obatnya, sisa uang dibelikan protein seperti tahu, telur, tempe karena penyembuhan luka atau sakit itu tidak hanya 100 persen dari obat. Kalau obat itu 30 persen, 70 persen itu support system, salah satunya makanan yang bergizi," ujar Gianne.

Melayani warga Ngloro dan desa-desa lainnya di Kapanewon Saptosari, Klinik Asih Sasama juga sering menggelar bakti sosial. Bahkan, saat kasus Covid-19 melonjak pada 2020-2021, klinik ini lebih siap dalam melaksanakan skrining dan juga vaksinasi.

Dokter lainnya, yang juga Penanggungjawab Klinik Asih Sasama, Hari Ahmad Muhsin, menjelaskan bahwa tenaga kesehatan di klinik setempat juga melaksanakan home visit. Layanan kesehatan makin dilengkapi dari waktu ke waktu.

Di tahun 2019, tenaga kebidanan sudah ada dan fasilitas ditambah: KB, pijat bayi, hingga persalinan. Selain itu, klinik tersebut juga sudah bekerja sama dengan BPJS untuk bantuan jaminan kesehatan warga.

Ia menjelaskan, kebanyakan masyarakat berobat karena terluka akibat jatuh, mengingat kontur wilayah Ngloro yang masih berbatu. Selain itu, tak jarang pasien mengeluhkan pusing karena darah tinggi.

"Paling sering ya trauma [luka karena jatuh], tapi ada juga kecurigaan penyakit jantung, semua kami layani tanpa terkecuali," kata Hari, ditemui di klinik setempat, Selasa (18/1/2022).

Memberi pelayanan hampir sembilan tahun lamanya di Ngloro, Klinik Asih Sasama sudah menjadi bagian dari warga. Banyak yang sudah mengetahui latar belakang klinik tersebut, tetapi warga tidak pernah mempersoalkan.

"Sejauh ini kami bersosialisasi dengan baik. Tidak ada perbedaan pandangan di sini. Karena kami bergerak di bidang kesehatan dan kemanusiaan, tidak ada tugas untuk kami menyiarkan ajaran kami ke pasien-pasien di sini. Kami membangun situasi yang nyaman antara pasien, warga, dan juga tenaga kesehatan," terang Hari.

"Di daerah Saptosari ini, entah itu berbeda agama atau beda keyakinan, paham yang lain, memang sangat toleran. Ya memang terkenal kan Jogja juga toleran ya orang-orangnya. Kalau bicara kemanusiaan sudah tidak bicara lagi tentang agama di sini," imbuhnya.

Toleransi Dijaga di Ngloro sejak Lama

Segala macam latar belakang keyakinan yang berbeda di tengah masyarakat sudah lama bercokol di Kelurahan Saptosari, bergandengan dengan toleransi. Hal itu disampaikan Lurah Ngloro Heri Yulianto, kala ditemui SuaraJogja.id di kantor kelurahan setempat, Rabu (26/1/2022).

Lurah Ngloro Heri Yulianto mengisahkan terkait toleransi di Ngloro dan keberadaan Klinik Asih Sasama di Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, ditemui di kantornya, Rabu (26/1/2022). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

Tidak ada sekat maupun diskriminasi antarwarga terhadap mayoritas maupun minoritas di Ngloro. Toleransi adalah hal utama yang dipegang teguh Heri ketika menjabat sebagai pemangku wilayah di Ngloro.

Berkisah soal adanya Humanity First, yang membangun klinik tepat di depan kantor kelurahannya, Heri tak menampik, dirinya terkejut ketika klinik sudah berjalan beberapa bulan.

"Awalnya warga juga tidak mengetahui bahwa klinik ini merupakan sayap dari Ahmadiyah, begitu pun saya. Namun seiring berjalan waktu, kami mengetahui itu," ujar Heri.

Dirinya melihat bahwa keberadaan Klinik Asih Sasama sangat membantu warga ketika dibangun di Ngloro. Terlepas dari label terhadap pandangan Ahmadiyah, warga Ngloro menerima dan tak pernah menyinggung keyakinan tenaga kesehatan di klinik tersebut.

Sembilan tahun klinik tersebut berjalan bersama masyarakat Ngloro, tidak ada warga yang terusik. Sejak awal klinik berdiri, warga cukup dimudahkan dengan pelayanan kesehatan. Bahkan saat puncak kasus Covid-19 varian Delta 2020-2021, klinik sangat membantu pihak kalurahan untuk melakukan penanganan.

Heri mengakui bahwa memang ada puskesmas serta fasilitas kesehatan lain yang ada di sekitar Kalurahan Ngloro dan Kapanewon Saptosari. Meski begitu, keberadaan Klinik Asih Sasama sudah menjadi tujuan pertama yang dipilih warga selama ini.

Ia tak menampik bahwa semua itu tergantung pada bagaimana pelayanan yang diberikan kepada pasien. Nyatanya, masyarakat cukup nyaman dengan pelayanan yang dikembangkan di klinik tersebut.

Bertahun-tahun toleransi cukup terjaga di wilayah Ngloro, kata Heri, tak lepas dari bagaimana masyarakat memahami adanya perbedaan.

Sejurus dengan apa yang dipahami warga, Heri tak berhenti untuk selalu menyambangi para tokoh agama yang ada di Ngloro. Tak jarang beberapa program kegiatan digelar di kelurahan setempat untuk mempertahankan perbedaan dengan kondusif.

"Kami selalu komunikasi dengan yang ditokohkan, para tokoh agama, baik yang dari NU, Muhammadiyah, LDII, termasuk Ahmadiyah, sehingga alhamdulillah sampai saat ini tidak pernah terjadi gesekan di sosial kemasyarakatan yang dasarnya adalah keyakinan. Ini yang selalu kami jaga," terang dia.

Meski mengetahui bahwa di luar Jogja masih ditemukan adanya perbedaan keyakinan hingga terjadi pembakaran rumah ibadah, bagi Heri, hal itu tak lepas dari kepentingan yang bisa jadi dimiliki suatu kelompok.

"Namun saya pastikan, di Ngloro ini saling mengerti satu sama lain. Maka komunikasi ini yang terus kami jaga. Selama semua berjalan sesuai koridor, kami pastikan kenyamanan seluruh warga di Ngloro tetap terjaga meski dengan perbedaan keyakinan," kata dia.

Ia kembali menegaskan, "Di wilayah kami, kami sangat menjaga toleransi. Artinya, kami menjaga mereka, dan mereka kami minta untuk menjaga kami. Saling menjaga, saling komunikasi. Perbedaan tidak harus berujung perpecahan. Perbedaan itu penting. Perbedaan itu baik. Perbedaan itu bagian dari NKRI, yang memang dasarnya sudah bineka tunggal ika. Berbeda itu boleh."

Sultan Pastikan Ahmadiyah di Jogja Aman

Konflik dengan melibatkan kekerasan yang berdampak pada Jemaat Ahmadiyah sudah lama dan tak hanya satu kali terjadi di Indonesia. Namun di DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X sang Gubernur telah menjamin bahwa penduduknya yang menjadi bagian dari Ahmadiyah tetap aman di wilayah pimpinannya.

Pada awal-awal 2011 silam, ketika terjadi bentrok yang menewaskan tiga warga Ahamadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Sultan menekankan, tidak boleh ada yang memaksakan kehendak pada orang lain. Itu pun ia sampaikan pada warga DIY supaya toleransi tetap terjaga.

Bahkan ketika heboh kabar bahwa provinsi lain mengeluarkan peraturan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah, Sultan menegaskan tak akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait larangan jemaah Ahmadiyah di Yogyakarta.

"Sudahlah, Yogyakarta jangan diprovokasi. Tidak ada SK larangan jemaah Ahmadiyah di sini. Selama ini kita hidup berdampingan, tak ada gejolak," tegasnya.

Begitu pula Raja Keraton Yogyakarta ini meyakinkan, sebagai pemimpin, jika ada desakan dari sejumlah pihak untuk membubarkan Ahmadiyah, dia tak akan menanggapi.

"Saya tegaskan, yang punya wewenang membubarkan Ahmadiyah adalah pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya melaksanakan surat keputusan bersama tiga menteri dengan melakukan pengawasan dan pengendalian," tutur Sultan.

SKB 3 Menteri Biang Kerok Kerusuhan

Menanggapi penyerangan Masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat pada 2021, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan gubernur dan kapolda setempat untuk memberi penanganan dengan memperhatikan hukum dan HAM.

"Semua harus menahan diri. Kita hidup di NKRI, di mana hak-hak asasi manusia itu harus dilindungi oleh negara," kata Mahfud MD.

Serangan masjid Ahmadiyah [ist]

Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong agar Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Nomor 3 tahun 2008 dievaluasi untuk dibatalkan. Komnas menilai, adanya SKB tersebut menjadi salah satu akar terjadinya perusakan tempat ibadah jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, pihaknya mempunyai banyak catatan mengenai kasus konflik terhadap jemaah Ahmadiyah. Menurutnya, yang menjadi akar masalah memang adanya SKB Menteri Agama, jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat tersebut.

"Yang itu salah satu akarnya memang SKB tiga menteri, SKB nomor 3 tahun 2008, persis tadi dikatakan kalau di situ ada empat klausul, satu, dua, tiganya efektif, tapi nomor empatnya diabaikan. Dan terbukti gagal. Oleh karenanya sejak awal Komnas HAM mendorong SKB ini dibatalkan ya," kata Anam dalam konferensi pers daring, Senin (6/9/2021).

Anam mengatakan, jika negara berkomitmen terhadap hukum dan terutama soal Hak Asasi Manusia, maka SKB 3 menteri tersebut harus dicabut. Faktanya justru sudah banyak kasus-kasus pelanggaran HAM terjadi.

Dalam SKB 3 menteri tersebut, salah satu klausul meminta Jemaat Ahmadiyah "untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam."

Meski disertai dengan klausul keempat, yakni warga masyarakat diminta menjaga ketenteraman antarumat bergama dan "tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)," nyatanya SKB 3 menteri itu malah modal pelaku tindakan represif terhadap jemaah Ahmadiyah.

Menag Janji Kaji SKB 3 Menteri

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sebelumnya mengatakan, pemerintah akan mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Yaqut tidak mau ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halaman mereka karena perbedaan keyakinan.

"Mereka warga negara yang harus dilindungi," kata Yaqut saat dikonfirmasi Antara di Jakarta, Kamis (24/12/2020).

Kemudian pada September 2021 lalu, berbagai pihak mendesak supaya SKB 3 menteri dicabut, buntut dari penyerangan dan perusakan masjid Jemaat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat.

Menanggapi desakan tersebut, Yaqut mengatakan akan mengkaji SKB Tiga Menteri tentang perintah terhadap Penganut Pengurus JAI.

Banyak yang harus dipertimbangkan dan masih dalam proses pengkajian untuk mencari solusi katanya saat itu. Hingga kini pun kajian belum final dan belum ada keputusan terhadap SKB 3 menteri tersebut.

Load More