Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 27 Februari 2022 | 12:49 WIB
Ilustrasi hantu. (Shutterstock)

SuaraJogja.id - Indonesia tidak hanya kaya dengan kekayaan alam dan budaya tetapi juga dari sisi mistis pun tidak kalah beragam dengan berbagai sosok makhluk tak kasat mata.

Perwujudan sosok tak kasat mata yang kerap disebut masyarakat sebagai hantu, setan, demit dan sebagainya itu tidak jarang berbeda di setiap daerah. Ketika sosoknya sama pun, kadang penyebutannya yang kemudian berbeda. 

Dosen Sastra Jawa UGM Rudy Wiratama menjelaskan bahwa dalam memahami fenomena dunia tak kasat mata ini ada konteks yang harus dipisahkan terlebih dahulu.

"Jadi kita perlu memisahkan dulu ini bicara dalam konteks apa, kalau dalam konteks agama kita kan harus percaya kepada makhluk selain kita ada yang gaib itu agama apapun itu pasti mempercayai hal tersebut," ujar Rudy saat hubungi awak media, Sabtu (26/2/2022).

Baca Juga: Tak Melulu Gaib, Pakar UGM Beberkan Hubungan Sesajen dengan Ekosistem Alam

Namun di sisi lain ada pula berbagai macam tanggapan dari segi keilmuan. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa gelombang elektromagnetik otak dari masing-masing orang dapat menjadi pemicu fenomena melihat sosok makhluk gaib.

"Jadi aslinya tidak ada tapi kelihatan ada, kadang kalau nampak juga sekelebat putih atau apa begitu. Tapi kalau yang sampai menyapa kan jarang-jarang ada orang yang lihat bentuknya apa, dalam artian lengkap detail itu jarang," terangnya. 

Berbeda dari segi kelimuan, kata Rudy ada faktor kebudayaan yang kemudian membuat masyarakat dari peradaban itu menangkap dan menyerap fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya. Hal itu menyebabkan munculnya sosok hantu atau makhluk gaib itu akan berbeda di setiap tempat.

"Makanya kalau kita ke Cina ya enggak akan ketemu hantu pocong. Pocong itu ya Indonesia-Malaysia konteksnya dari marga yang mayoritas Islam kemudian jenazah itu secara tradisi dikuburkan dipocong lah itu hantu pocong bisa muncul di situ. Tapi kalau di Cina kan enggak ada pocongnya, di sana Vampir juga pakai pakaian sana sendiri," paparnya.

Dua hal itu, disampaikan Rudy yang kemudian membentuk fenomena-fenomena kemunculan makhluk gaib tersebut di tengah masyarakat. Pertama adalah dari neurosains atau ilmu tentang saraf yang dianggap sebagai bagian dari fenomena yang biasa. 

Baca Juga: Pengamat Politik UGM Ingatkan Baliho Tak Jamin Elektabilitas Naik, Masyarakat Malah Bosan

Namun di sisi lain, masyarakat sebagai makhluk yang beragama dan berbudaya memiliki kepercayaan tentang energi-energi gaib itu. Baik dalam perwujudan apapun itu yang kemudian diterjemahkan sesuai konteks kebudayaan masing-masing.

"Makanya tiap-tiap daerah itu demitnya (hantunya) berbeda," ucapnya.

Terkait dengan adanya orang yang percaya atau tidak dengan makhluk gaib atau fenomena mistis tersebut, kata Rudy, itu sudah masuk dalam kepercayaan personal yang berkaitan pula dengan pengalaman pribadi. Hal itu menjadi ranah yang tidak bisa disanggah. 

"Sepanjang itu jadi pengalaman personal kan bagaimana kita mau membuktikan. Kecuali misalkan dia dengan 10 orang lainnya lihat fenomena yang sama itu bisa secara objektif, ilmiah dipertanggungjawabkan tapi sepanjang itu pengalaman personal ya kita tidak bisa masuk ke ranah itu," ucapnya.

Tidak jarang dari pengalaman personal yang diceritakan ke orang lain apalagi hingga menyebar ke masyarakat di situlah budaya itu terbentuk. 

"Ketika pengalaman personal itu diceritakan akan menjadi di reproduksi di masyarakat. Entah lihat atau tidak tapi rata-rata masyarakat akan mengamini bentuknya seperti itu. Apalagi kalau dekat dengan konteks kebudayaan," tuturnya.

"Jadi fenomena kebudayaannya apa, alam sekitarnya apa kemudian fenomena sosial itu apa, itu sangat mempengaruhi citraan masyarakat terhadap lelembut itu sendiri," pungkasnya.

Load More