SuaraJogja.id - Kepemilikan Tanah Tutupan Jepang bakal dikembalikan kepada mereka yang berhak. Sri Sultan HB X selaku Ketua Gugus Reforma Agraria DIY telah membuat kesepahaman akan mengembalikan kepemilikannya kepada yang berhak.
Tak banyak masyarakat yang mengetahui apa itu tanah tutupan Jepang. Bahkan masyarakat yang sekarang berada di seputaran tanah tersebut juga jarang mengetahui apa itu tanah tutupan Jepang, termasuk dengan sejarahnya.
Suparyanto (65), warga Pedukuhan Mancingan RT 01, Kalurahan Parangtritis, Kapanewon Kretek, adalah lelaki yang selama ini berjuang agar tanah Tutupan Jepang dikembalikan kepada warga yang berhak. Dengan mengatasnamakan Masyarakat Pengelola Tanah Tutupan Jepang, ia berjuang sejak tahun 2001 dan baru membuahkan hasil tahun 2021 akhir kemarin.
Pemilik hotel Graha di kawasan Mancingan ini menceritakan secara detail alasan mengapa area itu disebut tanah tutupan. Tanah tutupan Jepang sendiri sebenarnya adalah perbukitan yang memanjang antara jembatan Kretek hingga ke Pedukuhan Mancingan. Tanah tutupan Jepang hanya berupa hutan yang ditanami warga dengan berbagai pepohonan.
"Jadi kalau orang sini menyebutnya alas (hutan)," tutur pensiunan pengajar kesenian di salah satu lembaga pendidikan seni terkemuka di DIY ini, Minggu (6/3/2022).
Tanah Tutupan Jepang memiliki luas 118 hektare. Tanah tutupan Jepang adalah area yang terlarang bagi masyarakat untuk beraktivitas pada zaman Jepang saat bangsa Asia Timur tersebut menjajah bangsa Indonesia. Sejarah panjang membuat masyarakat menyebutnya sebagai tanah tutupan.
Sebelum Jepang datang, tanah tutupan sebenarnya dimiliki oleh warga setempat. Warga masyarakat memiliki dasar hukum yang kuat berupa letter C. Hal tersebut masih tercantum jelas dalam buku Leger yang dimiliki oleh pemerintah Kalurahan Parangtritis.
"Itu sangat jelas siapa-siapa pemiliknya," tutur Suparyanto.
Tahun 1942, Belanda dan Sekutu kalah ketika berperang melawan Jepang pada saat perang dunia kedua. Jepang kemudian masuk ke Indonesia sebagai salah satu jajahannya. Di Indonesia, mereka juga ingin menguasai bangsa ini, sehingga berusaha membuat pertahanan yang kuat sebagai antisipasi perang
Baca Juga: FOTO: Labuhan Alit Keraton Jogja Saat Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X
Kala itu, Jepang kemudian membangun sebuah benteng pertahanan. Salah satunya adalah mendirikan benteng pertahanan di perbukitan di atas Pantai Parangtritis. Mereka mendirikan bunker (goa buatan) di atas perbukitan Pantai Parangtritis yang memanjang dari Sungai Opak hingga pinggir Pantai.
"Jadi mereka membangun bungker untuk mengintai kalau pasukan Sekutu datang dari laut," kata Suparyanto.
Jepang lantas melarang masyarakat untuk memasuki area bukit tersebut. Mereka membangun pagar dari besi mengelilingi perbukitan tersebut. Masyarakat dilarang masuk ke area tersebut meskipun hanya sekedar untuk menggembala ternak ataupun mencari pakan ternak.
Karena terlarang untuk aktivitas masyarakat, maka masyarakat menyebutnya ditutup (tertutup) untuk masyarakat, sehingga masyarakat kemudian menyebutnya sebagai tanah tutupan. Hingga sekarang masyarakat menyebutnya sebagai Tanah Tutupan Jepang.
Persoalan muncul ketika Jepang kalah usai dua kota mereka, Nagasaki dan Hirosima, dibom atom oleh Sekutu. Pasukan Jepang kemudian pergi meninggalkan Indonesia ketika pasukan Belanda masuk dengan membonceng Sekutu. Jepang akhirnya meninggalkan tanah tutupan begitu saja.
Suparyanto menyebut, taktik jitu kemudian dilakukan oleh Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, yang kala itu oleh Belanda disebut sebagai pemerintahan Swapraja, di mana ada Kadipaten Pakualaman dan Kerajaan Mataram. Kala itu, Sultan bersama Adipati Pakualaman menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak dikuasai oleh Belanda.
Berita Terkait
-
FOTO: Labuhan Alit Keraton Jogja Saat Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X
-
Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X, Keraton Jogja Gelar Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo
-
Tanah Tutupan Jepang di Parangtritis Akan Ditata, Diperkirakan Sebanyak 1.000 Orang Terdampak
-
Di Depan Tetenger HB IX, Sri Sultan Luruskan Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949
-
Diperjuangkan Sejak 2018, Peristiwa Serangan Umum 1 Maret Akhirnya Disahkan Jadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara
Terpopuler
- Feri Amsari Singgung Pendidikan Gibran di Australia: Ijazah atau Cuma Sertifikat Bimbel?
- 7 Mobil Kecil Matic Murah untuk Keluarga Baru, Irit dan Perawatan Mudah
- Gugat Cerai Hamish Daud? 6 Fakta Mengejutkan di Kabar Perceraian Raisa
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 22 Oktober 2025, Dapatkan 1.500 Gems dan Player 110-113 Sekarang
- Pria Protes Beli Mie Instan Sekardus Tak Ada Bumbu Cabai, Respons Indomie Bikin Ngakak!
Pilihan
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
-
Heboh Kasus Ponpes Ditagih PBB hingga Diancam Garis Polisi, Menkeu Purbaya Bakal Lakukan Ini
-
Makna Mendalam 'Usai di Sini', Viral Lagi karena Gugatan Cerai Raisa ke Hamish Daud
Terkini
-
Sampah Jadi Berkah: Bantul Manfaatkan APBKal untuk Revolusi Biopori di Rumah Warga
-
Persela Tanpa Vizcarra & Bustos: PSS Sleman Diuntungkan? Ini Kata Sang Pelatih
-
Tak Hanya Siswa, Guru SMP Ikut Keracunan Makan Bergizi Gratis di Sleman, Ternyata Ini Alasannya
-
Tim SAR Evakuasi 2 Peserta Diklatsar yang Lemah di Lereng Merapi Tengah Malam
-
Tuntutan Terdakwa Kecelakaan BMW Maut Sleman Disorot, Fakta-fakta Ini jadi Keringanan dan Pemberatan