SuaraJogja.id - Status pandemi Covid-19 menjadi endemi di Indonesia sudah mulai digaungkan dalam beberapa waktu terakhir. Hal itu seiring melandainya kasus positif dan bertambahnya angka vaksinasi.
Berbagai pelonggaran aturan terkait Covid-19 juga telah mulai diterapkan oleh pemerintah. Namun sebenarnya bagaimana penetapan atau kriteria hingga Indonesia benar-benar bisa menyandang status endemi?
Pakar Epidemiologi UGM, Riris Andono Ahmad, menjelaskan bahwa secara epidemiologis, indikator atau kriteria yang pasti harus dipenuhi adalah angka reproduksi sama dengan satu. Artinya, satu kasus yang sembuh itu digantikan satu kasus baru.
"Problemnya, angka reproduksi satu itu kan bisa saja memang kasusnya rendah atau kasusnya tinggi grafiknya mendatar. Tapi kan antara angka reproduksi satu tapi kasusnya tinggi dan kasus rendah kan juga akan beda," kata Riris saat dihubungi awak media, Minggu (13/3/2022).
Kemudian, disampaikan Riris, ketika endemi itu lantas terjadi di seluruh dunia, tetap ada satu permasalahan yang sama. Dalam hal ini adalah virus yang masih bersirkulasi secara global.
Bahkan virus tersebut masih mempunyai kemampuan untuk menciptakan lonjakan kasus secara tiba-tiba atau epidemi lagi. Sehingga transisi pandemi menuju ke endemi harus diperhatikan secara serius dan bukan berarti juga mengubah segalanya.
"Artinya ya situasinya masih tetap sama, cuma memang lebih stabil, bisa lebih rendah atau ada juga yang tinggi penularannya, tapi kemudian kita bisa kembali seperti, indikatornya kalau saya mengatakan bahwa sistem kesehatan itu bisa mengelola sebagai suatu yang normal. Sama seperti penyakit-penyakit yang lain. Itu sebagai sebuah situasi dimana kita mengatakan bahwa kita endemi," paparnya.
Ia tidak menutup kemungkinan bahwa dari waktu ke waktu bisa saja ada gelombang penularan lagi yang muncul. Jika kemudian gelombang penularannya terjadi bersamaan di seluruh dunia maka situasi masih akan tetap pandemi.
"Jadi lebih kepada bagaimana kita memframing masalahnya dan mengelolanya. Pada situasi pandemi yang terjadi saat ini kan penyakit itu dikelola sebagai sebuah bencana. Seperti BNPB, BPBD yang terlibat, itukan situasi darurat to bukan sesuatu yang normal. Nah endemi itu ketika kemudian ini dianggap sebagai sesuatu yang normal. Sistem yang normal itu bisa mengelolanya," terangnya.
Baca Juga: Anggap Masuk Akal Penghapusan Tes Covid-19 dari Syarat Perjalanan, Ini Kata Epidemiolog UGM
Sebab dikatakan Riris, Covid-19 mempunyai potensi untuk menjadi epidemi kembali karena kemampuannya bermutasi. Sehingga bisa menghasilkan varian baru dari waktu ke waktu.
Begitu ada varian baru yang semisal tingkat penularannya sama seperti Omicron tapi kemudian tingkat keparahan lebih tinggi sedikit. Maka situasi yang mungkin terjadi akan lebih parah daripada gelombang sebelumnya.
"Karena mutasi itu sifatnya acak random, kalau itu yang kemudian muncul ya kita bisa mengalami keparahan yang sama, situasi yang sama bahkan lebih parah daripada delta misalnya," ucapnya.
"Nah kalau ada varian baru yang seperti itu yang bisa menembus sistem imunitas. Kayak Omicron kan bisa menembus sistem imunitas, ya itu akan menjadi menyebar meluas ke seluruh penduduk dunia lagi. Kalau seperti itu kan ya masib tetep pandemi to. Jadi membayangkan pandemi dan endemi itu bukan sesuatu yang clear cut sama sekali berbeda, untuk kasus ini," pungkasnya.
Sebelumnya, Koordinator Substansi Penyakit Infeksi Emerging Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Endang Budi Hastuti mengaskan bahwa penentuan status pandemi menjadi endemi bukanlah kewenangan satu negara.
Endang menjelaskan, pengakhiran status pandemi menjadi endemi adalah otoritas dari organisasi kesehatan dunia atau WHO.
Berita Terkait
-
Anggap Masuk Akal Penghapusan Tes Covid-19 dari Syarat Perjalanan, Ini Kata Epidemiolog UGM
-
Pemerintah Diharap Tak Tergesa-gesa Tetapkan Status Endemi, IDI Lampung Sarankan Hal Ini
-
1.361 Pasien di DIY Sembuh dari Covid-19, Kasus Harian Tambah 831 Orang
-
Epidemiolog Kompak Nyatakan Indonesia Belum Penuhi Syarat Masuk Endemi COVID-19, Ini Sebabnya
-
Sempat Tertunda Gegara Pandemi Covid-19, Pengurus DPP SAS Akhirnya Dikukuhkan
Terpopuler
- Kode Mau Bela Timnas Indonesia, Pemain Keturunan Jawa Rp 347,63 Miliar Diincar AC Milan
- Gebrak Meja Polemik Royalti, Menkumham Perintahkan Audit Total LMKN dan LMK!
- Detik-Detik Pengumuman Hasil Tes DNA: Ridwan Kamil Siap Terima Takdir, Lisa Mariana Tetap Yakin
- Kasih Kode Mau Bela Timnas Indonesia, Ryan Flamingo Kadung Janji dengan Ibunda
- Makna Kebaya Hitam dan Batik Slobog yang Dipakai Cucu Bung Hatta, Sindir Penguasa di Istana Negara?
Pilihan
-
Saham Jeblok, Bos Danantara Ungkap Soal Isu Ambil Alih BCA Secara Gratis
-
Bukan Dean Zandbergen, Penyerang Keturunan Ini akan Dampingi Miliano Jonathans di Timnas Indonesia?
-
Besok, Mees Hilgers Hengkang dari FC Twente, Menuju Crystal Palace?
-
Pemain Keturunan Liga Inggris Bahas Timnas Indonesia, Ngaku Punya Sahabat di Skuad Garuda
-
Phwa Sian Liong yang Bikin Soviet Mati Gaya: Hilang di Google, Tak Sempat FYP Tiktok
Terkini
-
Angelaida, Bocah 10 Tahun Asal Jogja, Bikin Bangga Indonesia di Ajang Ballroom Dance Internasional
-
Kronologi Lengkap: Bus Trans Jogja Tabrak Pejalan Kaki Hingga Meninggal di Sleman
-
Dulu Relawan Gempa, Kini Jualan Es: Perjalanan Berliku Eks Napi Teroris Kembali ke NKRI
-
Bantul 'Perang' Lawan Sampah: Strategi Jitu DLH Dongkrak Kapasitas Pengolahan
-
Sleman Diterjang Angin Kencang: Pohon Tumbang, Rumah Rusak Parah di Empat Kapanewon