SuaraJogja.id - Langkah Risnawati Utami tak terhenti meskipun kemampuannya untuk berjalan tanpa alat bantu harus ia relakan sejak usia dini. Justru makin jauh perjalanan yang telah ia tempuh dengan jejak tak terbatas.
Lahir di Wonosari, Gunungkidul 49 tahun lalu, kini Risnawati sibuk melanglang buana bolak-balik Indonesia-Amerika Serikat (AS) karena kepentingannya dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).
Tentu bukan perjalanan singkat yang telah dilalui Risnawati hingga menjadi bagian dari traktat Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi hak dan martabat para penyandang disabilitas itu. Ia mulai aktif sejak 1998 dalam memperjuangkan hak penyandang disabilitas.
Namun, jauh sebelum itu, tonggak pencapaian Risnawati mulai terbangun sejak ia masih sangat muda. Kala itu Risnawati baru berusia empat tahun. Virus polio masih menyerang Indonesia, dan ia menjadi salah satu yang terdampak.
Baca Juga: Kisah Risnawati dalam Memperjuangkan Hak Disabilitas (Bagian 2-Selesai)
"Saya mengalami disabilitas sejak usia empat tahun. Karena ada pandemi, tapi sebenarnya menjadi epidemik, karena virus polio hanya menyerang di beberapa wilayah di Indonesia, dan saya kebetulan mendapat infeksi virusnya," tutur Risnawati pada SuaraJogja.id di kantor Perhimpunan OHANA, Jalan Kaliurang, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman.
Di masa itu, listrik hanya tersedia maksimal selama 12 jam sehari di tempat Risnawati tinggal. Ia yakin, karena keterbatasan listrik dan fasilitas umum, vaksin polio tidak tersimpan dengan baik.
Infeksi polio hingga lawan perundungan di sekolah
Pada masa awal-awal terserang polio, Risnawati bersama kedua orang tuanya pun harus naik-turun Wonosari-Kota Jogja untuk akses fisioterapi. Jarak tempuh 45 kilometer dilalui mereka bertiga dengan sepeda motor. Berbagai upaya dilakukan orang tua Risnawati demi mengembalikan kondisi putrinya supaya bisa kembali berjalan dengan kakinya.
"Segala bentuk pengobatan pernah saya rasakan, mulai dari akupuntur, minum jamu, makan bunga kanthil, makan telur mentah, jadi ya itu bagian dari medikalisasi," kata dia.
Baca Juga: Liputan Khusus: Kisah Risnawati dan Perjuangan Hak Disabilitas (Part 1)
Risnawati pun ingat dengan salah satu bentuk pengobatan tradisional yang kini menjadi momen lucu baginya.
"Hal yang lucu yang pernah dilakukan bapak saya itu adalah, bapak saya mencari monyet atau kera di hutan dari daerah Jawa Timur. Monyetnya dalam bis ucul [lepas]. Keluar dari kerangkeng, jadi heboh, tapi itu bagian dari kelucuan yang pernah saya alami, dan monyet itu harus dimasak sedemikian rupa, dan saya harus makan dagingnya," kenangnya.
"Selain harus pergi ke dukun, saya pernah 3-7 bulan di Blitar untuk berobat. Jadi lucu, semuanya kita lakukan untuk kesembuhan saya," lanjut perempuan kelahiran 21 Maret 1973 ini.
Walaupun dibohongi bahwa olahan daging kera itu merupakan abon sapi, Risnawati mengerti, apa yang dilakukan orang tuanya tersebut demi kesembuhannya. Ia bahkan salut dengan perjuangan orang tuanya, yang, kata dia, meski hanya lulusan SMA, memprioritaskan pendidikan anak agar bisa tumbuh menjadi pribadi berkualitas.
Karena polio yang dia alami sejak umur 4 tahun, kegiatan sehari-hari Risnawati pun dibantu dengan kruk. Cara dia berjalan lalu menjadi bahan ejekan teman-temannya di SD. Kendati begitu, Risnawati kecil sudah tahu cara membela dirinya melawan perundungan.
"Saya di-bully dikatakan pincang, tapi sebenarnya yang salah bukan saya karena memang saya jalannya seperti ini, jadi harusnya tidak boleh dihina dong. Saya pukul teman laki-laki sekelas saya sebagai justifikasi bahwa saya berhak untuk berjalan dengan cara saya sendiri," ungkap Risnawati.
Dua kali ia dipanggil guru BP karena memukul temannya dengan kruk. Namun, itu bukan masalah baginya. Bagi Risnawati, tindakan itu merupakan bukti bahwa ia tak mau tunduk begitu saja terhadap bullying, terlebih ia bukan sembarang siswi di sekolah meskipun memiliki cara berjalan yang tak sama dengan teman-temannya.
"Itu bentuk perlawanan saya saat saya masih anak-anak dan juga saya berprestasi, saya selalu ranking 1-3, maksimal ranking 3 di sekolah waktu SD, tidak pernah tidak ranking karena saya ingin membuktikan meskipun saya difabel, saya juga berprestasi sama seperti anak-anak yang lain. Orang tua saya pasti kasih hadiah kalau saya ranking," jelas Risnawati.
Perjuangan hak disabilitas melalui pendidikan
Beranjak dewasa, Risnawati lulus SMP dan SMA dengan nilai akhir yang memuaskan, mengantarnya lulus seleksi nasional masuk Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum di sana.
Pengalaman selama kuliah juga turut andil mengokohkan semangatnya memperjuangkan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas. Selama empat tahun menempuh pendidikan di perguruan tinggi, Risnawati harus naik-turun di kampusnya.
"Saya mengalami pengeroposan tulang di usia yang sangat muda kan, karena setiap hari lantai 4, lantai 3, paling minimal lantai 2. Itu yang membuat saya, bagaimanapun harus memperjuangkan aksesibilitas," jelasnya.
Tak cukup sampai di situ, setelah lulus kuliah, Risnawati sempat kesulitan mendapat pekerjaan karena persyaratan bagi pelamar mencakup sehat jasmani. Namun lagi-lagi, kesulitan justru makin membakar gairahnya untuk membantu sesama. Pada 1998, ia mulai aktif berkegiatan dengan aktivis penyandang disabilitas.
"Waktu itu kan ada pemilu, itu saya mulai melakukan aktivitas akses pemilu untuk penyandang disabilitas. Terus saya banyak menulis. Saya belajar jurnalistik juga. Saya menuliskan pengalaman saya, kemudian hambatan kelompok disabilitas di fasilitas umum, jadi saya belajar jurnalistik autodidak untuk menyuarakan hak-hak disabilitas yang masih mengalami diskriminasi," kata Risnawati.
Selama enam tahun Risnawati berkeja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dirinya kemudian mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri hingga lolos seleksi kuliah S2 di Brandeis University di Boston, AS. Melanjutkan pendidikan sebelumnya, Risnawati memilih Global Health Policy and Management untuk jurusan kuliahnya.
Begitu meraih gelar master, tak lantas Risnawati merasa puas. Di Tanah Air, pada 2009 Risnawati menginiasi yayasan Roda untuk Kemanusiaan, yang terbentuk pada 2010. Lalu pada 2012 ia mendirikan organisasi penyandang disabilitas OHANA, di 2017 mengikuti seleksi CRPD, dan pada 2018 menjadi penyandang disabilitas pertama asal Indonesia yang terpilih sebagai anggota Komite HAM PBB.
Dibopong paspampres dan dicium pejabat
Selain karena pengalamannya malang melintang di aktivisme penyandang disabilitas, ada satu momen bagian dari tonggak perjuangan Risnawati yang membuat namanya diingat banyak orang, khususnya di kalangan pejuang hak disabilitas.
Pada sekitar 2013, Risnawati diundang Susilo Bambang Yudhoyo alias SBY, yang kala itu merupakan presiden RI, ke Istana Negara untuk membicarakan isu disabilitas sebagai bagian dari Agenda 2030. Berangkat dari Jogja ke jakarta seorang diri, sesampainya di Istana Negara, Risnawati mendapati tak ada akses bagi penyandang disabilitas seperti dirinya di istana. Akhirnya, ia dibopong oleh paspampres.
"Akhirnya harus diangkat oleh empat orang paspampres, dan saya juga bingung kenapa seperti ini ya? Gitu," ungkapnya.
Di sana, semangat dan keberanian Risnawati pun membuat Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Indonesia Kuntoro Mangkusubroto takjub sampai-sampai ia mencium perempuan tangguh itu.
"Tapi setelah itu saya mendapat ciuman dari seorang pejabat waktu itu, Pak Kuntoro Mangkusubroto. Saya dicium beneran waktu itu. 'Saya boleh mencium pipinya ibu?' katanya. 'Baru kali ini saya mendengar seorang difabel yang menyuarakan haknya di Istana negara.' Dan saya dicium 'cup, cup' begitu, saking beliau itu mungkin surprised gitu ya. 'Kok ada orang yang begitu berani menyampaikan haknya. Saya sampai kaget loh saya salut sekali dengan mbak Risna,' katanya," kenang Risnawati.
"Kenapa saya menjadi anggota CRPD? Karena memang mungkin pemerintah banyak mengikuti pergerakan saya di Indonesia maupun di markas besar PBB, termasuk yang saya diangkat paspampres di Istana Negara itu, yang kemudian saya buka di forum PBB, 'Lah ini aja Istana Negara belum akses kan?'" tambahnya.
Misi Risnawati di CRPD
Di CRPD, Risnawati tak hanya memberikan advokasi bagi penyandang disabilitas di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang melapor ke PBB.
"Misi saya memang ingin menyumbangkan pemikiran ya, terutama khusus dari negara-negara selatan karena negara selatan ini kan cukup challenging daripada negara utara, yang notabene kaya, makmur, sejahtera," tutur dia.
Salah satu yang menjadi fokus Risnawati adalah isu-isu ekonomi seperti soal inclusive labour markets, yang ternyata juga menjadi isu besar G-20. Dalam isu ketenagakerjaan, pengangguran kelompok disabilitas lebih tinggi daripada orang di luar kelompok ini. Sekalipun sudah bekerja, kata Risnawati, penyandang disabilitas masih harus menghadapi perlakuan diskriminatif, seperti tidak adanya aksesibilitas tempat kerja hingga akomodasi yang layak
"Seharusnya ada akomodasi yang layak disediakan seperti transportasi. Bayangkan kalau difabel kayak saya kerja di Jakarta, harus naik taksi tiap hari, gajinya habis," terang perempuan yang akrab disapa 'Risna' ini. "Akomodasi yang layak ini harus disediakan oleh negara, paling enggak kantor itu bisa menyediakan sopir dan mobil."
Sampai sekarang, Risnawati masih memiliki mimpi supaya aparat negara maupun penegak hukum paham tentang isu disabilitas, memiliki keberpihakan untuk kelompok disabilitas, sehingga Indonesia ini benar-benar bisa menjadi negara yang inklusif.
Pemenuhan hak disabilitas di Indonesia
Tentu, lanjutnya, itu membutuhkan kerja jangka panjang dan advokasi. Membandingkan dengan AS, Risnawati menceritakan, saat kemah di suatu daerah pelosok di sana, segalanya aksesibel baginya. Di negara adidaya tersebut, seluruh kementerian terkoneksi untuk serius menangani isu disabilitas.
"Jadi kalau ada perkemahan, bumi perkemahan itu sudah disediakan WC aksesibel, tempat mandi aksesibel, sampai ada rumah kabin kayu kalau memang tidak bisa berkemah pakai tenda. Itu connected, saya herannya kementerian kehutanan di sana connect, kementerian pertanian connect, apalagi ketenagakerjaan dan transportasi. Mungkin karena penegakan hukumnya tinggi menurut saya, sehingga kalau saya mengalami diskriminasi di tempat umum saya boleh melakukan gugatan pengadilan," kata Risnawati.
"Misalnya, menggugat, perkemahan ini enggak aksesibel, nanti perkemahan itu akan dipanggil. Kita akan maju ke pengadilan, dan mereka membayar denda yang mahal. Menurut saya, law enforcement di Indonesia harus tinggi dalam rangka penegakan isu-isu HAM di Indonesia terutama HAM penyandang disabilitas," lanjut dia.
Sementara itu di Indonesia, Risnawati memandang, pemerintah belum 100 persen memenuhi hak penyandang disabilitas.
"Persoalannya, ada gap antara implementasi dan peraturan yang ada. Peraturannya sudah lengkap. Nah, pelaksanaannya yang di lapangan yang perlu kita monitor dan perlu kita advokasi, dan juga satu peraturan pemerintah yang mengatur tentang konsesi. Jadi misalnya perpajakan, alat bantu misalnya. Itu juga belum diatur," jelas Risnawati.
Ia menegaskan, Kementerian Sosial seharusnya memberikan surat rekomendasi, tetapi realita tak seperti yang ia harapkan, sehingga ia dan kawan-kawan penyandang disabilitas berharap, di dalam peraturan yang sifatnya konsesi, ada pengurangan biaya.
"Misalnya kalau di Amerika atau di Eropa, biasanya kalau tiket naik bus, misalnya saja, kalau orang yang non-difabel, dia bayarnya 100 persen, kita hanya 50 persen, sisanya ditanggung oleh negara. Demikian juga soal pajak, harus mengalami pengurangan pajak atau tax extension seperti itu kalau misalnya alat bantu dengar," sambungnya.
Sayang, menurut Risnawati, pemerintah belum paham akan ergonomi dan kualitas alat bantu, termasuk alat bantu dengar. Di AS, Risnawati menceritakan, alat bantu dengar dilengkapi fitur bluetooh, sehingga teman tuli yang menonton di bioskop bisa mengikuti pembicaraan dari film yang diputar.
"Di Indonesia enggak ada. Alat bantu dengar harus di-update ada bluetooth-nya, sehingga ketika ada conference, teman-teman sudah bisa menangkap pembicaraan dari diskusi di conference hall. Nah ini belum ada sampai pemikiran ke sana, apalagi pengurangan pajak alat bantu dengar. Karena alat bantu jalan maupun alat bantu dengar masih termasuk sebagai pajak barang mewah, jadi mahal sekali," jelas Risnawati.
"Persoalannya, Kementerian Keuangan masih belum mau menjadi penanggung jawab kementerian terhadap peraturan yang konsesi ini. Mereka pikirnya tidak ada hubungannya dengan perpajakan, padahal ada sekali karena saya mengurus ini sejak tahun akhir 2009," tambah dia, menyinggung soal surat rekomendasi Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Sosial.
Kekerasan seksual pada penyandang disabilitas
Selain itu, masih banyak pula penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual karena stigma aseksual yang dilekatkan pada mereka.
"Mereka dianggap tidak punya gairah seksual sama sekali, jadi mau diperkosa mau dilecehkan mereka tidak apa-apa. Stigmanya masyarakat masih seperti itu, sehingga ini yang menjadi lingkaran setan untuk para penegak hukum sendiri," keluh Risnawati.
Selama melakukan advokasi bagi para penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual, Risnawati dan timnya mendapat hambatan di proses hukum.
"Di Sleman sendiri baru yang dilaporkan saja lebih dari 130 kasus, tapi yang masuk ke pengadilan paling hanya satu atau dua. yang selebihnya enggak pernah diproses ke pengadilan. Jangankan Indonesia, di Jogja aja udah banyak kasus yang tidak pernah dilakukan prosekusi sampai di pengadilan seperti itu, sehingga ini yang menjadi hambatan bagi kami untuk memberikan penguatan bagi kelompok disabilitas, karena mereka takut aparat penegak hukum kan belum sensitif disabilitas gitu ya," ungkapnya.
Dengan adanya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Risnawati mengaku lega, tetapi tetap saja, ia masih menggantungkan harapan pada pemerintah supaya hukum yang sudah ditetapkan benar-benar diimplementasikan dengan berpihak pada korban.
Risnawati juga berharap, keluarga yang memiliki anak atau saudara disabilitas didorong untuk ikut aktif untuk memperjuangkan isu ini. Harapan yang sama ia utarakan pula pada masyarakat sipil lainnya, terutama organisasi non-disabilitas.
"Sehingga mereka bisa menyuarakan isu disabilitas ini bersama-sama dengan kita, jadi tidak berjuang sendiri-sendiri gitu maksudnya," ujar Risnawati.
Berita Terkait
Terpopuler
- Raffi Ahmad Ungkap Tragedi yang Dialami Ariel NOAH, Warganet: Masih dalam Lindungan Allah
- Eliano Reijnders Ungkap Rencana Masa Depannya, Berniat Susul Tijjani Reijnders
- Seharga Raize tapi Mesin Sekelas Innova: Yuk Simak Pesona Toyota Frontlander
- Crazy Rich Kalimantan, Begini Mewah dan Mahalnya Kado Istri Haji Isam untuk Ulang Tahun Azura
- Bayern Munchen Pampang Foto Nathan Tjoe-A-On, Pindah ke Bundesliga Jerman?
Pilihan
-
Viral Pertamax Dituding Jadi Biang Rusaknya Fuel Pump Mobil, ITB Sampai Dipanggil
-
MR.DIY Mau Melantai Bursa di BEI, Ini Harga Saham dan Jadwal IPO
-
Diskusi OIKN dan BPK RI: Pembangunan IKN Harus Berlanjut dengan Tata Kelola yang Baik
-
1.266 Personel Diterjunkan, Polres Bontang Pastikan Keamanan di 277 TPS
-
Masa Tenang, Tim Gabungan Samarinda Fokus Bersihkan Alat Peraga Kampanye
Terkini
-
UMKM Dapat Pesanan Ekspor, Tapi Tak Sanggup Produksi? Ini Biang Keroknya
-
Dari Mucikari Hingga Penjual Bayi, 11 Tersangka TPPO di Yogyakarta Diringkus
-
1.410 Personel Gabungan Kawal Ketat Pilkada Sleman 2024, 16 TPS Rawan jadi Fokus
-
Isu Sosial di Gunungkidul: Banyak Warga Merantau, Anak Tertitip, Berakhir Adopsi
-
Lapor via WA, Bawaslu Sleman Ciduk 6 Terduga Pelaku Politik Uang di Minggir