Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW
Selasa, 21 Juni 2022 | 12:26 WIB
Pendiri OHANA sekaligus anggota Komite CRPD PBB Risnawati Utami - (Suara.com/Galih Fajar)

SuaraJogja.id - Langkah Risnawati Utami tak terhenti meskipun kemampuannya untuk berjalan tanpa alat bantu harus ia relakan sejak usia dini. Justru makin jauh perjalanan yang telah ia tempuh dengan jejak tak terbatas.

Lahir di Wonosari, Gunungkidul 49 tahun lalu, kini Risnawati sibuk melanglang buana bolak-balik Indonesia-Amerika Serikat (AS) karena kepentingannya dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).

Tentu bukan perjalanan singkat yang telah dilalui Risnawati hingga menjadi bagian dari traktat Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi hak dan martabat para penyandang disabilitas itu. Ia mulai aktif sejak 1998 dalam memperjuangkan hak penyandang disabilitas.

Namun, jauh sebelum itu, tonggak pencapaian Risnawati mulai terbangun sejak ia masih sangat muda. Kala itu Risnawati baru berusia empat tahun. Virus polio masih menyerang Indonesia, dan ia menjadi salah satu yang terdampak.

Baca Juga: Kisah Risnawati dalam Memperjuangkan Hak Disabilitas (Bagian 2-Selesai)

"Saya mengalami disabilitas sejak usia empat tahun. Karena ada pandemi, tapi sebenarnya menjadi epidemik, karena virus polio hanya menyerang di beberapa wilayah di Indonesia, dan saya kebetulan mendapat infeksi virusnya," tutur Risnawati pada SuaraJogja.id di kantor Perhimpunan OHANA, Jalan Kaliurang, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman.

Di masa itu, listrik hanya tersedia maksimal selama 12 jam sehari di tempat Risnawati tinggal. Ia yakin, karena keterbatasan listrik dan fasilitas umum, vaksin polio tidak tersimpan dengan baik.

Kantor Perhimpunan OHANA milik Risnawati Utami - (Suara.com/Galih Fajar)

Infeksi polio hingga lawan perundungan di sekolah

Pada masa awal-awal terserang polio, Risnawati bersama kedua orang tuanya pun harus naik-turun Wonosari-Kota Jogja untuk akses fisioterapi. Jarak tempuh 45 kilometer dilalui mereka bertiga dengan sepeda motor. Berbagai upaya dilakukan orang tua Risnawati demi mengembalikan kondisi putrinya supaya bisa kembali berjalan dengan kakinya.

"Segala bentuk pengobatan pernah saya rasakan, mulai dari akupuntur, minum jamu, makan bunga kanthil, makan telur mentah, jadi ya itu bagian dari medikalisasi," kata dia.

Baca Juga: Liputan Khusus: Kisah Risnawati dan Perjuangan Hak Disabilitas (Part 1)

Risnawati pun ingat dengan salah satu bentuk pengobatan tradisional yang kini menjadi momen lucu baginya.

Load More