"Saya pikir hambatan utama memang, satu pengetahuan dan kedua adalah budaya institusi yang selama ini harus diubah dulu melihat korban, cara melihat kasus kekerasan seksual, itu harus diubah semua. Itu yang paling berat," terangnya.
Disampaikan Sri, terkait dengan budaya institusi sendiri selama ini memang masih melihat kasus kekerasan seksual itu tidak prioritas. Apalagi jika pelakunya adalah orang yang memiliki posisi di sebuah organisasi atau lembaga.
Contoh kasus adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Dengan adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini baru kemudian orang, terkhusus penyidik akan lebih berani bergerak.
Bahkan memang harus segera ditindaklanjuti sebab ada pemberatan hukuman. Apalagi jika itu dilakukan oleh pihak-pihak yang sebetulnya memiliki kewajiban untuk penanganan.
Baca Juga: Marak Kasus Kejahatan Seksual, Komnas HAM Desak UU TPKS Segera Diterapkan
Jika kemudian ada yang menyulitkan saat proses penanganan juga akan terancam Pasal 19 UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Di sana tertuang aturan pidana bagi orang-orang yang sengaja menghalang-halangi penyelidikan kasus kekerasan seksual.
"Nah saya pikir ini paradigma baru yang mau nggak mau orang harus tahu, kasus harus ditangani secara baik," ucapnya.
Menyoal kendala kapasitas, kata Sri, erat pula kaitannya dengan kasus yang banyak dan perlu penegakan hukum. Sehingga kapasitas orang yang menanganinya pun juga akan sangat terlihat.
Selain itu persoalan anggaran tak bisa dikesampingkan begitu saja. Mengingat UU TPKS disahkan ketika anggaran sudah berjalan.
"Pasti akan ada kesulitan-kesulitan teknis untuk segera penanganan dengan dana yang masih menggunakan dana terbatas dan belum menggunakan anggaran misalnya seperti yang dibutuhkan dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujarnya.
Baca Juga: Komnas HAM: Kekerasan Seksual Jadi Ancaman Serius Bagi Anak-Anak, Polri Harus Terapkan UU TPKS
"Nah itu pasti berpengaruh, kan data itu dibutuhkan untuk penanganan kasusnya, siapa yang menangani secara cepat, jumlah penanganannya, termasuk pengumpulan alat bukti yang sekarang ada forensik bukan hanya visum dan sebagainya. Itu juga berpengaruh terhadap anggaran," sambungnya.
Berita Terkait
-
Kepingan Mosaik Keadilan Reproduksi bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual
-
Menata Ulang Kebijakan Aborsi Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual
-
Ayah dan Paman Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Anak 5 Tahun di Garut, KemenPPPA Minta Hukuman Berat
-
Kecam Aksi Pelecehan Eks Gubes UGM, PKB Desak Gelar Guru Besarnya Dicabut
-
Pemerkosaan di RSHS: Mengurai Benang Kusut Kekerasan Seksual di Indonesia
Tag
Terpopuler
- Marselino Ferdinan Dicoret Patrick Kluivert! Ini 3 Calon Penggantinya di Timnas Indonesia
- 17 HP Xiaomi Ini Tidak Didukung HyperOS 2.1, Ada Perangkatmu?
- Sebut Pegawai Luhut Sosok Asli di Foto Ijazah UGM, Roy Suryo: Saya Pastikan 99,9 Persen Bukan Jokowi
- 8 Kode Redeem FF Hari Ini 14 April 2025 Masih Aktif Siap Dipakai, Klaim Sekarang!
- Ini Syarat Pemutihan Pajak Kendaraan 2025, Warga Jateng Siap-siap Bebas Denda!
Pilihan
-
Piala Dunia U-17 2025: Perlunya Tambahan Pemain Diaspora di Timnas Indonesia U-17
-
Perhatian! Harga Logam Mulia Diprediksi Akan Terus Alami Kenaikan
-
Baru Masuk Indonesia, Xpeng Diramalkan Segera Gulung Tikar
-
Profil Helmy Yahya yang Ditunjuk Dedi Mulyadi jadi Komisaris Independen Bank BJB
-
Aspirasi Tersampaikan, Ini Momen Aksi TPUA di Rumah Jokowi Dikawal Humanis Polresta Solo
Terkini
-
Dana Hibah Pariwisata Sleman Dikorupsi? Bupati Harda Kiswaya Beri Klarifikasi Usai Diperiksa Kejari
-
Empat Kali Lurah di Sleman Tersandung Kasus Tanah Kas Desa, Pengawasan Makin Diperketat
-
Guru Besar UGM: Hapus Kuota Impor AS? Petani Lokal Bisa Mati Kutu
-
Pengukuran 14 Rumah di Lempuyangan Batal, Warga Pasang Badan
-
Dari Tenun Tradisional ke Omzet Ratusan Juta: Berikut Kisah Inspiratif Perempuan Tapanuli Utara