SuaraJogja.id - Kejadian atap sekolah runtuh di SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul yang menewaskan satu orang siswanya menjadi sorotan sejumlah pihak. Tak terkecuali pegiat pendidikan.
Seorang pegiat pendidikan pendidikan ramah anak, Katarina Susi Indreswari mengungkap, sebetulnya pemerintah sudah memiliki banyak kebijakan termasuk juga instrumen penilaian sekolah ramah anak.
Kebijakan dan instrumen yang disusun itu, dalam konteks bukan sekadar sebagai jalur penilaian menuju status Sekolah Ramah Anak. Melainkan dalam rangka mewujudkan lingkungan sekolah yang ramah terhadap anak.
"[Namun] tampaknya perlu ada gerakan-gerakan untuk mengawal apa yang dilakukan pemerintah, di tingkat grassroot. Kitalah yang mengawal apa yang dilakukan pemerintah dengan kebijakan dan macam-macam itu, anggaran juga sudah ada," ujarnya, Rabu (9/11/2022).
Susi menjelaskan, kawalan itu bukan hanya ke level sekolah dan orang tua. Melainkan juga sampai ke desa.
"Karena desa juga wajib memperhatikan sekolah juga ya, dengan anggaran dana desa yang dipunya," tuturnya.
Susi mengatakan, persoalan sekolah ramah anak tidak akan pernah selesai. Namun ketika ada stakeholder yang bisa mengawal perwujudan ramah anak, maka diperlukan sinergi.
Melihat konsep pendidikan ramah anak yang ia ketahui, menurutnya secara umum sekolah di Kabupaten Sleman tidak ramah anak.
"Saya pernah punya instrumen pendidikan ramah anak dan saya ujicobakan di beberapa tempat. Jadi selintas aja udah ketahuan. Yang pertama komposisi anak dengan toilet; bagaimana anak-anak dikejar materi; membawa begitu banyak buku ke sekolah jelas bukan ramah anak juga," sebutnya.
Baca Juga: Sinopsis Film Tegar, Kisah Anak Difabel Mewujudkan Mimpi yang Tayang di Bioskop 24 November
Ia juga mengomentari soal bagaimana anak tidak terlibat dalam pembangunan. Tidak ada suara anak yang dijadikan bahan keputusan dalam program pembangunan. Baik program fisik maupun non fisik.
"Program-program itu juga program komite, program sekolah, program orang dewasa semua. Anaknya gak diajak ngomong, gak diajak ngobrol," ucapnya.
Padahal dengan melibatkan anak dalam perumusan program pembangunan, telah melatih anak-anak untuk berpikir dan mengasah empati mereka. Setidaknya untuk memahami sarana prasarana seperti apa yang ramah untuk dirinya, temannya, gurunya.
"Tapi yang terjadi, program-program sekolah itu program komite, program orang tua. Apa yang dipikirkan orang tua belum tentu sama dengan yang dipikirkan anak-anak kan," terangnya.
"Apalagi untuk anak difabel, blas gak ono ramah-ramahe (sama sekali tidak ada ramah-ramahnya)," imbuh perempuan yang pernah mendampingi DS, -wali murid yang diintimidasi oleh sekolah di Kapanewon Kalasan- ini.
Kontributor : Uli Febriarni
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
Terkini
-
Revisi KUHAP: Dosen UGM Ungkap Potensi Konflik Akibat Pembatasan Akses Advokat
-
5 Rekomendasi Hotel di Penang yang Dekat dengan RS Gleneagles
-
DIY Genjot Sertifikasi Dapur MBG: Cegah Keracunan Massal, Prioritaskan Kesehatan Anak
-
UII Pasang Badan Bela Aktivis: 'Kami Tolak Perburuan Dalang Kerusuhan, Ini Pembungkaman!
-
'Kuburan Demokrasi' Dibuat di UII: Mahasiswa Geram, Tuntut Pembebasan Paul dan Aktivis Lain