Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 10 November 2022 | 10:00 WIB
Ilustrasi kuliner sate dan soto di masa revolusi kemerdekaan. [Suarajogja.id / Ema Rohimah]

SuaraJogja.id - Masih ingat adegan ikonik ratu film horor Suzzanna saat menjelma menjadi hantu sundel bolong yang makan dengan lahap 200 tusuk sate dan sepanci soto?

Nah, bila masih ingat, coba deh tengok jauh ke belakang. Siapa kira duet sate dan soto nyatanya punya peran yang tak kalah ikonik dibanding tampil di film bertajuk Sundel Bolong itu lho. Yap, kedua kuliner itu punya andil dalam panggung sejarah kemerdekaan Indonesia.

Luna Maya memerankan Suzzanna dalam film Suzzanna: Bernafas Dalam Kubur. (Instagram)

Dua kuliner tersebut selain sama-sama terdiri dari huruf S dan T, tercatat turut mengenyangkan hingga jadi bagian dari diplomasi para pejuang selama revolusi kemerdekaan.

Kita mulai ceritanya dari sate dulu.

Baca Juga: 10 November Hari Apa? Pecahnya Pertempuran Besar, Surabaya Hancur Lebur, Ribuan Jiwa Melayang, Hari Pahlawan Ditetapkan

Kuliner yang nyaris digemari semua lidah ini pernah begitu viral ketika pada 10 November 2010 silam namanya diteriakkan oleh Presiden Amerika kala itu, Barack Obama.

Di hadapan sebanyak 6000 undangan yang memenuhi auditorium Universitas Indonesia, Barack Obama berteriak lantang menyebut nama sate dan bakso. Sontak tamu yang hadir bergemuruh menyambut takjub lantaran makanan lokal nusantara disebut si presiden.

Tapi Barack Obama bukanlah presiden pertama yang kepincut sate. Jauh sebelum ia mengenal sate, kuliner yang konon dibawa bersamaan dengan kedatangan para saudagar Arab dan Gujarat itu sudah lebih dulu jadi favorit presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Keintiman Soekarno dengan sate ini diabadikan Cindy Adams lewat biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.

Dari cerita yang diabadikannya, Bung Karno pernah memesan sebanyak 50 tusuk sate ayam sesaat setelah ia terpilih secara aklamasi sebagai presiden pertama Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945.

Baca Juga: Tata Cara Ziarah Kubur ke Makam Pahlawan, Lakukan Pada Tanggal 10 November

Setelah seremoni pengangkatan itu, Soekarno pulang ke kediamannya dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan, sosok yang dijuluki sebagai Bung Besar itu menghampiri tukang sate bertelanjang dada yang sedang menjajakan dagangannya di pinggir jalan.

"Sate ayam 50 tusuk," perintah yang pertama kali keluar dari bibir Soekarno setelah resmi diangkat sebagai Presiden kepada si tukang sate.

Ilustrasi sate - (Unsplash/@akharis)

Dalam mukadimah Azimat gagasan Soekarno yakni Mustika Rasa, juga sempat disebut bagaimana sang proklamator begitu menggemari kuliner sate.

Saat ibu kota berpindah ke Yogyakarta, Soekarno banyak turut campur dalam urusan dapur untuk melancarkan siasat diplomasi meja makannya. Dari sekian menu kuliner nusantara, sate menjadi salah satu yang masuk daftar menu wajib dihidangkan untuk para tamu-tamu asing.

Peran sate sebagai bagian dari taktik kamuflase perjuangan Indonesia selain diterapkan oleh Soekarno nyatanya juga pernah pula dipraktikan oleh para pejuang di Yogyakarta.

Kisah ini dilakukan oleh sekumpulan pejuang Yogyakarta saat meletus Agresi Militer II. Untuk mengelabuhi sergapan para serdadu Belanda, para pejuang menyusun strategi perjuangan lewat kedok warung sate yang letaknya di kawasan Gamelan Kidul, Kraton.

Para pejuang termasuk di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono IX kerap berkunjung ke rumah tersebut dengan berpura-pura jajan sate. Tetapi di balik itu mereka saling berkomunikasi menyusun strategi untuk menumpas penjajah Belanda.

Kekinian rumah yang berkedok warung sate tersebut didirikan monumen serta patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing sebagai penghormatan para pahlawan.

Nah, tak beda dengan sate, kuliner soto ternyata juga turut mengiringi para pejuang selama masa revolusi.

Disarikan dari catatan Denys Lombard dalam Buku Bagian II Nusa Jawa: Silang Budaya, soto merupakan aplikasi turunan dari makanan China yang asal katanya Jao To. Sementara menurut Russel Jones dalam Loanwords in Indonesian-Malay soto berasal dari kata Shao Du.

Jejak soto disebut masuk ke tanah Jawa khususnya sekitar abad ke-19 melalui jalur perdagangan di pesisir utara terutama di Kudus yang kemudian bergerak ke Semarang, Pekalongan hingga mendarat ke Lamongan dan Surabaya.

Ilustrasi Soto Lamongan. (Instagram/@dianaorymaya)

Di Surabaya saat pertempuran 10 November 1945 meletus, soto disebut punya andil tak kalah besar dalam menumpas pasukan Inggris yang ditunggangi NICA.

Mengutip pernyataan sejarawan dan pakar kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, soto kala itu menjadi satu diantara pilihan asupan pangan para pejuang.

Surabaya dan sekitarnya ketika itu sedang dilanda kelaparan hebat akibat perang dan pagebluk. Kuliner soto pun dianggap sebagai menu yang praktis lagi memungkinkan dijangkau oleh para pejuang ketika itu untuk memenuhi asupan protein serta karbohidratnya.

Tak sekadar menjadi bahan bakar untuk mengenyangkan perut, para pedagang soto di Surabaya nyatanya juga turut serta turun ke mandala perjuangan kemerdekaan.

Para pedagang soto ini tergabung dalam Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia atau BPRI yang dibentuk oleh Sutomo atau yang dikenal dengan Bung Tomo.

Pembentukan BPRI diinisiasi oleh Bung Tomo sebagai bentuk kekeceweaan atas situasi di ibu kota Jakarta dimana sekutu dan serdadu Belanda bebas berkeliaran.

BPRI bentukan bung Tomo selain berisi para pedagang soto juga di dalamnya tergabung para rakyat kecil, pedagang makanan lainnya serta tukang becak.

Drama kolosal pementasan pertempuran 10 November di halaman Kantor Bupati Gresik diikuti ratusan ASN pada Minggu (10/11/2019). [Suara.com/Tofan Kumara]

Salah satu aksi BPRI dalam mempertahankan Surabaya dari aneksasi tentara NICA yakni melalui radio perjuangan yang disiarkan dari markas mereka di Jalan Mawar 10 Surabaya.

Lewat siaran radio perjuangan inilah orasi-orasi Bung Tomo disebarluaskan untuk membakar semangat para pejuang yang berpuncak pada tewasnya perwira tinggi Inggris, Brigjen Mallaby.

Load More