Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 02 Maret 2023 | 13:58 WIB
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman - (SuaraJogja.id/HO-dok pribadi)

SuaraJogja.id - Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menyoroti pentingnya Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset untuk segera disahkan. Hal itu menyusul kasus pejabat-pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memiliki harta kekayaan melimpah hingga dipamerkan di media sosial.

Zaenur menuturkan bahwa secara konsep tindak pidana korupsi, illicit enrichment atau peningkatan kekayaan secara tidak sah sampai saat ini bukan merupakan pelanggaran hukum. Hal-hal yang masuk dalam pelanggaran hukum sendiri adalah korupsi, suap, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).


"Tapi illicit enrichment itu bukan tindak pidana atau pelanggaran hukum. Jadi kalau ada penyelenggara negara harta jumbo, rekeningnya gendut ya itu bukan suatu pelanggaran hukum," kata Zaenur kepada awak media, Kamis (2/3/2023).


"Kecuali aparat penegak hukum mempunyai alat bukti yang bisa menunjukkan bahwa penyelenggara negara tersebut melakukan korupsi atau pencucian uang. Nah untuk mencari alat buktinya itu kan tidak mudah," tambahnya.

Baca Juga: 2 Tahun Jabat Wali Kota Solo, Harta Kekayaan Gibran Naik Rp 734 Juta


Sehingga, disampaikan Zaenur, Indonesia sudah wajib hukumnya untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Jika RUU tersebut disahkan maka illicit enrichment dan unexplained wealth atau penambahan harta secara tidak wajar dan tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu harus dibuktikan oleh penyelenggara negara.


"Kekayaan itu harus dibuktikan bahwa diperoleh atau berasal dari perolehan yang sah. Kalau gagal itu kemudian harta tersebut akan disita oleh negara," ujarnya.


RUU Perampasan Aset dinilai akan sangat efektif untuk merampas aset penyelenggara negara yang tidak jelas asal usulnya. Sehingga KPK atau penegak hukum tidak harus mencari alat bukti terlebih dulu bahwa seorang penyelenggara negara itu menerima suap atau tidak.


"Cukup memberi kesempatan pada penyelenggara negara untuk membukti bahwa harta tersebut berasal dari perolehan yang sah. Gagal membuktikan disita untuk negara," imbuhnya.


Padahal, kata Zaenur, Indonesia itu sudah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi. Di dalam konvensi PBB tersebut ada kewajiban bagi negara untuk mengatur illicit enrichment dalam peraturan hukum nasionalnya. 

Baca Juga: Dicecar Wartawan Soal Klarifikasi Harta Kekayaan ke KPK 8,5 Jam, Rafael Alun: Tanyakan ke KPK


"Tapi tidak dilakukan sampai sekarang. Kenapa tidak dilakukan sampai sekarang? Saya sih melihat tidak adanya political will dari pembentuk undang-undang dalam hal ini pemerintah dan DPR karena mungkin mereka mungkin takut ya kalau RUU perampasan aset ini disahkan akan ya mereka bisa menjadi korban pertama," paparnya.


Menurutnya tanpa RUU perampasan aset penegakkan hukum masih akan susah untuk dilakukan. Termasuk untuk menelusuri lebih jauh harta kekayaan yang tidak wajar dari para penyelenggara negara. 


Pihaknya khawatir kasus itu hanya berhenti di Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto saja. Padahal persoalan serupa berpotensi terjadi di banyak kementerian, lembaga hingga daerah yang lain.


"Soal rekening gendut itu dari zaman dulu tidak pernah disentuh karena memang kekurangan instrumen hukum. Sehingga ya tanpa adanya RUU perampasan aset susah sekali bagi Indonesia untuk aset recovery," pungkasnya.

Load More