Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 29 Agustus 2024 | 19:37 WIB
Sosiolog UGM, Arie Sudjito menyampaikan paparan dalam diskusi publik "Kredensial Palsu Sang Guru Besar" di Fisipol UGM, Kamis (29/8/2024). [Kontributor/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Sosiolog UGM, Arie Sudjito menyatakan, saat ini bermunculan profesor-profesor palsu di perguruan tinggi (PT). Masalah ini terjadi akibat beberapa kampus mengobral gelar profesor pada dosennya meski mereka sebenarnya belum kompeten menyandang gelar kehormatan tersebut.

"Profesor harus lahir bukan dari teknokrasi, administrasi, akademik, tetapi dari proses pengetahuan yang dia sebut dengan membumikan pengetahuan, dan harus lahir dari pergulatan di masyarakat," papar Arie dalam diskusi publik "Kredensial Palsu Sang Guru Besar" di Fisipol UGM Yogyakarta, Kamis (29/8/2024).

Arie menyatakan, bukannya menolak pemberian gelar profesor pada dosen, namun mestinya tidak dilakukan tanpa proses akademik. Gelar tersebut mestinya bukan hanya sulapan demi alasan sosial atau ekonomi.

"Kita tidak menolak pemberian gelar Profesor, tapi jangan sampai lahir dari sulapan," tandasnya.

Baca Juga: 129 Juta Orang Indonesia Terjerat Pinjol, Ini Tips Aman dari Pakar UGM

Menurut Arie, intelektualitas sekarang ini mengalami pemudaran dan perubahan. Persoalan ini yang juga kemudian memunculkan profesor palsu atau profesor karbitan karena kedekatan dengan kekuasaan.

Kultur produktivitas pun belum berbanding dengan sikap kritis. Banyak profesor dikukuhkan namun karyanya tidak relevan dengan masyarakat.

[Gelar profesor] hanya untuk menjawab teka teki ekonomi, sosial dirinya sendiri tapi tidak ada tanggungjawab moral pada masyarakat. Ada problem diskoneksi produksi pengetahuan di kampus dengan masyarakat, sehingga karya akademik tidak selalu relevan dengan kebutuhan masyarakat," tandasnya.

Sementara Dosen Filsafat UGM, Agus Wahyudi mengungkapkan  kredensial atau proses formal profesor di Indonesia saat ini tengah jadi sorotan. Beberapa kasus pembatalan gelar profesor dilakukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) beberapa waktu lalu. 

"Jabatan profesor seharusnya mencerminkan keunggulan akademik, namun dalam kenyataannya, sering kali nilai-nilai ini tidak sepenuhnya tercermin dalam proses seleksinya," ungkapnya.

Baca Juga: Tak Ingin Demokrasi Diacak-acak, Ratusan Mahasiswa dan Dosen UGM Nyalakan Lilin di Bawah Pohon Pengetahuan

Padahal untuk mengurus proses penetapan sebagai guru besar, lanjut Agus bukan perkara mudah. Kondisi ini pun seringkali diakali kampus dengan jalan pintas.

"Kampus dengan mudah mengangkat gubes meski etos akademik tidak bertumbuh di kampus," paparnya.

Dosen Teknik Mesin UGM, Deendarlianto, menambahkan, profesor mestinya memiliki kualitas penelitian yang tinggi. Hasilnya juga harus bisa diterapkan dalam praktik karena memiliki standar etika yang tinggi. 

"Seorang profesor harus unggul dalam menghasilkan publikasi ilmiah, prototipe, hak kekayaan intelektual, dan kontribusi bagi masyarakat," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More