Ia menegaskan, RSA UGM berkomitmen menjaga tiga koridor penting dalam pendidikan kedokteran di antaranya, etika, norma, dan hukum. Semua residen diharapkan tumbuh tidak hanya sebagai dokter ahli, tetapi juga pribadi yang bermartabat bagi seluruh masyarakat.
Dengan berbagai pendekatan preventif dan sistem pengawasan berlapis, RSA UGM berharap bisa menciptakan ruang pendidikan medis yang aman dan berintegritas. Sehingga dapat terus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap dunia kesehatan.
"Etika dan norma kita jaga lewat SOP dan teladan. Kalau hukum ya kita serahkan pada aparat. Yang jelas, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai itu sejak awal," pungkasnya.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Terpisah, aktivis dari Jakarta Feminist, Anindya Restuviani, menilai dua kasus kekerasan seksual oleh dokter sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, pelaku memanipulasi profesinya demi kepentingan pribadi.
"Ini adalah abuse of power," kata Vivi, sapaan akrab Anindya, kepada Suara.com, Kamis (17/4/2025).
"Kita mau bilang, 'kayaknya prosedurnya enggak gini deh', tapi nanti dokternya ngeles, pakai alasan-alasan medis."
Bagi Vivi, situasi ini tak bisa dianggap sepele. Kekerasan seksual yang dilakukan tenaga kesehatan bisa membuat banyak perempuan semakin takut mengakses layanan medis.
Terutama layanan terkait kesehatan reproduksi yang sejak awal kerap disertai stigma.
Baca Juga: UGM Bentuk Tim Periksa Pelanggar Disiplin Kepegawaian Gubes Farmasi Terkait Kasus Kekerasan Seksual
"Enggak sedikit perempuan yang dipermalukan secara verbal waktu periksa. Komentar-komentar yang merendahkan itu nyata," ujar Vivi.
"Dan kasus kayak gini bikin perempuan mikir dua kali sebelum datang ke dokter."
Lebih jauh, kata Vivi, ini bukan cuma soal trauma korban. Tapi juga soal hilangnya hak perempuan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang aman dan manusiawi.
Bahkan, menurutnya, pelaku laki-laki seperti dalam kasus Priguna dan Syafril memunculkan stereotip baru yang semakin memberatkan perempuan.
"Bebannya panjang. Enggak cuma buat korban langsung, tapi juga perempuan lain yang jadi takut ke dokter," ucapnya.
Vivi menyebut dua kasus itu bukan kejadian baru. Ia percaya ini hanya puncak dari fenomena gunung es tanda bahwa ruang publik, termasuk fasilitas kesehatan, belum benar-benar aman bagi perempuan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Calon Pelatih Indonesia John Herdman Ngaku Dapat Tawaran Timnas tapi Harus Izin Istri
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
Pilihan
-
4 Tablet RAM 8 GB dengan Slot SIM Card Termurah untuk Penunjang Produktivitas Pekerja Mobile
-
3 Fakta Perih Usai Timnas Indonesia U-22 Gagal Total di SEA Games 2025
-
CERPEN: Catatan Krisis Demokrasi Negeri Konoha di Meja Kantin
-
CERPEN: Liak
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
Terkini
-
BRI Perkuat Pemerataan Ekonomi Lewat AgenBRILink di Perbatasan, Seperti Muhammad Yusuf di Sebatik
-
Liburan Akhir Tahun di Jogja? Ini 5 Surga Mie Ayam yang Wajib Masuk Daftar Kulineranmu!
-
Jelang Libur Nataru, Pemkab Sleman Pastikan Stok dan Harga Pangan Masih Terkendali
-
Waduh! Ratusan Kilometer Jalan di Sleman Masih Rusak Ringan hingga Berat
-
Dishub Sleman Sikat Jip Wisata Merapi: 21 Armada Dilarang Angkut Turis Sebelum Diperbaiki