Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 20 April 2025 | 20:46 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual [Suara.com/Antara]

SuaraJogja.id - Pemda DIY akhirnya mendapatkan kejelasan terkait kasus kekerasan seksual yang melibatkan salah seorang guru besar (gubes) Fakultas Farmasi UGM.

Ada sejumlah keputusan yang disampaikan Satgas Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati Sumardi di Yogyakarta, Minggu (20/4/2025) menyatakan, dari keterangan UGM, para korban kekerasan tidak akan melanjutkan proses hukum kasus tersebut.

"Para korban sebagian besar mahasiswi yang tidak ingin kuliahnya terganggu. UGM sudah menyampaikan jika mereka ingin menempuh jalur hukum, kampus siap mendampingi. Namun, setelah dijelaskan tahapan hukum dan dilakukan diskusi bersama, para korban memutuskan tidak melanjutkan karena merasa cukup dengan sanksi yang diberikan UGM," ujarnya.

Baca Juga: Soroti Maraknya Kasus Kekerasan Seksual Dokter Spesialis, RSA UGM Perkuat Etika dan Pengawasan

Erlina menyebutkan, ada sekitar 12 orang mahasiswi yang jadi korban gubes UGM. Selain itu ada satu orang yang menjadi saksi kasus tersebut.

Saat ini UGM sudah menangani kasus tersebut secara internal. Proses penanganan pun dinilai sudah sesuai prinsip perlindungan korban.

"Sudah ditangani dengan baik oleh pihak UGM. Jumlah korban sebanyak 12 orang dan satu saksi, semuanya telah ditangani secara internal. Dari 2023 hingga 2024, total korban berjumlah 12 orang," jelasnya.

Erlina menjelaskan, tidak berlanjutnya proses hukum karena para korban merasa telah mendapatkan keadilan. Di antaranya sanksi administratif yang dijatuhkan UGM pada gubes tersebut.

Sanksi tersebut dianggap adil bagi para korban, apalagi sudah ada pendampingan psikologis kepada mereka.

Baca Juga: Tak Puas dengan Pembuktian UGM, Massa TPUA Segera Sambangi Jokowi di Solo

Para korban juga tidak ingin dikorek identitasnya. UGM pun tidak menutup-nutupi kasus ini dan tetap menghargai keputusan serta kenyamanan korban.

"UGM sangat menghargai keputusan para korban. Mereka paham korban ingin hidupnya kembali tenang dan fokus menyelesaikan pendidikan, dan itu terus didampingi pihak kampus," tandasnya.

Meski kasus tak diteruskan, lanjut Erlina, UGM tengah menyusun kebijakan baru untuk mencegah kekerasan seksual di tingkat kampus.

Di antaranya membuat bentuk buku saku yang nantinya dibagikan kepada seluruh mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan.

Selain itu UGM juga menerapkan sejumlah aturan untuk mengantisipasi kekerasan seksual. Sebut saja larangan kegiatan akademik di rumah pribadi.

Larangan itu diberlakukan karena selama ini dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi, modus bimbingan kuliah secara pribadi di rumah dilakukan pelaku.

"Aturan lain sudah ada, misalnya proses akademi tidak boleh dilakukan di rumah dan sebagainya. Modusnya kebanyakan bisa dikatakan begitu modusnya bimbingan dilakukan dikediamannya," paparnya.

Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi saat bertemu rektorat UGM, mengungkapkan kampus itu dinilai cepat dalam menangani kasus kekerasan seksual tersebut.

Di antaranya menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian pelaku dari jabatan dosen dan telah melayangkan surat kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk proses penjatuhan sanksi disiplin sebagai ASN.

Satgas PPKS UGM juga telah mendampingi para korban serta melakukan penyelidikan terhadap saksi dan terlapor.

Arifah berharap kasus UGM dapat menjadi pembelajaran dan praktik baik bagi kampus-kampus lain.

Terpisah Sekretaris UGM, Andi Sandi bilang status PNS dan guru besar yang bersangkutan masih diproses. Pemeriksaan tengah dilakukan oleh tim yang dibentuk untuk mengurus status kepegawaian itu.

Apalagi yang bersangkutan masih berstatus PNS dan guru besar hingga sekarang.

"Dari aspek legal kita perlu lihat ya, kan ada asas praduga tak bersalah. Jadi sampai terbukti dia terbalik baru hak dan kewajibannya diberhentikan," kata Andi Sandi.

Disampaikan Andi Sandi, sebelum ada putusan yang final dan berkuatan hukum tetap hak berupa gaji itu tetap akan diterima.

"Tanpa ada putusan in krah atau yang final kemudian terus kita menghapuskan hak dan kewajiban seseorang, dia akan bisa menggugat kami," ungkapnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More