SuaraJogja.id - Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM Dede Puji Setiono menyoroti marak praktik joki dan tindakan curang yang dilakukan peserta calon mahasiswa baru dalam penyelenggaraan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).
Dede lantas membandingkan dengan hasil survei nilai Indeks Integritas Pendidikan tahun 2024 pada pekan lalu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nilai Indeks Integritas Pendidikan tahun 2024 ada di angka 69,50, atau berada di level Korektif.
Di sisi lain, Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan 30 persen guru dan dosen masih menganggap wajar pemberian dari peserta didik mereka.
Temuan survei tersebut masih menjadi bukti terjadinya gratifikasi dan konflik kepentingan di ruang kelas mulai dari pendidikan dasar sampai jenjang perguruan tinggi.
"Jika kita mau jujur, ini bukan sekadar masalah angka, melainkan pertanda bahwa nilai-nilai integritas masih kalah saing dengan budaya 'yang penting kelar'. Tetapi, sebagai akademisi, saya juga melihat ini sebagai kesempatan untuk merevitalisasi sistem," kata Dede, Minggu (4/5/2025).
Dede menilai indeks integritas pendidikan di angka 69,50 menjadi peringatan dan perhatian semua pemangku kepentingan.
Baik lembaga pendidikan, pemerintah maupun bagi kalangan tenaga pengajar.
Pasalnya kondisi ini cermin dari sistem pendidikan yang menurutnya terjebak antara idealisme dan realitas pragmatis dalam membentuk SDM yang berkualitas dan berintegritas.
Baca Juga: Kantor Wakil Rakyat Dikunci, Aspirasi Pendidikan Terkunci? Hardiknas Berujung Ricuh di Yogyakarta
Berdasarkan hasil survei KPK tersebut, Dede mengusulkan Kemendikti Saintek dan Kemendikdasmen untuk pentingnya merancang program integritas berbasis bukti.
Misalnya, memasukkan modul anti-korupsi dalam kurikulum pelatihan guru atau membuat sistem penghargaan bagi sekolah yang transparan.
Ada tantangan terbesar lain yakni mengubah narasi bahwa 'kejujuran itu mahal'.
Tak jarang masih ada di sekolah, siswa jujur sering dianggap naif, sementara yang curang dipuji sebagai 'pintar mencari celah'.
Menurutnya, anggapan ini adalah kegagalan sistem evaluasi yang terlalu kaku.
Apalagi ujian nasional atau ujian ujian sejenis yang sifatnya menguji hafalan tanpa critical thinking.
Berita Terkait
Terpopuler
- Skincare Reza Gladys Dinyatakan Ilegal, Fitri Salhuteru Tampilkan Surat Keterangan Notifikasi BPOM
- Roy Suryo Desak Kejari Jaksel Tangkap Silfester Matutina: Kalau Sudah Inkrah, Harus Dieksekusi!
- Bukan Jay Idzes, Pemain Keturunan Indonesia Resmi Gabung ke AC Milan Dikontrak 1 Tahun
- 3 Klub yang Dirumorkan Rekrut Thom Haye, Berlabuh Kemana?
- Selamat Datang Jay Idzes! Klub Turin Buka Pintu untuk Kapten Timnas Indonesia
Pilihan
-
Dirut Food Station Tersangka Tapi Beras Oplosan Terlanjur Beredar, Pramono Serukan Penarikan
-
Gegabah Blokir Rekening, Masyarakat Panik: Duit Saya Enggak Bisa Diakses
-
Tak Larang Warga Pasang Bendera One Piece, Wali Kota Solo: Keren dan Apik!
-
BREAKING NEWS! Duel Persija Jakarta vs Persib Dilarang Pakai JIS, Ini Penyebabnya
-
Riduan Naik Jadi Dirut Bank Mandiri, Intip Rekam Jejaknya
Terkini
-
Aksi Nekat Maling Sasar SD di Sleman, Uang Puluhan Juta Lenyap! Polisi Turun Tangan
-
Borobudur Dipakai Promosi Jogja? Blunder Dinas Pariwisata Bikin Geleng-Geleng Kepala
-
Mulai Agustus 2025: Pelajar Gunungkidul Bisa Cek Kesehatan Gratis! Ini Targetnya
-
APBD Siap Mengalir: Sekolah Rakyat Sleman Gunakan Tanah Kas Desa, Ini Detailnya
-
Bupati Utamakan Kesehatan Warga, Sebagian APBD Perubahan Bantul Dialokasikan untuk Biaya BPJS