Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 04 Mei 2025 | 15:27 WIB
Potret mahasiswa yang sudah diwisuda. (Pixabay)

Padahal, Dede mengambil contoh negara lain, seperti Finlandia misalnya, sudah membuktikan bahwa kurikulum fleksibel dan minim ujian standar justru melahirkan generasi kreatif.

Tidak hanya di lingkungan sekolah, imbuhnya, di lingkungan kampus juga marak praktik gratifikasi dan nepotisme. Untuk mencegah dan mengatasi praktik ini, ada sebaiknya membuat kebijakan yang lebih radikal.

Salah satunya, pihak kampus harus mempublikasikan rincian anggaran secara real-time di platform daring sehingga masyarakat tahu tarif dan biaya di setiap layanan.

Selanjutnya untuk sistem pengadaan barang harus melibatkan auditor independen, bukan sekadar panitia internal yang bisa diatur.

Baca Juga: Kantor Wakil Rakyat Dikunci, Aspirasi Pendidikan Terkunci? Hardiknas Berujung Ricuh di Yogyakarta

Sudah saatnya kampus menerapkan prinsip 'blind selection' dalam rekrutmen vendor atau staf secara lebih serius. Nama perusahaan dan pemiliknya disembunyikan saat penilaian proposal.

"Dengan begitu, 'koneksi' tak lagi jadi senjata utama dan yang terpenting, sanksi! Rektor atau kepala sekolah yang terbukti nepotisme harus dicabut jabatannya, bukan hanya diberi teguran," kata dia.

Apabila seluruh kebijakan radikal ini dibuat, Dede berharap sekolah dan kampus Indonesia bisa menjadi laboratorium integritas.

"Untuk mencapainya, kita perlu revolusi mindset. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi pembentuk karakter. Kurikulum harus diperbaiki, kurangi jam hafalan, tambahkan proyek sosial yang melatih empati dan kejujuran. Dan yang utama, jadikan integritas sebagai investasi, bukan beban," ujar dia.

Baca Juga: Kemarau 2025 Lebih Singkat dari Tahun Lalu? Ini Prediksi BMKG dan Dampaknya

Load More