Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 07 Mei 2025 | 20:54 WIB
Sejumlah tenaga medis di DIY dari berbagai disiplin ilmu mengikuti doa bersama yang digelar di Rooftop RS Akademik UGM, Rabu (7/5/2025) siang. [Hiskia/Suarajogja]

Diakui Darwito, pihaknya tak bisa melawan kebijakan tersebut secara terbuka.

Apalagi dengan suara dari tenaga medis yang kerap tak diindahkan.

Pria yang juga merupakan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) DIY itu bilang sudah ada dua dokter spesialis yang menjadi korban mutasi mendadak itu. Seorang dokter anak dan seorang obgyn.

"Iya mendadak dan itu prihatin. Tapi sekali kita biarkan, kita nggak bisa apa-apa, suara nggak didengarkan, ya sudah kita lewat doa," ungkapnya.

Baca Juga: Soal Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Kemenkes Pastikan Tak Persulit Warga, Termasuk di Pedalaman

Ia juga menyebut kebijakan semacam ini dapat ditafsirkan secara luas. Termasuk potensi sebagai alat tekanan, bahkan intimidasi terhadap dokter.

Darwito dan kolega khawatir pemindahan tugas secara sewenang-wenang itu masih akan terjadi ke depan. Tidak hanya pada spesialis anak melainkan semua dokter lain.

"Bisa ahli bedah, bisa THT, bisa siapapun, di bawah tekanan, ibaratnya 'kalau kamu nggak manut, maka akan saya pindah' gitu. Bagaimana bisa bekerja jika diancam dengan kepindahan itu," tandasnya.

"Namanya pindah itu adalah bagaimana ngurus anak, ngurus istri, ngurus rumah, dan yang lain kan, yang paling besar adalah bagaimana menyesuaikan suasana kerja. Itu yang akan bikin stres, kan kasihan," imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI DIY Joko Murdiyanto menegaskan bahwa praktik ini bukan hanya menyakiti individu dokter, melainkan juga mencederai martabat profesi kedokteran.

Baca Juga: Tukar Rokok dengan Telur: Solusi Gizi Keluarga dan Cegah Stunting

Ia mengingatkan bahwa dokter bukanlah alat birokrasi yang bisa dipindahkan sesuka hati.

Load More