Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 14 Mei 2025 | 21:55 WIB
Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Sleman, Imam Nawawi saat ditemui di kantornya, Rabu (14/5/2025). [Hiskia/Suarajogja]

SuaraJogja.id - Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Sleman, Imam Nawawi menegaskan bahwa lembaganya telah menjalankan seluruh proses administrasi sesuai standar operasional prosedur (SOP) dalam kasus dugaan mafia tanah menimpa seorang guru honorer di Sleman, Hedi Ludiman (49) dan istrinya, Evi Fatimah (38).

Imam turut memastikan tidak ada pegawai BPN yang terlibat dalam praktik-praktik menyimpang dalam proses peralihan hak atas tanah yang disengketakan tersebut.

"Ya [sesuai SOP]. Sebenarnya dulu mungkin sudah ya [investigasi] tapi ini kalau kita lihat, ini kan ada di luar ya, ada di luar [BPN]. Sepertinya teman-teman kita, kemungkinan ya, dugaan saya enggak ada yang terlibat," kata Imam saat ditemui di kantornya, Rabu (14/5/2025).

Disampaikan Imam, bahwa seluruh prosedur administrasi di BPN berjalan berdasarkan pemenuhan syarat formil dan dokumen legal yang sah.

Baca Juga: Guru Honorer Mengadu ke Pemkab Sleman Soal Mafia Tanah, Bupati Harda: Saya akan Dampingi

Misalnya seperti akta waris, akta jual beli, maupun risalah lelang resmi.

"BPN sepanjang syarat administrasi, syarat formil terpenuhi untuk peralihan hak, BPN enggak punya hak menguji ini bener atau enggak, ini dipalsukan atau enggak, karena bukan kewenangan BPN," tegasnya.

Imam memaparkan tanah bersengketa itu awalnya berasal dari warisan yang turun kepada Evi.

Namun, permasalahan muncul usai tanah tersebut diagunkan ke bank.

Hingga akhirnya dilelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atas permohonan dari bank dengan alasan kredit macet.

Baca Juga: Sertifikat Digadai, Rumah Dilelang: Kisah Pilu Guru Honorer Sleman Dibekuk Mafia Tanah

"Dari awal dulu 2011, itu memang terikat atas nama Evi, yang perolehannya karena waris. Kemudian diagunkan, akhirnya ada lelang," jelasnya.

Menurut Imam, pada saat lelang berlangsung, tidak ada catatan blokir yang aktif.

Sebab masa blokir dari kepolisian hanya berlaku selama 30 hari dan telah berakhir.

Selain itu, semua berkas telah dinyatakan lengkap, termasuk risalah lelang yang diterbitkan pejabat resmi dari KPKNL.

"Karena berdasarkan ketentuan, blokir kan hanya berlaku 30 hari. Itu karena memang ketentuan," ucapnya.

"Jadi administrasi sudah terpenuhi, sehingga pencatatan kami tidak ada alasan untuk menolak, untuk mencatat atas lelang tersebut," tambahnya.

Imam menambahkan, pengembalian hak atas tanah kepada pemilik awal seperti yang dialami Evi harus melalui proses hukum yang sah.

Tidak bisa serta-merta berdasarkan keputusan pidana dan sudah ada pula terpindana.

"Untuk kembali ke pemegang hak atas tanah, kita landaskan pada putusan pengadilan. Bisa nanti misalnya gugatan PTUN atau gugatan perdata," ujarnya.

Terkait dugaan penipuan yang menyebabkan perpindahan kepemilikan, Imam menyebut hal tersebut merupakan ranah pidana yang sudah menjadi kewenangan pihak kepolisian.

Dalam hal ini, Imam bilang hanya ada dua langkah yang bisa ditempuh oleh Hedi dan Evi.

Pertama melalui musyawarah mufakat dengan pihak ketiga delaku pemegang hak baru.

"Mungkin dengan pemegang hak baru, barangkali ya, pemegang hak baru yang memperoleh dari lelang itu bisa diajak damai, karena sekali lagi melihat mungkin dari sisi kemanusiaan, ini Ibu Evi menjadi korban," tuturnya.

"Pihak yang lelang ini itikadnya kan baik juga. Beli karena lelang. Dia itikadnya baik. Itu pun harus kita lindungi. Negara harus melindungi," sambungnya.

Jalur damai melalui musyawarah mufakat dan kesepakatan antara pihak ketiga dan Evi itu bisa menjadi opsi.

Namun ketika jalan itu tak bisa dilalui, maka langkah hukum yang memang harus ditempuh oleh Evi.

Pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini Evi, bisa menempuh jalur hukum perdata atau PTUN untuk membatalkan peralihan hak atas tanah tersebut.

"Kalau tidak ya tentu karena negara kita negara hukum, ya proses hukum lah yang kita harus kedepankan," ujarnya

"Mestinya dulu mengajukan dari dasarkan pidana tadi, mengajukan gugatan perdata atau PTUN untuk membatalkan peralihan," tambahnya.

Sebelumnya, Hedi bilang sempat menempuh jalur perdata untuk menggugat SJ, SH, dan pihak bank ke PN Sleman.

Namun, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijk Verklaard (NO).

Hedi bilang salinan putusan itu bermasalah karena berisi gugatan orang lain.

Tak lama kemudian, pengacara Hedi mengundurkan diri. Laporan ke Ditreskrimsus Polda DIY pun berakhir dengan SP3.

Hal itu menyebabkan meski SH telah dipidana, sertifikat tanahnya tak kunjung kembali.

"Tidak ada [putusan sertifikat kembali], kan NO. Pengacara juga lari, saya mencari pengacaranya tidak berani kalau banding ini," ucap Hedi.

Load More