Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 18 Mei 2025 | 09:55 WIB
Ismail Alamsyah saat berbincang-bincang di Polda DIY, Kamis (15/5/2025). [Hiskia/suarajogja]

Ismail mulai menyadari kesalahan langkahnya setelah peristiwa kerusuhan oleh napiter di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat 2018 silam. Ia mempertanyakan arah perjuangan kelompoknya.

"Saya sadar, ketika peristiwa mako [Brimob], kok begini, janji mau ke Syam [Suriah], tapi kok gini," kenangnya.

Ditambah aksi teror bom gereja di Surabaya yang melibatkan satu keluarga dan mengakibatkan belasan orang tewas.

Kedua peristiwa ini memicu respons dari pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Anti-terorisme, yang kemudian disahkan pada 25 Mei 2018.

Baca Juga: UGM Digugat Rp1.069 Triliun Soal Ijazah Jokowi, Rupiah Bisa Jadi Rp20 Ribu?

Pada saat itulah, Ismail pun ikut ditangkap sebagai bagian dari kelompok yang dianggap radikal.

"2018 itu baru akhirnya pemerintah memutuskan untuk menangkap seakar-akarnya kelompok ini [JAD], termasuk saya juga tertangkap," ungkapnya.

Ia divonis dua tahun penjara.

Kesadarannya makin kuat ketika menjalani masa tahanan di Lapas Gunung Sindur. Ia mulai melihat sisi-sisi lain dari kelompoknya dan tak melihat ada kesesuaian lagi.

Titik baliknya saat Ismail mendapat tekanan dari sesama tahanan yang berasal dari kelompoknya, karena menyapa petugas lapas dengan salam.

Baca Juga: Berbah Sleman Akhirnya segera Punya SMA Negeri, Warga Tak Perlu Sekolah ke Kecamatan Lain

Sebenarnya dia sudah sejak lama ingin keluar dari lingkaran itu. Namun Ismail sempat takut dilabeli kafir dan merasa tidak enak oleh sesama anggota kelompoknya.

Namun akhirnya, akal sehat mengalahkan ketakutan itu.

Di dalam ruang tahanan itulah, Ismail mulai berpikir lebih rasional dan akhirnya berikrar setia kepada NKRI.

"Pakai akal saja sudah, agama itu kan pakai akal. Kita tidak bisa ambil satu ayat saja. Ketika ayat itu untuk menguntungkan kita diambil seenak-enaknya," ucapnya.

"Jangan ada kata enggak enak di hati, ketika akal sudah berbicara, keluar aja," imbuhnya.

Ia menyadari banyak yang terjebak dalam pemahaman ekstrem dan radikal sebab kondisi ekonomi mencekik dan keterbatasan pendidikan.

Load More