Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 31 Mei 2025 | 15:46 WIB
Kuasa hukum Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji, Adi Susanto (kiri) dan Dwi Yudha Danu selaku Ketua Yayasan Ponpes Ora Aji (kanan), saat memberikan keterangan kepada wartawan, Sabtu (31/5/2025). [Hiskia/Suarajogja]

SuaraJogja.id - Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji yang dimiliki Gus Miftah membantah segala tuduhan soal dugaan penganiayaan yang menimpa salah satu santri mereka.

Mereka menyebut peristiwa yang terjadi hanyalah bentuk spontanitas antar-santri yang merasa menjadi korban pencurian.

"Bahwa yang perlu kita tekankan adalah sebagaimana yang tersebar di media selama ini kita pastikan ya, atas nama yayasan menyanggah soal adanya penganiayaan itu," kata Adi Susanto, selaku kuasa hukum Yayasan Ponpes Ora Aji, kepada wartawan, Sabtu (31/5/2025).

Adi menjelaskan bahwa kasus bermula dari keresahan para santri atas maraknya aksi vandalisme dan pencurian yang tak kunjung terungkap pelakunya.

Ketegangan memuncak saat para santri memergoki korban KDR (23) menjual air galon milik usaha pesantren tanpa seizin pengurus.

Usai aksinya didapati oleh santri lain, KDR mengakui bahwa ia telah menjual galon tanpa sepengetahuan pengurus selama hampir satu minggu.

Pengakuan itu lantas memicu pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang kemudian menjalar ke dugaan pencurian lainnya.

"Nah, yang bersangkutan mengakui bahwa dialah [KDR] yang melakukan pencurian selama ini. Ada di santri yang bernama si A Rp700 ribu, santri yang bernama si B Rp50 ribu dan segala macam," tuturnya.

Ia menekankan bahwa kontak fisik atau tindakan yang dianggap sebagai kekerasan atau penganiayaan itu terjadi setelah KDR mengakui pencurian tersebut.

Baca Juga: Santri Disiksa di Ponpes Gus Miftah: Diduga Dianiaya 13 Orang, Alami Trauma

Semua dilakukan oleh sesama santri, tanpa keterlibatan pengurus pondok.

"Jadi kalau yang diframing di sebelah itu kan terjadi karena didesak untuk mengaku. Nah, versi kami ya klien-klien kami mengatakan bahwa itu sudah diakui sebelumnya," jelasnya.

"Sekali lagi kami atas nama pondok pesantren membantahlah bahasa framing penganiayaan pengeroyokan itu tidak terjadi, tidak sedramatis itu. Peristiwanya tidak seperti itu," imbuhnya.

Menurut Adi, kontak fisik itu murni terjadi laiknya teman-teman santri yang selama ini beraktivitas bersama.

Selain itu, Adi menyebut korban tidak dikeroyok oleh para santri melainkan hanya dilakukan orang per orang saja atau perwakilan santri.

"Jadi hanya itu saja. Tidak ada niatan untuk sampai mencelakai dan segala macam. Itu enggak ada," ucapnya.

Adi mengakui sempat terjadi kontak fisik antara KDR dan 13 orang lainnya. Namun, menurutnya, kejadian itu terjadi secara spontan saja.

Maksud dan tujuannya sebagai bentuk teguran moral antar santri, dan tidak dapat disebut sebagai tindakan pengeroyokan.

Ia menilai narasi bahwa korban diikat, disetrum, dan dicambuk dengan selang terlalu dilebih-lebihkan.

Kasus itu mencuat setelah korban KDR kemudian dijemput oleh sang kakak dan meninggalkan ponpes.

"Nah, dari sejak saat itu kita sudah tidak ada lagi komunikasi sampai tiba-tiba muncul yang namanya laporan di Polsek Kalasan," ujarnya.

Saat ini, disampaikan Adi, 13 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu masih berstatus sebagai santri di ponpes asuhan Gus Miftah itu.

Sementara korban KDR sudah tidak berada di ponpes lagi usai kejadian itu.

Mediasi Gagal

Adi bilang yayasan telah berusaha memfasilitasi perdamaian antara korban KDR dan para santri yang merasa dirugikan.

Namun, upaya tersebut gagal karena pihak keluarga korban menuntut kompensasi dalam jumlah besar.

"Nah, yang membuat mediasi itu menjadi gagal pada akhirnya itu dikarenakan permintaan kompensasi atau tuntutan kompensasi dari keluarga saudara [KDR] ini yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh santri," kata Adi.

Menurutnya, nominal yang diminta keluarga tak mungkin dipenuhi oleh para santri yang mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu.

Sebagai alternatif, yayasan sempat menawarkan bantuan senilai Rp20 juta untuk pengobatan, namun tawaran itu ditolak.

"Tapi sekali lagi itu tidak pernah bisa diterima sampai akhirnya upaya mediasi berulang kali itu menjadi gagal, gagal dan gagal," ujarnya.

Load More