SuaraJogja.id - Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sleman, Epiphana Kristiyani, mengungkapkan bahwa pengelolaan sampah di wilayahnya masih jauh dari kata tuntas.
Catatan dari DLH Sleman, hingga saat ini, dari total timbulan sampah harian sebanyak 602 ton di Bumi Sembada, baru 22 persen saja yang berhasil diolah.
"Kita masih punya permasalahan yang sebetulnya saya tidak bisa tutupin. Permasalahan pengolahan sampah kita dengan timbulan sampah yang dihasilkan itu kita baru bisa mengolah 22 persen," kata Epi saat ditemui di Gedung Serba Guna Sleman, Senin (30/6/2025).
Disampaikan Epiphana, angka 22 persen itu berasal dari dua Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang kini sudah beroperasi, yakni di Sendangsaari dan Tamanmartani.
Jumlah itu bahkan sudah termasuk kontribusi masyarakat yang ikut memilah dan mengelola sampah secara mandiri di sejumlah lokasi. Angka itu tidak termasuk sampah yang keluar ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan.
Meski demikian, ia menekankan bahwa Pemerintah Kabupaten Sleman telah banyak melakukan terobosan. Mulai dari pengembangan kampung iklim dan kampung hijau, hingga dukungan terhadap inovator tentang pengolahan sampah.
Epi tak menampik memang semua upaya itu belum untuk mengatasi keseluruhan persoalan sampah. Diperlukan keterlibatan aktif masyarakat.
Ia mendorong warga Sleman untuk ikut gotong royong dan membangun budaya memilah serta mengelola sampah dari rumah.
"Artinya ini kan menjadi tantangan bagi kita semua, di Sleman itu banyak orang pintar. Tapi apa yang menyebabkan itu? Kenapa kok kita tidak bisa bersama-sama? Tapi saya yakin kok, bukan kita tidak bisa nanti mengolah sampah itu. Tetapi ya ini hanya kita perlu bersama-sama," ucapnya.
Baca Juga: Aksi Kecil untuk Lingkungan, Ini Cara Onthelis Jogja Peduli Sampah di Tengah Momen Liburan
Menurut Epi dengan lingkungan yang bersih bakal berdampak penting untuk kemajuan Kabupaten Sleman.
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bergerak bersama-sama.
Dia mengingatkan bahwa tumpukan sampah bukan sekadar masalah estetika. Lebih dari itu juga dapat memicu berbagai penyakit.
"Coba bayangkan kalau di lingkungan kita banyak, sampah. Itu menjadi tempat berkembangnya faktor penyakit. Ada leptospirosis dari tikus, ada mungkin covid, entah nanti menjadi covid bukan 19, tapi covid berapa lagi. Padahal tahu kalau bakteri virus itu, waduh adaptasi itu cara paling bagus," ungkapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
Roy Suryo Ikut 'Diseret' ke Skandal Pemalsuan Dokumen Pemain Naturalisasi Malaysia
-
Harga Emas Hari Ini: Antam Naik Lagi Jadi Rp 2.338.000, UBS di Pegadaian Cetak Rekor!
-
Puluhan Siswa SD di Agam Diduga Keracunan MBG, Sekda: Dapurnya Sama!
-
Bernardo Tavares Cabut! Krisis Finansial PSM Makassar Tak Kunjung Selesai
-
Ada Adrian Wibowo! Ini Daftar Pemain Timnas Indonesia U-23 Menuju TC SEA Games 2025
Terkini
-
SaveFrom vs SocialPlug Download Speed Comparison: A Comprehensive Analysis
-
Kunjungan ke UGM, Megawati Ragukan Data Sejarah Penjajahan dan Jumlah Pulau Indonesia
-
Bukan Sekadar Antar Jemput: Bus Sekolah Inklusif Kulon Progo Dilengkapi Pelatihan Bahasa Isyarat
-
Maxride Bikin Bingung, Motor Pribadi Jadi Angkutan Umum? Nasibnya di Tangan Kabupaten/Kota
-
Megawati ke UGM: Soroti Biodiversitas dan Masa Depan Berkelanjutan