SuaraJogja.id - Penulisan ulang sejarah nasional yang saat ini sedang digarap Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) dinilai tergesa-gesa dan sarat intervensi politik.
Menurut Sejarawan Asvi Warman Adam, proses yang ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025 itu jauh lebih cepat dibanding proyek-proyek serupa di masa lalu, yang memakan waktu bertahun-tahun.
Ia kemudian mencontohkannya dengan penulisan Sejarah Nasional Indonesia atau SNI pun Indonesia Dalam Arus Sejarah, kedua proyek tersebut membutuhkan waktu sampai dua tahun untuk mengerjakannya.
"Nah ini kan begitu cepat, targetnya 17 Agustus tahun ini sebagai kado 80 tahun Indonesia Merdeka. Ini jelas sesuatu yang tergesa-gesa untuk memenuhi target atau kejar tayang," kata Asvi kepada Suara.com, dihubungi Selasa (1/7/2025).
Menurutnya, penulisan sejarah yang dilakukan terburu-buru berisiko menghasilkan karya yang tidak utuh dan tidak maksimal.
Ia menekankan bahwa sejarah adalah karya akademik jangka panjang, bukan proyek politik berbatas waktu.
Asvi kemudian membandingkan penulisan ulang sejarah era Presiden Prabowo sekarang dengan dua karya besar sejarah sebelumnya.
Dia membandingkannya dengan proses penulisan Sejarah Nasional Indonesia atau (SNI), yang mulai ditulis pada 1976 dan dikenal dengan intervensi kuat pemerintah Orde Baru, khususnya dalam jilid keenam yang disunting Nugroho Notosusanto.
Serta, Indonesia Dalam Arus Sejarah, yang dikerjakan sejak 2002 dan baru terbit 2012, justru berlangsung nyaris tanpa intervensi.
Baca Juga: Sains dan Seni Bersatu, Pameran SciArt 8.0 di Benteng Vredeburg Nyalakan Cahaya Sains Lewat Lukisan
"Jadi menterinya waktu itu Juwono Sudarsono, Malik Fajar, Yahya Muhaimin gitu membiarkan kepada editor utamanya dalam hal ini Taufik Abdullah dan Abe Lapian itu untuk menyusun delapan jilid dari Indonesia Dalam Arus Sejarah itu tanpa intervensi dari menteri gitu," tuturnya.
Sebaliknya, dalam proyek kali ini, ia melihat intervensi menteri sangat kuat, bahkan sejak penyusunan awal.
Asvi menyoroti adanya tekanan agar penulisan dilakukan dengan tone positif dan tidak mencoreng pemerintah, sesuatu yang ia anggap mengubah sejarah menjadi media pesan sponsor kekuasaan.
"Sekarang yang terjadi itu ada pesanan menteri, terlihat sekali intervensi menteri itu dari pesanan-pesanan yang disampaikan itu harus dengan tone positif dan kemudian tidak menjelek-jelekkan pemerintahan gitu," kritiknya.
Menurutnya, meskipun proyek ini melibatkan banyak sejarawan dari berbagai kampus, semuanya akan percuma jika dikendalikan oleh satu pihak politikus.
Untuk diketahui, hampir 120 orang sejarawan diikutsertakan dalam penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
Terkini
-
Megawati Tanam Pohon Bodhi di UGM: Simbol Kebijaksanaan atau Sekadar Seremonial?
-
Kasus Mahasiswa UNY: BARA ADIL Kritik Keras Polda DIY Soal Publikasi Video Penangkapan
-
Bantah Tuduhan Korupsi Dana Hibah Pariwisata, Harda Kiswaya: Semua sudah Saya Sampaikan ke Kejaksaan
-
Prihatin, Bupati Harda Kiswaya Angkat Bicara Soal Mantan Bupati jadi Tersangka Korupsi
-
Sri Purnomo Tersangka, Pengacara 'Lempar Bola Panas' ke Eks Sekda Sleman: Perannya Jauh Dominan!