SuaraJogja.id - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 menetapkan pemisahan antara pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu lokal.
Kebijakan ini akan mulai diterapkan pada Pemilu 2029. Dalam amar putusannya, MK memberikan tenggat waktu pelaksanaan pemisahan tersebut, yakni paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun enam bulan sebelum pelaksanaan pemilu.
Namun, apakah pemisahan jadwal Pemilu ini bisa menjadi solusi efektif untuk mengurangi praktik politik uang?
Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), sebagai pihak pemohon dalam perkara ini, memberikan pandangannya.
Menurut peneliti Perludem, Haykal, pemisahan jadwal Pemilu nasional dan lokal tidak serta merta mampu menghentikan politik uang secara langsung.
Meski demikian, Haykal menilai adanya jeda waktu antara dua jenis pemilu ini bisa dimanfaatkan untuk membangun ruang edukasi politik yang lebih efektif.
Masyarakat memiliki kesempatan lebih besar untuk memahami bahaya politik uang serta menjadi pemilih yang lebih rasional.
“Pendidikan politik kepada masyarakat seharusnya tidak terbatas pada masa menjelang pemilu lima tahunan saja. Dengan adanya jarak dua hingga dua setengah tahun antara Pemilu nasional dan lokal, diharapkan proses pendidikan politik bisa berjalan lebih matang. Masyarakat juga perlahan dapat meninggalkan pola pikir pragmatis dan transaksional dalam memilih calon,” jelas Haykal saat diwawancarai Suara.com, Rabu (2/7/2025).
Dampak positif lainnya, lanjut Haykal, dapat terlihat dalam proses kaderisasi partai politik.
Baca Juga: KPU Sebut DIY Peringkat Pertama Terkait Indeks Kepatuhan Etik Penyelenggara Pemilu
Dengan waktu yang lebih panjang, proses seleksi calon legislatif bisa dilakukan secara lebih menyeluruh dan berkualitas.
“Kaderisasi politik harus berjenjang dan berbasis meritokrasi, sehingga calon legislatif yang maju benar-benar berasal dari proses yang selektif dan terstruktur,” tambahnya.
Berkaca pada pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2024, masyarakat dihadapkan dengan banyaknya surat suara, sehingga minim waktu untuk mengenali dan meneliti calon yang akan dipilih.
"Bayangkan saja, pada Pemilu 2024 terdapat 18 partai politik. Artinya, masyarakat harus menyaring sekitar 180 calon legislatif. Ini membuat publik cenderung enggan mencari informasi lebih dalam, sehingga berpotensi menjadi celah masuknya praktik politik uang," ungkap Haykal.
Kebingungan masyarakat dalam memilih akibat terlalu banyaknya pilihan calon membuka peluang terjadinya praktik politik transaksional.
Haykal menjelaskan bahwa kondisi ini menyebabkan masyarakat lebih cenderung memilih berdasarkan imbalan materi, bukan visi-misi atau rekam jejak kandidat.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Kata-kata Miliano Jonathans Tolak Timnas Indonesia
- Miliano Jonathans: Hati Saya Hancur
- Dari Premier League Bersama Crystal Palace Kini Main Tarkam: Nasib Pilu Jairo Riedewald
- 40 Kode Redeem FF Terbaru 16 Agustus 2025, Bundle Akatsuki dan Emote Flying Raijin Wajib Klaim
- Dicari para Karyawan! Inilah Daftar Mobil Matic Bekas di Bawah 60 Juta yang Anti Rewel Buat Harian
Pilihan
-
Tampak Dicampakkan Prabowo! "IKN Lanjut Apa Engga?" Tanya Basuki Hadimuljono
-
Tahun Depan Prabowo Mesti Bayar Bunga Utang Jatuh Tempo Rp600 Triliun
-
5 Rekomendasi HP Realme Murah Terbaik Agustus 2025, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
-
Kontroversi Royalti Tanah Airku, Ketum PSSI Angkat Bicara: Tidak Perlu Debat
-
7 Rekomendasi HP Murah RAM Besar Terbaru Agustus 2025, Spek Gahar Cuma Rp 2 Jutaan!
Terkini
-
Keracunan Makanan Siswa Sleman: Semua Pasien Pulang, Tapi Investigasi Terus Berlanjut!
-
Roy Suryo Buka-bukaan Soal Buku 'Jokowi's White Paper': Dari IPK Jokowi hingga Kajian Forensik
-
Soft Launching Buku Roy Suryo dkk di UGM 'Diganggu', AC dan Lampu Dipadamkan
-
View Menoreh dari Foodcourt Pasar Godean? Ini Rencana Pemkab Sleman
-
Swiss-Belhotel Airport Yogyakarta Gelar Pemotretan Road to Prawirotaman Fashion on the Street