SuaraJogja.id - Nama Tom Lembong kembali menjadi perbincangan hangat, namun kali ini bukan dari panggung ekonomi atau politik praktis. Kasusnya kini menjadi cermin retak yang merefleksikan krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia, sebuah sorotan tajam yang diviralkan oleh budayawan dan pemikir Sabrang Mowo Damar Panuluh.
Analisis vokalis band Letto yang akrab disapa Sabrang Letto itu menguliti bagaimana kasus ini, terlepas dari substansinya, telah menjadi episentrum erosi keyakinan masyarakat terhadap keadilan dan imparsialitas penegak hukum.
Metafora 'Wasit Tak Adil': Peringatan Keras Sabrang untuk Aparat Hukum
Sabrang MDP dengan lugas mengibaratkan negara sebagai sebuah "permainan" besar di mana aparat hukum berperan sebagai wasit. Menurutnya, pondasi utama agar permainan ini bisa terus berjalan adalah wasit yang adil.
Namun, kasus yang menyeret nama Tom Lembong dinilai telah merusak citra wasit tersebut di mata para pemain, yakni warga negara.
“Kasus Tom Lembong, benar atau salah, telah menciptakan impresi di masyarakat,” ujar Sabrang dalam analisisnya yang viral, menekankan bahwa persepsi publik seringkali memiliki dampak yang lebih dahsyat daripada fakta hukum itu sendiri.
Ia memperingatkan adanya bahaya besar ketika publik tak lagi percaya pada wasit.
"Jika para pemain (warga negara) sudah tidak mau memainkan ‘game’ negara lagi karena wasitnya tidak adil, ini menjadi masalah,” tegas Sabrang.
Peringatan ini bukan sekadar retorika, melainkan sinyal potensi disintegrasi sosial ketika mekanisme formal penyelesaian sengketa tak lagi dipercaya.
Baca Juga: Dampak Larangan Study Tour: Keraton Jogja Ubah Haluan, Tawarkan Wisata yang Bikin Anak Betah
Ambiguitas dan Prasangka: Racun yang Menggerogoti Keadilan
Salah satu inti masalah yang diangkat Sabrang adalah bahaya dari proses hukum yang ambigu dan tidak transparan. Ketidakjelasan ini, menurutnya, adalah lahan subur bagi tumbuhnya prasangka dan asumsi liar di tengah masyarakat.
“Jika proses hukum tidak transparan dan konsisten, ini akan menimbulkan ambiguitas,” jelasnya.
Ambiguitas inilah yang menjadi akar ketidakpercayaan. Ketika sebuah keputusan hukum tidak disertai penjelasan logis dan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan, publik secara alami akan membangun narasi negatifnya sendiri.
“Jika tidak ada penjelasan yang masuk akal mengenai dasar keputusan, maka akan jatuh pada prasangka, yang berujung pada ketidakpercayaan pada sistem,” papar Sabrang.
Fenomena ini diperparah oleh dugaan standar ganda dalam penegakan hukum. Jika dua pelanggaran yang mirip ditangani dengan cara yang berbeda drastis, ini akan menimbulkan pertanyaan besar.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
Terkini
-
Danantara dan BP BUMN Siagakan 1.000 Relawan untuk Tanggap Darurat
-
Bantu Korban Sumatera, BRI Juga Berperan Aktif Dukung Proses Pemulihan Pascabencana
-
Anak Mantan Bupati Sleman Ikut Terseret Kasus Korupsi, Kejaksaan Buka Suara Soal Peran Raudi Akmal
-
Imbas Jembatan Kewek Ditutup, Polisi Siapkan Skema Dua Arah di Sekitar Gramedia-Bethesda
-
Lambat Tangani Korban, Muhammadiyah Desak Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional Sumatera