- PP Muhammadiyah mendesak Presiden Prabowo segera tetapkan status bencana nasional banjir Sumatera dan Aceh akibat penanganan lamban.
- Penetapan status nasional penting untuk efek psikologis menenangkan korban sekaligus mempercepat mobilisasi sumber daya dan koordinasi.
- Muhammadiyah menyoroti perlunya pendekatan kemanusiaan berbasis kajian akuntabel, bukan hanya pendekatan keamanan politis.
SuaraJogja.id - Penanganan korban bencana di Sumatera dan Aceh yang telah berlangsung lebih dari tiga pekan dinilai sangat lambat. Alih-alih menetapkan status bencana nasional, pemerintah malah sibuk membuat narasi-narasi yang berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan.
Karenanya Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional banjir Sumatera dan Aceh. Sebab saat ini distribusi bantuan, penanganan korban, akses informasi, hingga pencarian jenazah masih saja belum dilakukan secara optimal.
"Penetapan status bencana nasional itu bukan sekadar simbol administratif. Ia memiliki efek psikologis dan politik yang besar. Itu bisa menenangkan jiwa masyarakat, menenangkan keluarga korban, bahkan pejabat daerah pun membutuhkannya," papar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busryo Muqqodas di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (19/12/2025).
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyebut, pemerintah hingga kini belum menunjukkan sense of urgency yang memadai di tengah penderitaan warga yang terus berlarut. Kondisi ini dinilai berpotensi memicu kelelahan sosial dan psikologis masyarakat, bahkan aparat apabila tidak segera direspons dengan kebijakan yang lebih tegas.
Berbagai gejala sosial yang muncul di wilayah terdampak mestinya tidak semata-mata dibaca dengan pendekatan keamanan. Pendekatan semacam itu, apalagi jika sarat muatan politis, dikhawatirkan justru memperkeruh situasi dan menimbulkan dampak lanjutan yang sama-sama tidak diinginkan.
"Harus ada pendekatan kemanusiaan yang jauh lebih relevan untuk memulihkan kepercayaan publik dan menenangkan psikologi masyarakat," ungkapnya.
Muhammadiyah memandang keputusan politik yang tegas dari pemerintah pusat melalui penetapan status bencana Sumatera dan Aceh mendesak dilakukan. Sebab dalam situasi krisis, penenangan psikologis masyarakat dinilai sama pentingnya dengan distribusi bantuan fisik.
Apalagi derita korban di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh sudah berada pada level yang mengkhawatirkan. Jika kondisi ini terus dibiarkan berlarut tanpa percepatan kebijakan, dikhawatirkan akan menggerus kesabaran publik.
Kondisi itu bisa menimbulkan ketidaksabaran sosial. Akibatnya bisa bermuara pada tindakan-tindakan represif, kriminalisasi, atau pendekatan keras yang justru memperlebar luka kemanusiaan.
Baca Juga: Prabowo Turun Tangan, Indonesia Kirim Kontingen Terbesar ke SEA Games Berkuda, Target Emas
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Muhammadiyah melalui koordinasi daring dengan perwakilan di wilayah terdampak, penanganan bencana selama hampir tiga minggu terakhir berjalan lamban. Kelambatan ini dipahami terjadi di tengah berbagai keterbatasan, namun tetap dianggap tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda keputusan strategis.
"Penetapan status bencana nasional dapat mempercepat mobilisasi sumber daya, koordinasi lintas sektor, serta membuka ruang bantuan yang lebih luas," tandasnya.
Namun Busyro menegaskan penetapan status bencana nasional tidak boleh berhenti sebagai keputusan di atas kertas. Negara diminta benar-benar menunjukkan originalitas kemanusiaan dan kebangsaan melalui kebijakan yang tidak terhalang oleh birokrasi.
Para pembantu Presiden, baik di tingkat kementerian hingga daerah pun diminta tidak menjadi penghambat dalam proses percepatan bantuan dan pemulihan. Terlebih muncul penolakan bantuan internasional karena pemerintah mengklaim mampu menangani bencana dan kebutuhan di lapangan.
Muhammadiyah, lanjutnya juga mengkritik pernyataan-pernyataan sejumlah elite yang tidak berbasis kajian akademik yang akuntabel. Dalam situasi krisis kemanusiaan, perdebatan tanpa dasar dinilai tidak produktif dan berpotensi mengaburkan fokus utama keselamatan dan pemulihan korban.
"Sikap negara seharusnya bertumpu pada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moral. Belum ada konsensus nasional yang kuat mengenai arah penanganan bencana, padahal, dalam situasi darurat, kesamaan pandangan dan langkah menjadi kunci untuk menghindari kebijakan yang saling bertabrakan," ungkapnya.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
-
Dampingi Presiden, Bahlil Ungkap BBM hingga Listrik di Sumbar Tertangani Pasca-Bencana
-
UPDATE Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Selangkah Lagi Kunci Runner-up
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
Terkini
-
Lambat Tangani Korban, Muhammadiyah Desak Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional Sumatera
-
Kasus Korupsi Hibah Pariwisata Sleman, Dakwaan JPU Dinilai Belum Singgung Peran Harda Kiswaya
-
Kocak! Study Tour ke Kantor Polisi, Murid TK Ini Malah Diajarin Bentrok
-
Dakwaan Dugaan Korupsi Dana Hibah Pariwisata Sleman Seret Nama Raudi Akmal
-
Bantuan dari BRI Telah Jangkau Lebih dari 70 Ribu Masyarakat Terdampak di Sumatera