Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 15 Desember 2025 | 06:28 WIB
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) jinak yang ditunggangi mahout membersihkan puing kayu yang menutupi jalan dan permukiman warga akibat bencana alam di Desa Meunasah Bie, Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). [ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/nz]
Baca 10 detik
  • BKSDA Aceh mengerahkan empat gajah terlatih dari PLG Saree untuk membersihkan puing pasca-banjir di Pidie Jaya.
  • Guru Besar UGM menyoroti pengerahan gajah berisiko tinggi terhadap kesejahteraan satwa karena material tajam dan membusuk.
  • Pakar merekomendasikan gajah dialihkan ke peran aman seperti kegiatan psikososial edukatif bagi anak-anak penyintas bencana.

SuaraJogja.id - Belum lama ini empat gajah dikerahkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh untuk ikut membantu membersihkan puing-puing pasca banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh.

Tidak hanya itu, keempat gajah terlatih yang berasal dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar ini juga bekerja menyingkirkan tumpukan kayu dan material berat. 

Namun kehadiran empat satwa itu justru disoroti oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Raden Wisnu Nurcahyo. Ia menyebut pengerahan empat gajah Sumatra dalam membantu membersihkan puing-puing pasca bencana beresiko besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan satwa tersebut. 

Penyebab utamanya yakni kondisi lapangan setelah bencana tersebut. Mengingat tak hanya kayu, tapi ada pula puing-puing bangunan, material tajam berkarat, hingga hewan yang mati membusuk.

"Jadi, sebetulnya gajah-gajah yang dikerahkan membersihkan puing pasca bencana itu sebenarnya menyalahi hak kesejahteraan hewan. Karena apa? Di sini kan gajah seperti dipekerjakan," kata Wisnu, Minggu (14/12/2025).

Wisnu menilai, pengerahan keempat gajah pada lokasi bencana tersebut melanggar lima prinsip kebebasan (Five Freedoms) dalam animal welfare yang seharusnya dipenuhi. 

Seperti di antaranya satwa harus bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, cidera, dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal, dan terakhir bebas dari rasa takut dan tertekan. 

Menurutnya, pengerahan gajah hanya dapat dibenarkan pada situasi sangat darurat. Misalnya ketika alat berat tidak tersedia atau tidak dapat menjangkau lokasi. 

"Penggunaan gajah itu hanya bisa diterima kalau memang eskavator tidak ada atau tidak bisa dijangkau. Tapi ini gajahnya justru diturunkan dari truk. Kenapa truknya tidak membawa eskavator saja? Kok malah menyuruh gajahnya? Jadi kesannya memang tidak urgen," tuturnya. 

Baca Juga: Amankan Beruang Madu hingga Owa dari Rumah Warga Kulon Progo, BKSDA Peringatkan Ancaman Kepunahan

Sejumlah risiko kesehatan, kata Wisnu, dapat dialami gajah ketika dipekerjakan di medan bencana. Selain risiko cedera fisik, gajah yang dipaksa bekerja di lingkungan ekstrem juga rentan mengalami stres dan penyakit lain. 

Ia menuturkan, gajah yang lelah cenderung menolak perintah pawang dan dapat berontak. Sebab kemudian ingin kembali ke situasi yang lebih aman, seperti berada di kubangan, dekat sumber air, maupun dekat dengan sumber pakan. 

"Aktivitas mereka umumnya terbatas pada makan, istirahat, atau patroli sesekali. Karena itu, menempatkan mereka pada kondisi ekstrem pasca bencana berisiko tinggi baik bagi kesehatan maupun keselamatan mereka," tandasnya. 

Lebih lanjut, ia menuturkan kalau stres pada gajah tidak tertangani dengan baik dapat berkembang menjadi gangguan perilaku dan sifat agresif yang sewaktu-waktu dapat membahayakan pawang maupun gajah itu sendiri.

"Kalau terus dipaksa, gajah bisa stres, sakit, dan memunculkan sifat liarnya. Dia bisa melukai orang lain atau dirinya sendiri. Dalam kondisi ekstrem, stres berulang bahkan bisa berakibat kematian," ungkapnya. 

Dalam hal ini, Wisnu merekomendasikan agar instansi terkait dapat mendorong pemanfaatan gajah dalam peran yang lebih aman dan edukatif. Seperti salah satunya mengerahkan gajah dalam kegiatan psikososial di area pengungsian yang ditujukan pada anak-anak penyintas bencana alam.

Load More