SuaraJogja.id - Pro kontra pengibaran bendera anime One Piece menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia semakin marak.
Sebagian pihak melarang dengan dalih mengganggu marwah bendera Merah Putih, namun tak sedikit pula yang tidak mempermasalahkan tren tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi atau kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Di lembaga pendidikan, kampus di Yogyakarta tidak mempermasalahkan pengibaran bendera One Piece.
Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Nurmandi misalnya, tidak akan melarang pengibaran bendera One Piece selama tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih atau disandingkan secara tidak pantas.
"Hak warga negara untuk mengibarkan bendera seperti One Piece tidak bisa serta-merta dilarang. Itu bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat. Tapi jangan sampai kita samakan atau letakkan sejajar dengan Merah Putih, apalagi lebih tinggi. Itu tidak etis secara konstitusional maupun historis," papar Nurmandi disela The 9th ICoSi di Yogyakarta, Rabu (6/8/2025).
Menurut Nurmandi, bendera Merah Putih adalah simbol nasional yang tak bisa ditawar-tawar dalam hal penghormatan.
Apalagi para pendiri bangsa sudah berdarah-darah mendirikan negara ini.
"Delapan puluh tahun lalu, simbol perjuangannya adalah Merah Putih. Maka kita wajib menjaganya tetap dihormati, termasuk dalam simbolisasi di ruang publik," tandasnya.
Namun Nurmandi tidak menampik pengibaran bendera One Piece oleh sejumlah masyarakat saat ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kritik sosial terhadap kondisi negara, mulai dari persoalan ekonomi, korupsi, hingga akses kesejahteraan.
Baca Juga: Pemda DIY soal Maraknya Pengibaran Bendera One Piece: Belum Ada Larangan
Hal itu bentuk-bentuk protes simbolik terhadap kondisi bangsa.
Apalagi kritik-kritik semacam itu bukanlah hal baru dalam tradisi sosial masyarakat Indonesia.
Banyak orang melakukan kritik dalam berbagai cara seperti melalui simbol, satire, pantun, atau drama.
"Masyarakat kita, khususnya di Jogja, dikenal sangat kreatif dalam menyampaikan aspirasi secara simbolik. Jadi fenomena ini perlu dibaca sebagai bagian dari dinamika budaya kritik, bukan ancaman terhadap negara," tandasnya.
Karenanya Nurmandi mengingatkan para pemangku kebijakan agar tidak bereaksi secara berlebihan terhadap simbol-simbol budaya pop yang digunakan sebagai media kritik.
Alih-alih melarang, pemerintah mestinya menyikapi tren itu secara wajar.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Serum Vitamin C yang Bisa Hilangkan Flek Hitam, Cocok untuk Usia 40 Tahun
- 5 Mobil Diesel Bekas Mulai 50 Jutaan Selain Isuzu Panther, Keren dan Tangguh!
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- Harta Kekayaan Abdul Wahid, Gubernur Riau yang Ikut Ditangkap KPK
- 5 Mobil Eropa Bekas Mulai 50 Jutaan, Warisan Mewah dan Berkelas
Pilihan
-
Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
-
Korban PHK Masih Sumbang Ratusan Ribu Pengangguran! Industri Pengolahan Paling Parah
-
Cuma Mampu Kurangi Pengangguran 4.000 Orang, BPS Rilis Data yang Bikin Kening Prabowo Berkerut
-
Rugi Triliunan! Emiten Grup Djarum, Blibli PHK 270 Karyawan
-
Angka Pengangguran Indonesia Tembus 7,46 Juta, Cuma Turun 4.000 Orang Setahun!
Terkini
-
KA Bangunkarta Tabrak Mobil & Motor di Prambanan: 3 Tewas, Penjaga Palang Pintu Dinonaktifkan
-
Wasiat Terakhir PB XIII: Adik Raja Ungkap Pesan Penting Suksesi Keraton
-
Pembunuh Wanita di Gamping Ditangkap, Ditemukan di Kuburan usai Minum Racun Serangga
-
Dari Lurik Hitam hingga Tangga Imogiri: Kisah Para Penandu yang Jaga Tradisi Pemakaman Raja
-
Ramai Klaim Penerus Tahta, Adik Paku Buwono XIII Ungkap Syarat jadi Raja Keraton Surakarta