Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 20 September 2025 | 07:20 WIB
Konsumsi rutin minuman manis dikaitkan kuat dengan peningkatan risiko obesitas dan diabetes tipe 2. [Dok.Antara]
Baca 10 detik
  • Prevalensi diabetes di Indonesia melonjak menjadi 11,7% pada 2023, dipicu konsumsi minuman manis.
  • Pakar UGM menilai cukai MBDK adalah solusi paling efektif untuk menekan laju konsumsi gula.
  • Rencana penerapan cukai minuman manis terus ditunda sejak 2016, salah satunya karena lobi industri.

SuaraJogja.id - Indonesia darurat diabetes. Data terbaru Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang terintegrasi dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan lonjakan prevalensi diabetes yang mengkhawatirkan, mencapai 11,7 persen pada penduduk usia 15 tahun ke atas.

Angka ini naik signifikan dari 10,9 persen pada 2018, menandakan ancaman serius bagi kesehatan publik dan bonus demografi bangsa.

Salah satu biang keladi utama dari lonjakan kasus ini adalah masifnya peredaran Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Dengan harga yang terjangkau dan ketersediaan yang melimpah di setiap sudut kota, minuman tinggi gula ini menjadi konsumsi harian yang sulit dihindari, terutama bagi kalangan muda.

Di tengah gempuran produk MBDK, para ahli kesehatan terus mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan instrumen kebijakan cukai. Langkah ini dinilai menjadi salah satu cara paling efektif untuk menekan konsumsi dan mengendalikan laju prevalensi diabetes.

Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial, FK-KMK UGM, Yayi Suryo Prabandari, menegaskan bahwa cukai akan membuat harga MBDK menjadi lebih mahal, sehingga dapat mengerem laju konsumsi masyarakat.

"Adanya Cukai MBDK nanti harganya akan lebih mahal sehingga masyarakat akan berpikir kembali untuk membelinya," kata Yayi, Jumat (19/9/2025).

Menurut Yayi, kebijakan ini bukanlah hal baru dan telah terbukti berhasil di berbagai negara, seperti Australia, Thailand, dan Filipina, dalam menurunkan konsumsi minuman manis.

Mirisnya, Indonesia yang telah menggagas wacana ini sejak 2016, hingga kini belum juga merealisasikannya. Rencana penerapan yang berulang kali masuk dalam dokumen anggaran negara terus-menerus ditunda, dengan target terbaru kini bergeser ke tahun 2026.

Baca Juga: Cegah Diabetes, Dinkes Jogja Ajak Masyarakat Terapkan Pola Hidup CERDIK

Berbagai faktor disebut menjadi penyebab lambatnya implementasi kebijakan krusial ini. Yayi menyebut, salah satunya adalah kerumitan dalam perhitungan besaran cukai yang ideal oleh para ahli ekonomi agar kebijakan tersebut benar-benar efektif.

Selain itu, ia juga menyoroti kemungkinan adanya lobi dan negosiasi dari para pelaku industri MBDK yang khawatir produksinya akan tergerus oleh kebijakan ini.

"Mereka [produsen] pun akan 'khawatir' produksinya bakal menurun," ucapnya.

Pemerintah sendiri beberapa kali menunda kebijakan ini dengan alasan menjaga stabilitas industri dan daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Akibat penundaan di tahun 2025 saja, negara berpotensi kehilangan penerimaan sebesar Rp 3,8 triliun.

Meski demikian, Yayi berharap kebijakan Cukai MBDK tidak lagi menjadi wacana abadi dan dapat segera dieksekusi. Menurutnya, cukai adalah intervensi penting untuk mencegah ledakan kasus diabetes di masa depan. Namun, ia juga menekankan bahwa kebijakan ini harus berjalan beriringan dengan edukasi masif kepada masyarakat, terutama generasi muda, untuk bijak dalam memilih asupan.

Load More