Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 26 September 2025 | 22:10 WIB
Siswa di Sleman yang mengalami keracunan MBG beberapa waktu lalu. [Kontributor/Putu]
Baca 10 detik
  • Sri Sultan HB X mengkritisi pola jam pembuatan menu MBG
  • Keracunan sendiri berawal dari jam masak yang tak diprediksi dengan tepat
  • Pengalaman Raja Keraton Jogja ini sudah pernah ia terapkan saat erupsi Gunung Merapi

SuaraJogja.id - Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menyoroti kembali kasus keracunan yang menimpa siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dengan nada tegas, Sultan menyebut dirinya paham betul soal makanan dan daya tahannya karena terbiasa memasak sendiri di rumah.

"Loh, saya itu di rumah juga sering masak, demikian," ungkap Sultan disela Gerakan Pangan Murah di Yogyakarta, Jumat (26/9/2025).

Menurut Sultan, masalah utama yang menyebabkan siswa keracunan bukanlah hal rumit.

Ia menduga keracunan terjadi karena pola memasak dan penyajian makanan yang kurang tepat.

Pengalaman pribadi Sultan di dapur membuatnya peka terhadap jenis makanan yang cepat basi.

Menu sayur yang dimasak dini hari jelas berpotensi basi saat disantap siswa di sekolah pagi hari.

"Sebetulnya enggak rumit, kenapa keracunan? Enggak usah menggunakan orang kimia, gitu. Masaknya jam setengah 2 pagi, dimakan jam 08.00 saja sudah mesti wayu [basi]. Udah. Itu airnya di sendok begini sudah mulur itu. Udah itu pasti," ungkapnya.

Karena itu, manajemen waktu memasak menjadi kunci penting dalam menjaga kualitas makanan.

Baca Juga: Panci Bicara! Emak-Emak Yogyakarta Lakukan Aksi Simbolik Protes Program MBG Dihentikan

"Bisa nggak, 02.30 itu jangan masak sayur? Ya, kan? Tapi [saat] sudah pagi, baru masak sayur, toh dimakan jam 08.00 atau jam 10.00. Yang lain kira-kira digoreng dengan masak dan sebagainya, itu didulukan," ungkapnya.

Tak hanya mengandalkan pengalaman pribadinya memasak, Sultan juga merujuk pada pengalaman panjangnya mengelola dapur umum saat bencana di Yogyakarta, mulai dari gempa bumi 2006 hingga erupsi Merapi 2010.

Sultan menyebut dirinya ingat betul bagaimana pengaturan menu dan waktu memasak menjadi penentu apakah makanan aman dan bisa diterima oleh pengungsi.

Selama penanganan korban bencana, Yogyakarta tidak pernah mengalami kasus keracunan seperti yang terjadi di program MBG saat ini.

"Pengalaman saya pernah terjadi di [gempa] 2006 pada waktu bencana, yang menentukan lauk adalah dapur. Begitu dimakan, ini makanan tidak enak, ya buang di halaman. Sudah itu finish" ungkapnya.

Contoh lain saat erupsi Gunung Merapi pada 2010. Pemda DIY tidak menentukan menu makanan.

Warga terdampak yang diminta menentukan menunya.

"Saya hanya mengatakan, pokoknya ada telur atau daging atau ayam tiap makan harus ada. Terserah variasinya, itu yang diputus, tidak ada yang dibuang," ungkapnya.

Sultan menambahkan, jika pola masak dan penyajian dalam program MBG tidak diubah, maka kasus keracunan siswa akan terus terjadi.

Karenanya pemerintah perlu segera mengevaluasi sistem pengolahan makanan dalam program MBG.

Bagi Sultan karena kemampuan sederhana seperti tahu kapan harus memasak sayur atau lauk gorengan saja bisa menentukan apakah makanan aman dikonsumsi atau justru berbahaya bagi anak-anak.

"Korban itu tidak akan berkurang selama pola masak-pola masaknya tidak berubah, gitu," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More