Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 28 Oktober 2025 | 14:52 WIB
Ilustrasi Leptospirosis saat musim hujan. [Ist]
Baca 10 detik
  • Kasus leptospirosis di Sleman melonjak drastis jadi 82 kasus dengan 9 kematian hingga Oktober 2025.
  • Persebaran penyakit tak lagi di area sawah, kini bergeser ke permukiman padat penduduk di Ngemplak.
  • Gejala mirip flu biasa, namun disertai nyeri betis dan mata merah, keterlambatan berakibat fatal.

SuaraJogja.id - Ancaman serius penyakit leptospirosis atau kencing tikus tengah menghantui Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tak main-main, Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat mencatat adanya lonjakan kasus yang sangat signifikan sepanjang tahun 2025, yang telah merenggut sembilan nyawa.

Data terbaru hingga Oktober 2025 menunjukkan total 82 kasus leptospirosis telah ditemukan. Angka ini melesat tajam jika dibandingkan dengan data sepanjang tahun 2024 yang hanya mencatat 28 kasus.

Kepala Dinkes Sleman, Cahya Purnama, mengonfirmasi data mengkhawatirkan tersebut. Menurutnya, tingkat kematian akibat penyakit ini menjadi bukti nyata bahwa leptospirosis tidak bisa dianggap remeh.

"Untuk kasus leptospirosis, tahun ini ada 82 kasus. Ini ada sampai saat ini terjadi 9 kematian," ungkap Cahya kepada wartawan, Selasa (28/10/2025).

Fakta yang lebih mengejutkan adalah pergeseran episentrum penyebaran penyakit. Jika sebelumnya kasus ini identik dengan area persawahan di wilayah Sleman Barat, kini ancaman tersebut justru berpindah ke kawasan permukiman padat penduduk.

"Dulu Sleman Barat, tapi sekarang sudah berubah. Malah Ngemplak sekarang, yang tinggi Ngemplak," ujar Cahya.

Ia membeberkan temuan menarik dari kasus di Ngemplak. Wabah di sana tidak berasal dari area persawahan, melainkan dari lingkungan permukiman yang padat dan diduga kurang terjaga kebersihannya. Cahya mencontohkan salah satu kemungkinan modus penularan yang sangat sepele namun fatal.

"Ini terjadi di Ngemplak itu malah tidak di area sawah. Tapi di area tempat meubelair [mebel], tapi agak kumuh gitu. Dia ngerokok, naruh rokoknya itu di meja yang kena kencing tikus mungkin. Kemudian dia masuk lewat situ," tuturnya.

Baca Juga: Guru dan Siswa SMPN 2 Mlati Pulih Usai Keracunan MBG, Program Dihentikan Sementara

Lebih Berat dari DBD, Keterlambatan Berujung Maut

Cahya Purnama menilai bahwa penanganan leptospirosis jauh lebih kompleks dibandingkan demam berdarah dengue (DBD). Pasalnya, sumber utama penularan, yakni populasi tikus, masih sangat sulit untuk dikendalikan secara efektif.

Menurutnya, perang melawan leptospirosis tidak bisa hanya mengandalkan sektor kesehatan.

Diperlukan kerja sama lintas sektor, termasuk Dinas Pertanian hingga partisipasi aktif dari masyarakat untuk memberantas sarang tikus. Salah satu kunci utamanya adalah pengelolaan sampah.

"Selama masih ada sampah-sampah kayak gini ya, populasi tikus akan meningkat terus. Di foodcourt-foodcourt juga harus kita amankan. Sampah-sampah jangan terbuka. Nanti populasi tikus itu cepat sekali berkembang," tegasnya.

Masyarakat diimbau untuk tidak menyepelekan gejala awal yang sering kali mirip dengan flu biasa. Cahya mengingatkan ada tanda-tanda spesifik yang harus diwaspadai agar tidak terlambat mendapat penanganan medis.

Load More